Lebih Mudah Jadi Presiden Indonesia Dibandingkan Masuk Teknik Geodesi UGM?

Saya tahu, pasti banyak yang mengernyitkan dahi atau mencibir. Saya sedang bicara soal selektivitas, keketatan atau persaingan masuk perguruan tinggi.

Tahun 2022, misalnya, rasio masuk Teknik Geodesi UGM adalah 1:11 artinya ada satu orang yang diterima dari setiap 11 orang yang mendaftar. Sementara itu, tahun 2019, hanya ada dua calon presiden di Indonesia dan satu orang pasti berhasil jadi presiden. Artinya ada satu orang yang diterima dari setiap dua orang yang mendaftar. Lebih mudah mana?

Mari kita lihat lebih jauh. Kuota Teknik Geodesi UGM tahun 2022 adalah 140 orang. Artinya pendaftarnya sekitar 1.540 orang maka rasionya menjadi 1:11. Jadi ada 1.540 pendaftar dan yang diterima adalah 140 orang. Artinya, ada 1.400 orang yang pasti tidak diterima. Dengan kata lain, untuk bisa diterima di Teknik Geodesi UGM tahun 2022, harus mengalahkan 1.400 orang. Pak Jokowi hanya perlu mengalahkan Pak Prabowo untuk menjadi Presiden Indonesia di tahun 2019 lalu. Lebih sulit mana?

Apa betul lebih mudah menjadi Presiden RI dibandingkan masuk Teknik Geodesi UGM. Tentu kita tahu jawabannya. Tulisan ini untuk memberi sebuah ilustrasi, betapa bahanya kalau kita menilai mudah tidaknya masuk sebuah prodi kuliah hanya dengan melihat data keketatan,  selektivitas, atau persaingannya. Tahun 2022, keketatan masuk Pariwisata UGM adalah 1: 34 sedangkan Teknik elektro 1:19. Apakah masuk Teknik Elektro UGM lebih mudah?

Untuk masuk program internasional (IUP) Psikologi UGM, misalnya ada 40 orang yang diterima dari sekitar 300 pendaftar setiap tahunnya. Artinya keketatannya adalah 1:7. Sementara itu keketatan Prodi Arkeologi adalah 1:14, Sastra Jawa 1:9 dan Filsafat 1:9. Apakah masuk program internasional psikologi lebih mudah dibandingkan ketiga prodi tersebut? Anak saya yang harus belajar mati-matian untuk bersiap masuk IUP Psikologi, lalu mengikuti GMST berbahasa Inggris dan harus meraih skor ACEPT tinggi serta harus wawancara dalam Bahasa Inggris, tentu punya pendapat sendiri.

Tantangan masuk sebuah prodi kuliah tidak bisa dilihat dari keketatan atau tingkat persaingan saja. Terlalu sederhana dan bisa menimbulkan salah paham. Ini sama dengan mengatakan menjadi Presiden Indonesia lebih mudah dibandingkan masuk Teknik Geodesi UGM. Tentu saja ini pernyataan yang super absurd. Yang lebih penting lagi, mungkin tidak bijak mengatakan ini lebih baik dari itu karena program studi kuliah semestinya adalah soal pilihan yang disesuaikan dengan greget masing-masing. Seperti kata Abah Lala dalam lantunan Denny Caknan, “ojo dibanding-bandingke”. Kepada anak-anakku yang sedang berjuang, 20 tahun lagi kamu mungkin akan tertawa geli mengingat hal yang paling kamu khawatirkan tahun ini. Percayalah.

Advertisement

Lita Masuk UGM, Mungkin Karena Jatah

Apakah saya bangga ketika Lita bisa diterima di UGM? Tentu saja. Yang ingin saya ceritakan adalah perkara lain. Perkara yang mungkin lebih mendasar dari sekedar bangga atau tidak, gembira atau tidak. Ini adalah perihal proses, perihal perjuangan.

Lita memutuskan untuk tidak menjadi seperti ibunya, tidak juga seperti ayahnya dalam hal pemilihan bidang studi. Lita tidak tertarik menjadi sarjana teknik, tidak juga berminat menjadi dokter. Dalam kelakar saya kepada teman-teman, kami adalah orangtua yang gagal menjadi idola bagi anak sendiri.

Kami menghormati keputusan Lita. Tentu saja, tugas kami adalah memberinya kesempatan menyimak informasi sebanyak-banyaknya. Saya beberapa kali mengajaknya jalan-jalan ke berbagai kampus di UGM. Menunjukkan gedung berbagai fakultas dan menceritakan orang-orang berpengaruh yang ‘lahir’ dari berbagai fakultas itu. Saya juga mengajaknya bertemu beberapa orang yang mungkin bisa menginspirasinya. Menurut saya, ini adalah cara yang baik untuk memberinya keterpaparan positif.

Apa yang kami lakukan dan menurut kami baik itu ternyata tidak selalu diterima sebagai hal yang baik oleh Lita. Usaha kami memotivasi ternyata kerap hadir sebagai intimidasi. Beberapa hari lalu, Lita menceritakan suatu rahasia, bahwa dia ternyata pernah ke kamar mandi sendirian ketika kami bertiga sedang makan di sebuah café. Pasalnya, selama makan kami sibuk bercerita tentang masa depan, tentang kuliah, tentang kesempatan dan tentang persaingan hidup. Ketika kami rasa itu adalah cerita motivasi, Lita ternyata menerimanya sebagai intimidasi. Mungkin ada juga keluarga yang mengalami ini dan mungkin tidak pernah terungkap. Terus terang, saya sedih mendengarnya tetapi syukurlah semua itu berlalu dan Lita bertahan dengan baik. Maafkan kami ya, Nak. Terima kasih sudah bertahan dengan cara yang pastinya tidak mudah.

