Pak Wayan Sukantra, guru Agama Hindu kami saat SD, pernah bercerita. Jangan memperlakukan orang seperti penjor, katanya. Penjor itu, bagian lurusnya kita tanam tenggelamkan, bagian bengkoknya kita umbar pamerkan. Katanya, itu artinya kita lebih memerhatikan keburukan orang lain dan cenderung mengabaikan kebaikannya. Saya masih SD, usia belum genap duabelas tahun sehingga belum mampu memahami apa yang dimaksud Pak Wayan Sukantra. Bagi saya, cerita itu mengganggu karena selama ini penjor menjadi simbol kemeriahan hari raya. Penjor selalu ditemukan di jalanan di Bali ketika hari raya, terutama saat Galungan dan Kuningan. Ingatan di masa kecil tentang penjor salah satu yang membuat saya selalu rindu pulang.
Deretan gadis-gadis kecil yang menjunjung banten sesajen, kelakar anak laki-laki yang mengenakan udeng dan kepulan asap dupa dilatari kidung suci adalah ingatan yang tak pernah pergi. Galungan adalah puncak sukacita kami, anak-anak kecil di sebuah desa terpencil di pedalaman Tabanan. Berangkat ke Pura selalu menyenangkan karena di sana kami bisa bermain sesuka hati. Anak-anak remaja usia tanggung bahkan mulai menaruh hati pada temannya di pelataran pura. Hyang Widhi memang menebar cinta, termasuk pada remaja yang masih tersipu ketika diminta menyebut nama orang tuanya karena konon pamali.
Galungan adalah tentang baju baru, meskipun itu tidak selalu berlaku pada keluarga kami. Galungan adalah tentang makan enak 210 hari sekali, saat berupa-rupa makanan terhidangkan, memuaskan lapar dahaga akan kenikmatan. Galungan datang menjadi berkah karena hanya saat itu pesta pora itu ada dan selainnya adalah bekerja dan prihatin. Sate babi, lawar merah, komoh dan tum bungkil debong tidak bisa dinikmati di lain hari, hanya saat Galungan. Tak heran kalau Galungan begitu ditunggu. Galungan punya daya pikat karena dia seperti menjadi hadiah sebuah pertapaan lama, sebuah imbalan atas kerja keras yang panjang. Saya rindu Galungan yang demikian. Rindu Galungan yang hadir sebagai hadiah istimewa karena hari-hari lainnya penuh perjuangan, penuh keterbatasan.
Kini Galungan berbeda rasanya. Lawar tak lagi istimewa, komoh adalah keseharian, jukut ares bisa didapatkan setiap hari di berbagai rumah makan, baju baru dibeli setiap minggu dan penjor pun hadir setiap pejabat berkunjung ke desa. Galungan tak mampu suguhkan keistimewaan karena hari-hari lainnya telah diberi hak yang sama. Galungan tak lagi menjadi hadiah, karena hari-hari lain tidak dipenuhi dengan ujian dan keprihatinan. Benar rupanya, jika setiap hari diisi dengan kenikmatan maka keistimewaan nikmat itu luntur binasa. Kini, Galungan mungkin tidak bisa menghadirkan sensasi magis pada anak-anak kecil. Mereka mungkin tidak lagi merasakan sensasi yang saya rasakan ketika menendang sebuah bola dari kantung kemih babi yang ditikam lehernya di satu pagi buta untuk sesajen. Ruang sensasi itu pastilah telah penuh sesak oleh kemewahan rasa yang hadir bersama permainan digital yang berganti setiap hari.
Saya teringat lagi dengan cerita Pak Wayan Sukantra. Galungan, pada akhirnya adalah soal makna. Bahwa kebenaran (Dharma) itu, pada akhirnya akan mengemuka dan menang atas ketidakbenaran (Adharma). Galungan tidaklah mesti soal sensasi rasa. Galungan adalah soal penjor yang mengisyaratkan satu larangan untuk menyembunyikan kebaikan dan menonjolkan keburukan orang lain. Bagian lurus boleh saja dikubur dan bagian bengkok diumbar tetapi pada akhirnya nanti, setelah perayaan Galungan selesai, maka segenap warga banjar akan mencabut penjor itu. Ketika itulah perhatian mereka hanya tertuju pada bagian yang tertanam dan tangan-tangan mereka akan memegang bagian penjor yang lurus itu dengan sekuat tenaga. Selamat Galungan.
Baca postingan ini jadi ingat serial Laura Ingals Pak.. ^_^
Saya malah tidak baca itu 🙂
Cara penggambarannya yang hampir sama ^_^
Oh okay. Thanks ya 🙂
beh baagus ini cerita galungan, bermakna tanpa menggurui….selamat galungan, Ndi…..
Selamat Galungan Mang De 🙂 Kangoang, sing nyidang ngelawar, nulis gen kangoang’ ngilangang ati samun..
Menurutku, penjor itu, bagian yang sudah lurus kita tanam dan pertahankan, sedangkan bagian yang bengkok kita hias, agar tampak indah. Sing nyak asane to 😀
Nyak mase keto Pak Dokter. Kel orin Pak Yan Sukantra 😉
cerita yg bagus,masukan bagi saya yg masih belajar agama Hindu 🙂
Sykurlah Nila 🙂 Saya juga baru belajar.
selamat merayakan galungan, Bli. filosofi penjor galungan masih relevan sampai kapan pun, seperti halnya kisah pandawa dan kurawa
Matur nuwun Mas Yudhi.
filosofinya bagus pak…sekilas saja perhatikan keburukan orang lain,endingnya…kebaikan mereka lah yang jauh lbh pantas dikenang
Selamat Hari Raya Galungan, Bli!
Suksma … Selamat Galungan 🙂