Ibu Nyoman Metriani bertanya pada kelasnya “apa gunanya belajar ilmu pengetahuan?”. Itu sekitar tahun 1987, saya baru kelas empat SD dan sedang ‘mengintip’ kelas kakak saya yang sedang diajar oleh Ibu Met, begitu kami memanggil beliau. Waktu itu sedang gencar-gencarnya dicanangkan CBSA, cara belajar siswa aktif yang terkenal itu. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mungkin itu yang malih rupa menjadi student-centred learning yang entah mengapa lebih terkenal dengan bahasa dari bumi seberang. Kelas Ibu Met terdiam sesaat sebelum satu dua anak angkat tangan memberi jawaban. Adalah Wayan Sudar yang menjawab agak berbeda “untuk asah otak” katanya. Saya suka jawaban itu tapi rupanya Ibu Met punya pendapat lain. Beliau berkata “kalau otakmu sudah tajam dan runcing, lalu untuk apa?” Kelaspun terdiam.
Anak kelas empat SD tentu tidak cukup pintar memaknai kejadian itu. Saya suka sekali mendengar kata “asah” yang diucapkan Wayan Sudar dan sama terkesannya dengan frase “tajam dan runcing” yang disampaikan Ibu Met. Yang membuat saya bertanya-tanya adalah frase “untuk apa?” Perenungan seorang anak SD tentu saja tidak mendalam. Perenungan yang mudah terlupakan oleh sorak sorai adu jangkrik atau main layangan. Atau oleh sensasi menemukan sebutir telor bebek di pematang sawah selepas panen padi atau kegembiraan berburu ketupat burung yang berjuntai di sanggah-sanggah bambu saat Subak ngusaba desa, menyambut panen tiba.