Di kelas satu SMA, Lita sudah mulai menunjukkan minat ke Psikologi UGM, terutama program internasional (IUP). Tanggal 16 Juni 2021, saya mengajaknya campus tour. Ada sebuah foto di depan Gedung Psikologi yang saya bagikan di Istastory denyan caption “Lita minat masuk sini”. Tentu saja Lita juga berfoto di depan banyak Gedung lain dengan caption berbeda. Umumnya saya bercerita tentang alumni-alumni berpengaruh dari kampus itu. Lita tidak pernah menunjukkan minat ke tempat lain. Sejak hari itu, fokusnya hanya ke Psikologi. Tidak ada yang lain.

Hidup berjalan normal. Seperti banyak keluarga lain, kami hidup dan berjalan dengan wajar. Ada drama, ada masalah, dan ada perselisihan, di tengah hari-hari biasa yang diisi dengan kesenangan keluarga. Lita menunjukkan ups and down dalam cita-citanya. Pernah juga sekali waktu pengen sekolah ke luar negeri, lalu redup lagi. Ketika mulai kelas tiga, nampaknya dia sudah mantap dan mulai les di sana sini.

Ada tiga atau empat les di luar sekolah yang diikutinya. Dua di antaranya adalah di Inten dan di ESP, tempat les yang dijadikan rujukan oleh banyak peminat UGM. Lesnya tidak murah menurut kami tetapi niat dan semangat besar di balik itu yang menjadikan kami harus berusaha melunasinya. Usaha dan dukungan terbaik berupa doa tentu saja harus diiringi dengan banyak hal yang bersifat materi. Tidak ada yang gratis di dunia ini.

Ketika harus les, Lita biasa pulang malam. Kadang bahkan sampai jam 9 malam. Lita mulai naik motor sejak kelas dua SMA dan ke mana-mana sendiri. Dia ke sekolah sendiri. Les sering sendiri. Ke dokter sendiri. Ke rumah sakit juga sendiri. Tidak jarang Lita mengalami masalah di jalan dan coba diselesaikannya sendiri. Cerita khas seperti kekurangan uang untuk beli bensin, dan kartu parkir yang raib sehingga harus bernegosiasi dengan tukang parkir adalah sebagian saja dari cerita klasik itu. Nurun siapa ini? Yang pasti bukan dari Ibunya 🙂

Di sepanjang perjuangan itu, kami punya program belajar TOEFL keluarga. Setiap minggu kami mengerjakan soal TOEFL bersama. Lita selalu paling tinggi nilainya, meskipun termasuk yang paling tidak bisa menjelaskan ketika ditanya soal grammar. Ketika tes sesungguhnya, nilainya 637. Menurut saya, itu sangat amat baik. Modal Bahasa Inggris untuk menuju IUP Psikologi UGM kami rasa cukup. Semoga.

Setiap kali Tryout di tempat les, nilainya selalu baik. Nilainya selalu di atas syarat minimal masuk IUP UGM, maka kami sedikit lega. Lita secara konsisten menunjukkan itu, meskipun itu harus dijalani dengan sangat sibuk. Kadang Lita mengeluh di tengah jalan. Ibunya adalah orang terbaik yang menjaga semangatnya. Saya tahu, perjuangan hidup Lita mungkin lebih sulit dari saya dulu. Hidup memang tidak melulu soal fasilitas duniawi. Hidup di berbagai zaman memang berteman dengan berbagai kesulitan yang kerap tidak mudah dilewati. Tak elok membandingkan.

Selama perjuangan masuk UGM, ada satu hal yang menghantui. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa masuk UGM itu mudah bagi anak dosen karena ayahnya bisa dapat jatah. Saya tidak akan berdebat soal ini tetapi saya memilih untuk menggunakan jalur semestinya. Saya tidak banyak membantah kata-kata atau kelakar orang. Kami jalan saja dengan santai. Sebagai dosen, saya sudah merasa mendapatkan banyak sekali fasilitas dan privilese. Saya dengan santai dan mudah bisa mendapatkan informasi teknis dan penting. Saya bisa tanya siapa saja di UGM ini. Bagi saya, itu saja sudah merupakan kemewahan yang patut disyukuri.

Lita mengikuti tes ACEPT (Basaha Inggris) dan Gadjah Mada Scholastic Test (GMST) di UGM tanggal 2 Maret 2023. Saya mengantarnya di pagi hari dan ikut degdegan. Ini penentuan. Di siang hari ketika selesai, Lita menyampaikan “wasnt that good”. Hati saya berantakan tetapi tetap mengatakan “isoke”. Demikian rasanya mendampingi perjuangan anak sendiri. Saya merenungi dan kini merasakan sendiri kegalauan para orang tua. Kegalauan yang tidak boleh dipamerkannya di sembarang waktu. Kegalauan yang harus segera diubah dengan senyum tenang dan sikap optimis, meski kerap dipaksakan.

Tanggal 3 Maret, Lita dinyatakan lolos ACEPT dan GMST. Kami lega luar biasa dan itu artinya Lita maju ke babak berikutnya berupa tes menulis essay dan wawancara. Untuk ini, saya juga membantu Lita berlatih. Pernah kami habiskan waktu hingga larut malam di sebuah café untuk berlatih wawancara. Hal semacam ini adalah hobi dan passion saya. Meski demikian, ketika berhadapan dengan anak sendiri, segalanya serba lain. Jadi berbeda. Lebih tegang, lebih rumit. Entahlah.

