Hari sudah malam ketika saya keluar dari kediaman Duta Besar Perancis untuk Indonesia di bilangan Menteng, Jakarta. Beberapa menit lalu, baru saja dilaksanakan resepsi dan saya mendapat kehormatan untuk hadir. Ibu Duta Besar berkenan bertemu berbagai pihak, salah satunya adalah kantor urusan internasional beberapa universitas terpilih di Indonesia. Makan malam yang berkesan, bukan karena makanannya tetapi karena pertemuan dengan banyak orang sebagai tempat belajar.
Malam sudah cukup sepi dan saya bermaksud mencari kendaraan untuk mengantarkan saya ke hotel
tempat menginap. Di depan kediaman Ibu Dubes tidak ada taksi, tak juga saya lihat ada ojek. Jalan agak gelap dan sepi ketika saya melangkah ragu untuk menuju jalan raya terdekat. Tidak jauh dari kediaman Duta Besar Perancis, saya melewati persimpangan dan melihat ada beberapa orang sedang bercakap-cakap di keremangan.
Saya mendekati sekumpulan orang itu dan bertanya perihal taksi atau ojek. Dua orang lelaki berdiri dan satu orang lainnya duduk di atas sebuah motor. Intinya mereka mengatakan tidak ada taksi di daerah itu dan saya disarankan untuk berjalan menuju jalan raya terdekat. Saya hampir melaksanakan apa yang disarankan sampai akhirnya lelaki yang duduk di atas motor itu bertanya “mau ke mana Mas?”. Dari tadi lelaki itu tidak banyak bicara dan kini dia seperti peduli. Saya pun menjelaskan maksud saya untuk kembali ke hotel
.
“Sini saya antar” katanya, di luar perkiraan saya. Saya agak ragu dan sedikit kurang paham atau tepatnya bingung dengan tawaran lelaki itu. “Bener nih Pak?” tanya saya. “Ya, biar saya antar, nggak apa-apa” katanya meyakinkan dan dilanjutkan dengan pamitan kepada dua orang lelaki yang berdiri di sana. “Yuk, aku ngojek dulu ya” katanya sambil menghidupkan motornya. Ada berbagai perihal yang berkecamuk dalam kepala saya. Pertama, saya jadi ragu apakah lelaki itu memang ojek atau bukan. Kedua, jika dia bukan tukang ojek, mengapa memberi tawaran kepada saya. Menariknya di tengah keraguan itu, ada dorongan untuk tidak menolak tawaran lelaki itu.
Dengan agak ragu saya naik di jok belakang motor yang dikendarai lelaki itu. Di sepanjang jalan kami bercakap-cakap dan saya pun menceritakan sekilas tetang profesi saya dan untuk apa saya ada di sana. Saya masih ragu apakah lelaki ini tukang ojek atau bukan. Saya yang tidak begiktu familiar dengan jalan-jalan di Jakarta mulai agak ragu dan curiga. Siapa gerangan lelaki misterius ini? demikian saya berpikir. Di sepanjang jalan di bertanya tetang profesi saya dan mengatakan istrinya juga seorang dosen. Saya tidak tahu apakah ceritanya benar atau tidak, yang jelas dia memiliki daya persuasi yang begitu kuat hingga saya manut saja diajaknya berkendara. Jika diminta menasihati, saya tidak sarankan pembaca melakukan apa yang saya lakukan.
Rasa curiga menguat setelah beberapa menit di atas motor. Jangan-jangan ini penipuan. Jangan-jangan lelaki ini penjahat yang akan mencelakakan saya di suatu tempat yang gelap dan sepi. Jangan-jangan … dan seterusnya. Saya baru memperhatikan postur lelaki yang membonceng saya ini. badannya tegak, tubuhnya berisi dan cukurannya pendek. Adakah dia seorang anggota TNI, saya tidak tahu. Perasaan saya diliputi rasa khawatir yang amat sangat tetapi sepertinya sudah terlambat.
Setelah bebrapa menit menerobos geliat jalanan Jakarta, saya tiba di depan lobby hotel
. Dari beberapa kalimat yang diucapkan, saya masih menduga bahwa dia mungkin saja memang tukang ojek. Ketika saya turun, saya beranikan diri berkata “terima kasih Pak. Berapa harus saya bayar Bapak?” Lelaki itu hanya tersenyum, menggelengkan kepala lalu lenyap di kegelapan malam. Siapakah lelaki baik hati yang rela menjadi tukang ojek buat saya malam itu. Hingga kini, ada kisahnya di ruang misteri dalam bathin saya. Lelaki itu mungkin orang biasa saja. Bedanya dengan orang lain, dia tidak merasa perlu banyak bertanya ketika menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Dalam perspektif yang lebih serius, bisa jadi ini adalah karmaphala, buah dari apa yang terjadi selama ini.
Jakarta, 14 Oktober ’14
Like this:
Like Loading...