
Made Kondang bergegas menuju rumah Jero Mangku Utama, tokoh masyarakat yang dituakan dan diindahkan nasihatnya karena konon bijaksana. Panas luar biasa hatinya menerima sebuah berita yang dikirim kawannya, Yan Koplar lewat hape. “Ini benar benar diskriminiasi”, guman Made Kondang menahan amarah. Dia tidak sabar bertemu Jero Mangku untuk menumpahkan segala amarah dan kesal yang memuncak. Made Kondang berharap, Jero Mangku akan membenarkannya dan terutama akan membenarkan gagasannya yang anti diskriminasi.
“Tenang dulu” kata Jero Mangku dengan sabar dan perlahan. “Tarik nafas dalam-dalam dan mulailah bicara dengan runut. Ceritakan apa yang terjadi dengan tenang”. Made Kondang yang nafasnya turun naik memburu menuruti nasihat itu dan mulai menenangkan diri dengan menarik nafas panjang. Suasana mulai tenang dan mulailah Made Kondang bercerita.
“Jero Mangku, kita tidak bisa membiarkan diskriminasi terjadi di tanah Bali” kata Kondang menegaskan pandangannya. Jero Mangku hanya tersenyum sambil mengangguk, seakan paham bahwa Kondang belum selesai bercerita. “Ini untuk kesekian kalinya umat Hindu ditangkap polisi gara-gara tidak memakai helm saat mengenakan pakaian adat.” Kondang bercerita bersemangat berapi-api. “Lalu?” kata Jero Mangku singkat dan seperti bersiap menerima tumpahan kekesalan dari Made Kondang. “Jero Mangku coba baca ini!” kata Kondang menyodorkan telepon seluler berisi berita yang membuat hatinya panas. Jero Mangku pun membaca dengan seksama selama beberapa menit lamanya.
Sejenak dia tersenyum menatap Made Kondang seakan bertanya. Paham bahwa komentarnya ditunggu, Kondang segera berbicara. “Umat Hindu ditangkap polisi di tanah Bali gara-gara tidak mengenakan helm saat mengenakan pakaian adat. Seharusnya polisi memaklumi kalau pakaian adat Bali memang berpasangan dengan udeng, bukan helm.” Jero Mangku takzim menyimak sambil tersenyum. “Tapi coba Jero Mangku perhatikan berita ini. Puluhan umat Islam dibiarkan lewat mengendari motor tanpa helm karena mereka mengenakan peci ketika berangkat sembahyang Jumatan. Umat Hindu dan Islam sama-sama bersembahyang tetapi ternyata mendapat perlakuan berbeda dari Polisi. Ini tidak adil. Ini diskriminasi berlatar belakang agama!” kata Kondang seakan merasa seperti komentator politik di televisi.
“Betul!” kata Jero Mangku Utama singkat dan jelas. Jawaban singkat dan jelas itu, meskipun diharapkan Kondang, ternyata membuatnya terperangah. “Maksud Jero Mangku?” Kondang kini merasa tidak yakin dengan pendengarannya. “Ya, seandainya berita itu benar, maka telah terjadi diskriminasi di tanah Bali!” “Jadi Jero Mangku setuju dengan pendapat saya kan?!” tanya Kondang antusias. “Tentu saja Kondang. Itu diskriminasi tingkat tinggi dan tidak bisa dibiarkan!” Kondang sumringah hatinya. Tak sering Jero Mangku menyetujuinya begitu mudah. Kondang merasa di atas angin.
“Apa yang harus kita lakukan Jero Mangku? Kita tentu tidak bisa tinggal diam.” Kondang bertanya dengan semangat. “Kita harus menegur polisi. Kita harus ingatkan Bapak polisi agar tidak mendiskriminasi saudara Muslim di Bali. Mereka harus adil.” Kata Jero mangku tidak kalah semangat. Kondang merasa ada yang agak berbeda dari yang dibayangkannya. “Sebentar Jero Mangku. Yang diperlakukan dikriminatif ini umat Hindu, bukan umat Islam. Kita harus menegur polisi yang telah diskriminatif terhadap umat Hindu.” Jero Mangku menatap Kondang dengan tatapan penasaran. “Yang diperlakukan tidak adil adalah umat Islam, bukan umat Hindu, Kondang!” kata beliau pelan seperti berusaha menyadarkan Kondang. “Jero Mangku, umat Hindu yang ditangkap polisi karena mengenakan udeng, sementara umat Islam dibiarkan saja padahal mengenakan peci. Jelas-jelas ini tidak adil bagi umat Hindu dan enak bagi umat islam. Mengapa Jero Mangku katakan umat Islam yang diperlakukan tidak adil? Mereka justru mendapat perlakuan istimewa, dimanjakan aparat. Di sini letak ketidakadilanya.” Kondang berapi-api dan berbicara dengan nada marah.