Dalam perjalanan ke tempat tes di tanggal 4 Maret 2023, Lita bertanya beberapa hal terkait cara bercerita yang singkat tetapi membuat pewawancara tertarik. Hal ini tidak mudah dilakukan, terutama ketika pertanyaannya sangat standar seperti “tell me about yourself”. Saya beri beberapa pilihan fakta yang bisa dia gunakan. Ada dua hal penting yang saya sarankan untuk dikatakan yaitu tentang dia yang menulis novel berbahasa Inggris di usia sebelum 13 tahun dan perjalanannya naik pesawat sendiri sebelum usia 7 tahun. Dia excited!

Tanggal 9 Maret 2023 adalah hari penting itu. Lita dinyatakan diterima di IUP Psikologi UGM. Kami bersyukur sudah tentu. Saya pun mengirimkan pesan kepada beberapa orang untuk menyampaikan kabar bahagia dan berterima kasih atas doa dan dukungan mereka. Ada seseorang dengan otoritas di UGM yang mengirimkan pesan seperti ini “Selamat Pak, menika murni karena usaha Lita sendiri”. Pesan lain juga datang dari seseorang yang terlibat dalam penerimaan mahasiswa baru “[…] Saya sendiri terus terang tidak tahu Lita yang mana (namanya siapa dan anaknya yang mana) Bapak, saya hanya tahu di akhir saat proses penstatusan, ranking Lita sangat baik di semua aspek. Well deserved. […]”

Lita berhasil masuk UGM memang karena jatah. Jatah yang diberikan Hyang Widhi karena tidak ada hal yang bisa terjadi tanpa jatah yang disiapkan-Nya. Jatah yang dijemputnya dengan perjuangan dan kerja keras serta doa dari banyak orang di sekitarnya. Selamat ya Nak. Matur suksma semuanya.

Sebuah Ide tentang Beasiswa bagi mereka yang tidak mau pulang

First thing first. Penerima LPDP yang tidak mau pulang dan terbukti melanggar kontrak, harus diberi sanki yang sesuai hukum. Proses secara hukum dan putuskan dengan adil, tidak ada yang dirugikan atau tertindas secara tidak adil. Pastikan ganjarannya. Selesaikan perkaranya!

Mari kita bicara soal beasiswa jenis lain, khusus bagi mereka yang tidak [harus] pulang ke tanah air. Pertama, niatkan sebuah tujuan besar, bahwa Indonesia perlu menempatkan orang-orang terbaiknya di berbagai belahan dunia, selain di Indonesia tentunya. Mereka adalah duta, sebagai perwakilan, sebagai kebanggaan.

Bayangkan, ada orang-orang Indonesia yang berkarya di puncak-puncak peradaban dunia. Kampus-kampus terkemuka, institusi think tank yang disegani, perusahan berpengaruh dunia, pusat pemerintahan, punya perusahaan di pusat ekonomi internasional, NGO, you name it! Orang-orang ini bekerja dengan gembira dan bangga akan Indonesia karena dia didukung bangsanya, tidak saja dengan doa dan puja puji tetapi lebih dari itu.

Sebelum itu terjadi, tugas pemerintah adalah menyiapkan dana beasiswa yang layak. Beasiswa ini untuk mengirimkan orang-orang terbaik Indonesia ke pusat-pusat pendikan masyur dunia. Seleksinya ketat, terarah dan penuh strategi. Visinya jangka panjang melampaui rejim kekuasaan, pendekatannya komprehensif, serta eksekusinya rinci dan saksama. Hindari salah pilih.

Kontrak dan janji dibuat di awal bahwa mereka akan menyelesaikan pendidikan dan TIDAK akan pulang dalam jangka waktu tertentu. Mereka WAJIB mendapatkan peran di institusi-institusi mentereng yang sudah ditetapkan kelasnya. Mereka perlu didukung oleh negara ketika memulai karier. Beri mereka target yang ambisius namun masuk akal. Bahwa mereka adalah kepanjangan tangan, telinga dan mata bagi Indonesia. Mereka duta bangsa!

Jika ada yang menggap ini terlalu berat dan membebani, tidak perlu mendaftar beasiswa ini. Mereka bisa mendaftar beasiswa lain dengan syarat dan konsekuensi berbeda. Beasiswa ini khusus bagi mereka yang berani melakukan hal-hal besar di tempat asing dan berkolaborasi dengan orang-orang yang baru dikenal.

Berikan kemudahan bagi orang-orang demikian. Buat mereka bangga karena merasa diberi kepercayaan. Jadikan mereka tak mau berpaling dari Indonesia karena perhatian yang cukup, dukungan yang memadai dan perlakuan yang mendamaikan. Mereka pun tak akan menghadirkan keresahan karena mereka adalah orang-orang dengan karakter terpilih dari proses yang transparan dan objektif.

Kelak ketika mereka telah menuai kuasa dan mendulang peran-peran besar, mereka siap siaga untuk diberi peran-peran strategis di tanah air. Mereka adalah orang-orang hebat yang sadar kelemahan negerinya dan siap dipanggil untuk memperbaiki keadaan. Mereka penuh dedikasi karena telah menikmati kebaikan dan ketulusan bangsanya. Maka ketika bangsa menunggu, mereka akan lari mendekat tanpa ada ragu.

BONUS PRAGRAF!

Terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada 35 ribu lebih penerima Beasiswa LPDP yang telah belajar dan bekerja dengan sangat baik. Saya tahu tantangan dan kesulitan dalam belajar. Terima kasih telah bertahan dan tidak menyerah. Bagi yang belajar di mancanegara, terima kasih telah menjadi wajah menawan Indonesia di mata dunia. Saya bangga!

SEKOLAH KE LUAR LALU ENGGAN PULANG

Tahun 1996 saya meninggalkan Bali, merantau ke Jogja untuk sekolah di UGM. Saya sekolah dengan keringat orang tua yang tidak berpendidikan. Hingga kini saya tidak pulang ke Bali dan malah menetap di Jogja. Bapak ibu saya bahagia karena mereka memang tidak mensyaratkan saya untuk kembali ke Bali.

Seorang pemuda dari Tabanan memilih kuliah di Universitas Udayana di Denpasar. Cita-citanya menjadi dokter dan terkabul dalam waktu enam tahun. Dia memilih merantau ke Papua untuk mengabdikan ilmunya bagi masyarakat yang terkebelakang. Pemda Tabanan yang membiayai pendidikannya begitu bangga karena pemudanya mengabdi melampaui dermaga.

Seorang pemuda dari Sulawesi berhasil kuliah di Belanda dengan beasiswa dari Indonesia. Dia berjanji akan pulang dan mengabdi karena keberhasilannya didukung oleh keringat jutaan rakyat Indonesia. Selepas sekolah dia kembali ke Sulawesi untuk membalas budi. Apa daya, negeri tidak peduli, tidak didapatnya peran yang lama dinanti. Dia ternyata lupa mengasah diri untuk menciptakan sendiri pekerjaan yang mendamaikan hati.

Seorang perempuan dari Malang bergeges ke Jepang untuk merengkuh ilmu tentang kilang. Dilahapnya segala hal baru dan ditimbanya pengalaman sambil berlari menderu. Paripurna belajar, dihadapinya tawaran dari Negeri Sakura untuk mengajar. Dilema antara harus terbang atau tawaran yang dibuang sayang, dia memilih untuk tidak pulang. Tak ada uang yang hilang karena dia memang tak harus pulang. Kini dia menjadi jembatan bagi anak Nusantara untuk berguru ke Negeri Sakura.

Seorang penerima beasiswa negeri untuk sekolah di luar negeri memilih untuk tidak kembali. Dia bisa bilang, “mengabdi pada negeri bisa dari mana saja”. Tidak salah tapi dia mengingkari janji pada negeri. Dosanya mungkin bukan pada negeri tapi pada administrasi yang dengan sadar di diberinya janji. Lukanya mungkin bukan pada pertiwi tapi pada teman yang pernah gagal di lintasan perjuangan yang sama.

Agar tak ada dosa, negeri kita perlu menyediakan beasiswa bagi para cendikia untuk berguru di mancanegara dan tak diwajibkan pulang ke Nusantara. Kita dukung mereka yang cemerlang untuk menjadi makin gemilang. Selepas itu, berikan kepercayaan pada mereka untuk melanglang buana ke berbagai belahan dunia. Kibarkan merah putih di tengah lelah dan letih di puncak-puncak tertinggi peradaban dunia agar citra bangsa tak lagi tertindih.

Kelak di kemudian hari, bangsa kita membesar, pengaruh kita meluas. Perdebatan tak lagi hina soal pulang, tak pulang yang dinilai dari tumpukan administrasi. Perdebatannya akan meninggi pada peran-peran besar bagi peradaban. Kelak, ketika Nusantara turut menata dunia meski tanpa Sumpah Palapa.

Memilih Bahagia

Tadi pagi, saya dan Ktut Asti naik motor berdua ke Stadion Maguwoharjo untuk olahraga. Sesuatu yang cukup jarang dilakukan beberapa bulan terakhir. Rencananya sudah jelas: memutari stadion tiga kali, dilanjutkan dengan makan soto di warung tenda di depan stadion. Satu kripik tempe dan satu tusuk sate telur puyuh adalah gagasan yang tiada duanya.

Benar saja, rencana berjalan mulus dan tiba-tiba saja kami berdua sudah menyantap soto di warung tenda biru di depan stadion. Di sebelah kami ada pasangan lain yang juga menikmati soto. Sejenak senyum basa-basi dengan mengucapkan satu kata magis “monggo” dan beres perkara.

Tiba-tiba datang seorang lelaki yang menggendong keranjang plastik berisi tumpukan kaos kaki berbagai warna dan ukuran. Saya lihat Asti mulai melirik. Dengan kombinasi naluri ibu-ibu dan belas kasihan yang mudah tumpah, saya mulai curiga. “Kasian Yah” katanya lalu berteriak “Mas… Mas Kaos Kaki…” Masnya tidak mendengar dan bapak yang sedang asyik makan soto di dekat saya ikut menolong “Mas, ini ibunya mau beli”. Maka terjadilah transaksi itu. Dengan 50K ada sepuluh pasang kaos kaki masuk tas plastik.

Hujan tiba-tiba mengguyur deras. Di saat itu, pasangan di sebelah kami sudah berganti dengan dua orang perempuan. Nampaknya mereka terganggu dengan hujan. Tidak tega, kami pun berdiri, memberi kesempatan kepada dua perempuan itu untuk menggeser posisinya agak ke dalam sehingga agak terhindar dari terjangan hujan. Suasana jadi riuh. Para penikmat soto yang tadinya duduk di tikar di bawah pohon atau di trotorar menghambur ke lokasi beratap. Penuh sesak tapi penuh senyum dan gelak tawa.

Kami berdesakan di ruang sempit itu. Sementara hujan kian deras. Setengah dari meja saya tadi diguyur hujan. Gelas es jeruk dari salah satu perempuan di dekat saya itu terguyur air hujan yang meluncur dari atap terpal biru yang bocor. Gelas yang tadinya berisi setengah, kini penuh lagi. Hujan memberi tambahan minuman tanpa dipesan dan tidak perlu dibayar. Perempuan itu tergelak bersama temannya, menertawakan kenaasannya sendiri. Mereka memilih bahagia.