“Kondang,” kata Jero Mangku pelan dan sabar lalu melanjutkan, “Tugas Polisi itu apa sih?” “Tentu menegakkan hukum di jalan raya” kata Kondang. “Betul! Maka dari itu, polisi menangkap umat Hindu karena mengenakan udeng waktu naik motor karena seharusnya mereka mengenakan helm. Hukumnya memang demikian.” “Tapi, Jero Mangku, jadi tidak adil karena umat Islam tidak ditangkap dan dibiarkan berkeliaran bebas di jalan raya padahal sama-sama tidak pakai helm!” Kondang tak reda emosinya. “Di situlah letak diskriminasinya” kata Jero Mangku tenang. “Polisi hanya menyayangi umat Hindu. Pak Polisi hanya ingin umat Hindu yang selamat dalam berkendara. Mereka tidak peduli dengan bahaya yang mengancam umat Islam yang sewaktu waktu bisa mengalami kecelakaan dan berakibat fatal karena tidak mengenakan helm. Sebagai penduduk Bali, kita tidak bisa biarkan ini. Kita harus tegur polisi agar jangan hanya menyayangi umat Hindu. Umat Islam juga harus mereka perlakukan sama. Keselamatan mereka juga menjadi tanggung jawab polisi. Itulah makna Pancasila yang sesungguhnya. Setiap warga negara harus sama di mata hukum. Hanya gara-gara umat Hindu menjadi mayoritas di tanah Bali, bukan berarti keselamatan umat Islam di Bali bisa dinomorduakan. Polisi harus adil melindungi semua umat beragama di Indonesia. Kita harus turut aktif menghentikan diskriminasi terhadap umat Islam di Bali.”
Jero Mangku mengakhiri ceramahnya yang tenang dengan senyum cerah kepada Made Kondang. Sementara itu, Made Kondang termenung menyimak. Dia baru saja merasakan aliran pemikiran yang berbeda dari apa yang diharapkannya tetapi seperti mengisi ruang-ruang kosong di kepala dan terutama hatinya. Dia tertegun tidak biacara, gamang namun pelan pelan seperti memahami sesuatu. “Kita harus lawan diskriminasi” demikian bunyi pesan yang dikirimnya kepada Yan Koplar.
PS. Sebuah dedikasi untuk Galungan dan Idul Fitri yang bersahabat erat di Bali.
Bali Peace!!!!!
Melihat dengan prespektif berbeda. Indahnya Indonesia jika kita bisa menerapkan hal ini. 🙂
Amin.
pak dosen satu ini memang suka menggoda dg menulis dari perspektif berbeda. 🙂
soal penggunaan helm itu, aku juga sering gemes lihat mereka yg hanya pakai peci atau jilbab waktu naik motor tanpa pake helm. pengen gitu dekati mereka dan bilang, “selain melindungi aurat, jangan lupa melindungi kepala. aspal terlalu keras utk dilawan batok kepala kalau kita jatuh.”
Siap! 🙂
Salam
Saya rasa tidak ada masalah antara umat Islam dan Hindu. saya sejak Smp sudah berteman dengan orang hindu yg sama2 peranakan transmigrasi di sumatera selatan.
Adapun konflik yg terjadi di Lampung atau sumatera yg melibatkan orang Bali itu murni konflik Rasial dan bukan agama. Karena muslim jawa pun juga berkonflik dengan suku2 asli. bukan sekali dua kali. tapi berkali2. dan unik karena jawa dan bali sendiri tdk pernah berperang. Jadi murni bukan latar belakang agama. Saya katakan ini, agar umat hindu di bali tahu bahwa ini bukan diskriminasi atas dasar agama.
Selain itu di SMA dulu st diasrama. meski sekolah formal namun nilai2 Islam sangat kuat ditanamkan sprt sholat tepat waktu,mengaji quran, membaca doa2 setiap pagi. Meskipun begitu juga ada teman2 Hindu Bali berjumlah 5 orang diantara 150 siswa pria dan 4 wanita diantara 200 wanita.dan mereka hidup tanpa diskriminasi di asrama. sembahnyang dengan dupa di kamar, juga merayakan hari2 besar Hindu yg mana bukan hari libur tapi diperbolehkan libur. Tentu saja ini merupakan bukti Harmoni dan toleransi antar umat hindu dan umat Islam dr pengalaman saya.
Dan semoga semangat toleransi ini dapat dipraltekkan semua warga beragama indonesia dimanapun berada. 😀
Terima Kasih telah menuliskan Ini …