Tak bayak yang bisa dilakukan, kami bergegas meninggalkan warung tenda meskipun hujan belum tuntas. Kami berlari ke parkiran motor dengan membawa beberapa bungkus soto untuk oleh-oleh. Cukup 63K untuk lima soto, dua kripik tempe, satu es jeruk, satu jeruk panas dan satu tusuk sate telur puyuh. Jogja memang istimewa dalam urusan harga.

Berharap di motor ada jas hujan, ternyata tidak. Maka kami berkendara di tengah hujan sambil menertawakan kekonyolan sendiri. Di jalan kami melewati gerobak menembus hujan yang ditarik dua ekor sapi. Sementara di dalam gerobak nampak seorang anak lelaki yang dipangku bapaknya. Dia tersenyum gembira menikmati hujan di sekitarnya. Tak ada risau, tak ada wajah panik akan krisis yang konon menerpa dunia. Santai seperti di pantai. Dia tidak ada urusan dengan LKD, BKD, Sister, MySAPK, apalagi IBK. Tidak ada.

Kami tetap melaju dan basah sudah seluruh badan. “HP mana Yah?” tanya Asti dan begitu saya sentuh saku ternyata tidak ada. “Oh, ketinggalan kayanya!” teriak saya panik dan diikuti Asti yang tak kalah panik. “Nggak ah, ini ada” kata Asti yang meraba lebih teliti. Ternyata HP tergelayut agak ke bawah di dalam saku celana yang longgar. Dengan sigap Asti mengambil HP saya dari saku celana dan menyelamatkannya dari guyuran hujan. Percayalah, caranya mengambil sesuatu di saku celana saya berbeda dengan ketika kami naik Astrea Grand stiker hijau dg shock breaker spiral merah tahun 90an silam. Sungguh.

Tiba di rumah, kami disambut anak-anak. Ada satu yang baru kami sadari: sepuluh pasang kaos kakinya ternyata ketinggalan. Sudahlah!

Tampil di TVRI World saat G20: Sebuah Behind the Scenes

Tanggal 3 November lalu ada sebuah pesan masuk dari seorang kawan yang tadinya bekerja di Shout China Morning Post. Sudah agak lama, kami pernah berinteraksi soal pemberitaan dan tulisan. Beliau masih menyimpan nomor saya rupannya. Intinya, saat ini beliau bekerja sebagai konsultan TVRI World dan sedang memerlukan narasumber.

Tidak lama, saya dikontak seseorang dari TVRI World dan menanyakan kesediaan saya menjadi narasumber. Menurut pesan itu, “topik yang akan dibahas yakni G20 possible stance regarding territorial disputes involving its member such as the South China Sea”. Saya mempelajari isu perbatasan dan cukup sering menulis tentang Laut Cina Selatan, maka saya sanggupi. Ini momen yang tepat untuk belajar lagi.

Awalnya saya mau didatangkan ke Bali namun akhirnya tidak bisa saya sanggupi karena tidak tersedia tiket pesawat untuk Kembali ke Jogja pada waktu yang saya inginkan. Acaranya tanggal 13 November 2022 dan saya harus sudah ada di Jogja tanggal 14 November pagi karena harus mengajar di Teknik Geodesi UGM. Minggu sebelumnya saya sudah meninggalkan kelas selama seminggu dan memberi kuliah online karena bertugas di Singapura. Sudah kangen ngajar offline.

Saya sanggupi hadir lewat zoom. TVRI kemudian mengirimkan daftar pertanyaan seperti yang dijanjikan. Ternyata ada 15 pertanyaan yang menurut saya dahsyat. Tidak hanya soal perbatasan tetapi soal G20, ASEAN Summit, APEC dan juga COP27. Saya mengikuti isunya tetapi tentu saya bukan ahlinya. Perlu belajar sangat keras untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Maka kemudian saya menghabiskan waktu sehari penuh untuk melakukan penelitian, membaca paper, membaca berita, menonton video dan menyimak pernyataan pemerintah. Ada banyak hal yang perlu saya konfirmasi agar jawaban saya nanti cukup baik.

Tepat di hari H, saya masih bersiap-siap hingga 30 menit sebelum waktu wawancara. Masih komat-kamit berlatih, masih membaca beberapa berita, dan masih juga menonton video dari CSIS Indonesia terkait G20. Persiapan memang harus prima, apalagi saya memang merasa bahwa tidak semua hal yang ditanyakan nanti adalah keahlian saya. Jika pun harus berkomentar sebagai non-ahli, saya tentu harus bisa memberikan komentar ilmiah sebelum kemudian menambahi dengan “I did not focus my research on this matter”. Atau, masa’ saya harus sering mengatakan “I take the liberty NOT to say anything” kan nggak seru.

Jam 12 siang saya sudah online di zoom dan saya diberitahu bahwa wawancara akan dimulai sekitar pujul 12.20 WIB. Saya menuggu dengan sabar, tentu saja dengan pakaian yang diusahakan serapi mungkin. Jas hitam, kemeja putih dan dasi merah. Saya tidak perlu ceritakan bawahannya karena memang hanya celana pendek. Ini adalah ‘seragam’ khas acara online di masa Covid.

Pertanyaan pertama diajukan kepada Prof Aleksius, nara sumber selain saya. Dengan pertanyaan yang sama, saya pun diminta berkomentar. Di situlah bencana pertama terjadi. Suara saya bergema dan studio tidak bisa mendengar suara saya. Rupanya ada sedikit kendala. Saya agak panik tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Untunglah Mas Arif dan Mbak Stephanie, pewawancaranya, segera sigap mengalihkan pertanyaan ke Prof. Prof Aleksius. Beliau berdua cekatan.

Beberapa detik kemudian telepon saya berdering dan terlihat nomor Bali di situ. Saya mengangkat dengan terlebih dahulu mematikan video dan microphone Zoom. Ternyata itu memang dari TVRI World dan ada suara yang menjelaskan bahwa ada kendala teknis. Sebagai jalan keluar, kami akan berkomunikasi audio dengan telepon dan video dengan zoom. Okay saja lah. Saya ngikut saja. Akhirnya wawancara bisa dimulai dengan lancar, meskipun saya jadi lebih grogi. Ada dua hal yang saya pikirkan: keakuratan informasi yang saya sampaikan dan kemungkinan kendala teknis yang bisa terjadi. Cukup menegangkan!

Wawancara berlangsung baik dan pelan-pelan saya menjadi jauh lebih tenang. Ketika disampaikan sebuah pertanyaan penting untuk saya, tiba-tiba saya lihat video di studio tidak bergerak, sementara suara melalui telepon masih terdengar. Saya duka ada masalah internet di studio. Beberapa detik kemudian gambar di zoom lenyap dan muncul animasi berputar, tanda koneksi internet putus. Ternyata, mati lampu, saudara-saudara. Di rumah saya mati lampu. Itu saya pastikan ketika mencoba menyalakan lampu kamar.

Sementara itu, saya mendengar lewat telepon, nama saya dipanggil-panggil. Panik nggak? Panik lah, masa nggak! Saya coba untuk switch internet dengan tethering lewat HP namun gagal. Saya baru sadar, saluran telepon saya sedang dipakai untuk komunikasi dengan land-line studio TVRI World sehingga fungsi data internet tidak berjalan. Saya lari ke luar kamar dan berteriak bertanya “mati lampu ya?” sehingga anak dan ponakan ikut panik. Ternyata memang mati lampu. Begitu keyakinan kami semua. Dan nampaknya sudah tidak ada harapan. Saya harus mita maaf kepada TVRI World soal ini.


Sebentar! Saya ingat sesuatu. Tadi pagi, beberapa kali listrik di rumah saya mati karena meterannya yang off, bukan karena ada pemadaman oleh PLN. Saya berharap, masalahnya sama. Lalu saya lari ke meteran listrik dan di situ saya melihat lampu hijau menyala. Benar kecurigaan saya dan akhirnya saya pun langsung menyalakan meteran. Listrik hidup lagi dan saya berlari ke kamar untuk melanjutkan wawancara. Saya tahu, studio TVRI World mungkin juga agak panik karena saya hilang.

Sesampai di kamar, saya mencoba mengaktifkan zoom lagi dan tentu menunggu beberapa saat karena Wi-Fi perlu waktu untuk aktif Kembali. Itulah satu menit terlama dalam hidup saya. Namun akhirnya semua kembali normal. Zoom menyala, saya sudah bisa masuk dan melanjutkan wawancara Kembali. Saya siap menunggu sambil membaca bebrapa pesan di WA dari TVRI yang meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Mereka terlalu baik. Masalahnya ada di saya, bukan di TVRI.

Wawancara berlangsung lancar hingga akhir. Saya tidak bisa memastikan saya tambil baik atau tidak tetapi saya bersyukur telah menyelesaikan tugas dengan tuntas di tengah berbagai kendala. Saya tidak menyesal telah bersiap bergitu serius meskipun kendala tetap saja terjadi dari berbagai sisi. Sudah bersiap serius saja, masih banyak kendala, apalagi tidak bersiap-siap. Ya, nggak?!

Pulau Pasir: Antara Kedaulatan Wilayah dan Kedigdayaan Intelektual

Belakangan ini, isu Pulau Pasir mengemuka. Ada berita, Pulau Pasir katanya diklaim oleh Australia. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu dipahami.

  1. Pulau Pasir memang milik Australia. Tidak ada dispute/sengketa soal kepemilikannya antara Indonesia dan Australia.
  2. Isu ini diangkat oleh Ferdi Tanoni (Ketua Yayasan Timor Barat) yg mengatakan bahwa Australia mengklaim Pulau Pasir. Australia tidak mengklaim Pulau Paris karena memang tidak perlu mengklaim, mengingat Pulau Pasir memang miliknya. Indonesia tidak perlu mengklaim Pulau Jawa sebagai bagian dari Indonesia. Analoginya demikian.
  3. Yang ingin dilakukan Ferdi Tanoni adalah menyampaikan bahwa masyarakat adat di Timor Barat sebenarnya tidak rela jika Pulau Pasir itu jadi milik Australia. Ini sudah diperjuangkannya sejak lama. Tahun 2005 saya sudah membahas perihal ini. Langkah Ferdi bisa dipahami, mengingat masyarakat adat dari Rote dan Timor sudah datang ke sana tahun 1700an, sebelum Inggris datang. Mereka merasa berhak.
  4. Masalahnya, kedatangan masyarakat adat ketika itu tidak mewakili negara secara resmi dan tidak melakukan klaim secara formal. Mereka datang untuk beraktivitas dan memanfaatkan sumberdaya. Maka, secara hukum, masyarakat adat tidak dianggap mengklaim pulau Pasir ini secara resmi.
  5. Sementara itu, Kapten Ashmore dari Inggris datang ke Pulau Pasir tahun 1800an dan akhirnya resmi mengklaimnya. Pulau itu juga dinamai Ashmore Reef. Inilah yg yg dianggap sebagai bukti hukum klaim resmi. Sementara itu, Belanda, sebagai penjajah di wilayah Indonesia tidak melakukan klaim resmi atas Pulau Pasir. Maka penguasa resmi di Pulau Pasir adalah Inggris. Cerita lengkap tentang ini jauh lebih panjang dari paragraf ini.
  6. Berdasarkan prinsip yg dianut dunia saat ini, “uti possidetis juris” (wilayah suatu negara mengikuti penjajah/pendahulunya) maka Pulau Pasir jadi bagian resmi Australia.
  7. Memang, kesannya hukum yg berlaku ini sangat tidak adil bagi masyarakat adat yg tidak mewakili negara. Namun, itulah kesepakatan dunia. Hukum itu telah dibuat dan diakui dengan proses politis dan juga kompromi. Dari semua kemungkinan, dunia mengakui bahwa prinsip itu yang harus berlaku. Tentu tidak semua pihak puas dengan prinsip ini.
  8. Sebagai bentuk ‘kompromi’, hak masyarakat adat yg sudah ke Pulau Pasir sejak turun temurun, tetap diakui. Aktivitas ini dianggap sebagai tradisi maka kemudian adanya “hak penangkapan ikan tradisional”. Indonesia dan Australia membuat perhanjian tahun 1974 untuk mengakomodir hal ini. Maka, nelayan Indonesia tetap bisa menangkap ikan di sekitar Pulau Pasir. Tentu ada aturan yang mengikat. Ada yg boleh dan tidak boleh dilakukan oleh nelayan Indonesia di sana.
  9. Jadi, Australia tidak merebut Pulau Pasir dari Indonesia. Indonesia memang tidak pernah secara resmi memilikinya. Indonesia pun sudah menerima hal itu dari awal.
  10. Apakah kita perlu takut akan kehilangan pulau? Tidak perlu takut. Semua pulau kita dalam keadaan sah milik kita dan tidak ada yg mengklaim. Kita pun tidak dalam posisi mengklaim pulau yg sedang berstatus sengketa. Sama sekali tidak ada.
  11. Apakah kita perlu merawat pulau-pulau terluar? Sangat perlu. Ini untuk kesejahteraan masyarakat di Pulau itu dan atau sekitarnya, bukan karena kita takut akan direbut oleh negara lain. Namun, jika motivasinya adalah agar tidak kehilangan pulau, tentu boleh saja. Setidaknya kita perlu tahu aturan hukum, bagaimana negara bisa punya hak atas sebuah pulau.
  12. Negara wajib waspada dan nenaruh perhatian besar pada pulau2 terluar. Sekali lagi, ini dalam rangka pemerataan pembangunan dan pembelaan pada rakyat. Negara tentu harus waspada jika ada negara lain yang menduduki atau memanfaatkan pulau kita. Harus dijaga. Meski demikian, sekali lagi, ini tidak terkait dengan kedaulatan dan kepemilikan akan pulau karena hal itu sudah jelas.
  13. Ada pertanyaan ke saya, bagaimana dengan Kepulauan Mapia dan Kepulauan Asia di sebelah utara Papua? Kedua kepulauan itu resmi milik Indonesia dan bahkan sudah dijadikan titik pangkal untuk menetapkan garis pangkal kepulauan. Kita sudah ajukan itu ke PBB tahun 2009 dan sudah termuat di website resmi PBB. Bisa dilihat di https://www.un.org/depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/STATEFILES/IDN.htm Tidak ada masalah.
  14. Perlukah kita memperhatikan dan merawat Kepulauan Mapia dan Asia? Jawabanya sama dengan poin 11.

Jika kedaulatan atas sebuah pulau ibarat perkara perang, maka ini adalah perang yang mengandalkan kedigdayaan intelektual. Semangat membara kita harus hadir dalam bentuk kecemerlangan dan kelihaian diplomasi di forum2 internasional yang melibatkan diplomat kelas dunia. Mari kita menjaga kedaulatan kita dengan semangat untuk memahami konteks legal dan geospasial kedulatan kita.

Jika tiba saat itu, kita harus bisa berdiri tegak, berbicara dengan tenang dan percaya diri, bernarasi dengan dagu terangkat karena sudah kita penuhi kepala kita dengan argumentasi intelektual yang memukau. Bukan hanya teriakan keras nasionalisme yang mudah redup dihempas badai fakta dan logika. Mari kita membela negeri dengan nasionalisme yang tidak saja membara tetapi juga cerdas.

Tabik,
I Made Andi Arsana, PhD
@madeandi – @andiarsana
Peneliti Aspek Geospasial Hukum Laut di Teknik Geodesi UGM

Privilege, Kuasa dan Kemandirian

Tempo hari kami ngobrol bertiga. Saya, Asti dan Lita. Sejujurnya, obrolan panjang bertiga begini agak jarang terjadi belakangan ini. Saya mulai sering ke luar kota, Lita sibuk sekali dengan sekolahnya. Tahun depan, dia akan mulai kuliah sehingga hidupnya sekarang dipenuhi les ini dan itu. Lita sering pulang malam.

Kami bicara banyak hal. Yang paling saya ingat adalah beberapa kejadian yang menimpa Lita belakangan ini. Mulai dari insiden di parkiran motor karena karcis hilang, hingga kekurangan uang saat mau beli bensin. Di antaranya tentu saja ada ketinggalan ini itu, kehilangan ini itu dan insiden ini itu. Diam-diam, saya seperti melihat diri sindiri pada Lita.

Semua itu berawal dari keputusan kami untuk membiarkan Lita melakukan banyak hal sendiri. Berangkat sekolah sendiri, les sendiri, ke rumah sakit sendiri, rawat gigi sendiri, dan banyak hal sendiri. Lita jarang sekali diantar dan itu kadang menjadi pertanyaan sahabat dan kerabat. Selain karena soal situasi dan kesempatan, ada unsur kesengajaan dalam hal ini. Melatih kemandirian memang bisa direncanakan tetapi keadaan dan keterdesakan yang sesungguhnya paling efektif. Dengan ‘terpaksa’ melakukan banyak hal sendiri, saya berharap Lita belajar secara alami dan lebih cepat.

Bagi bapak dan ibu saya, melatih anaknya untuk mandiri bukanlah bagian dari rencana. Semua berjalan alami karena beliau memang tidak bisa mengintervensi banyak hal dalam perjalanan hidup profesioal saya. Seseorang yang lulus SD atau bahkan tidak lulus SD tidak merasa punya banyak kuasa dalam menyelesaikan masalah-masalah administratif dan intelektual yang dialami anaknya. Inilah yang membuat saya ‘terpaksa’ melakukan semua hal sendirian, terkait pendidikan, sejak SMP hingga S3. Orangtua dengan rela dan sadar tidak berperan.

Pada keluarga yang memiliki sumberdaya, waktu dan pemahaman, melatih kemandirian ini tidak bisa sealami bapak dan ibu saya. Godaan untuk membantu penyesaian masalah anak begitu besar pada seorang bapak yang memang memiliki kemampuan, jaringan dan kekuasaan. Hal ini juga terjadi pada orang-orang dengan profesi dosen seperti saya. Belakangan ini, ada beberapa mahasiswa yang membawa-bawa orangtua ketika bermasalah. Saya beberapa kali dikontak oleh orang tua mahasiswa. Urusannya beragam. Entah ini inisiatif orangtua ataupun permintaan dari anaknya.

Saya ingat masa lalu. Ingat diri saya sendiri. Orangtua saya tidak mungkin melakukan hal yang sama. Bapak saya tidak mungkin menelpon seorang dosen UGM perihal anaknya. Ibu saya tidak mungkin mengemail seorang dosen untuk mengurus nilai saya yang kebetulan T. Oragtua saya tidak mungkin menghadap seorang kaprodi atau kadep atau dekan, apalagi rektor dalam rangka ‘memperjuangkan’ anaknya. Saya lahir di keluarga yang berbeda. Saya tidak memiliki privilege itu.

Setiap kali dihubungi oleh orangtua untuk urusan anaknya, ada kegamangan di pikiran saya. Di satu sisi saya merasa wajib melayani dengan baik karena itu bagian dari komitmen pekerjaan. Di sisi lain ada kekhawatiran tentang kemandirian mahasiswa. Rasanya agak aneh dan mengkhawatirkan melihat anak usia 20 tahun lebih harus dibantu ayah ibunya untuk sekedar bertanya atau mengklarifikasi perihal nilai sebuah mata kuliah. Tidak nyaman rasanya ketika melihat seorang calon sarjana Indonesia perlu melibatkan mamahnya untuk mengurus sebuah dokumen sederhana. Pendidikan nampaknya tidak berhasil melahirkan insan yang mandiri.

Semakin lama semakin banyak orang tua yang dengan sukarela terlibat dalam urusan-urusan yang menurut saya harusnya terselesaikan oleh anaknya sendiri. Saya kira, paguyuban emak-emak itu hanya heboh soal pembelajaran anaknya di grup-grup WA orang tua murid SD. Ternyata kepedualian ‘tingkat tinggi’ ini juga dialami oleh para orangtua mahasiswa. Menariknya, kepedulian itu menjelma menjadi keresahan dan godaan untuk mengintervensi.

Memang godaan terbesar adalah kuasa. Para orangtua yang memiliki kapasitas dan atau kuasa ini sepertinya mudah tergoda untuk menggunakan kuasanya. Orangtua yang kebetulan dosen dan paham per-dosen-an, mudah tergoda untuk bertanya atau mengintervensi urusan pembelajaran dan pendidikan anaknya. Orangtua yang paham urusan diplomasi dan hubungan internasional mudah tergoda untuk mengintervensi proses aplikasi pertukaran internasional yang sedang dijalani anaknya. Niatnya tentu sangat baik.

Salahkah jika seorang bapak atau ibu menggunakan kuasanya untuk membantu anaknya? Jika pertanyaannya sesederhana itu, tentu tidak salah. Pertanyaannya bisa dibuat lebih serius seperti “apakah intervensi itu berdampak positif bagi kehidupan sang anak di jangka panjang?” Sebagai orang yang kerap bertugas di layanan publik, saya punya pertanyaan lain. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya bapak atau ibu yang memiliki kuasa? Akankah mereka kian tenggelam karena bahkan tak sempat menikmati buah dari berbagai kesempatan? Jika yang punya kuasa sedemikian keras memperjuangkan anak dan keturunannya agar mendapatkan keuntungan, bukankah itu jadi bentuk ketidakadilan bagi mereka yang tidak dikelilingi kuasa?

Itu deretan pertanyaan idealis. Karakter saya yang sesungguhnya akan diuji ketika semuanya itu melibatkan Lita. Abraham Lincoln berkata, untuk untuk menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan. Kekuasan, katanya, sesungguhnya tidak mengubah karakter seseorang. Kekuasaan justeru menujukkan karakter asli seseorang. Semoga privilege yang saya miliki tidak membuat saya menggunakan kuasa yang justru menjauhkan anak dari kemandirian.

Tukang Ojek [pun harus] Inovatif

“Mau dengar lagu apa Pak? Koleksinya lengkap kok?” demikian tanya pengendara Gojek yang menjemput saya malam itu. Ini pertanyaan tidak biasa dari seorang pengendara GoRide yang menggunakan sepeda motor. “Gimana caranya?” tanya saya penasaran. Ternyata di helm yang saya gunakan ada speaker yang terhubung dengan HP melalui koneksi Bluetooth. Canggih!

Di sepanjang perjalanan yang kurang dari setengah jam itu pun, saya menikmati lantunan lagu dari Sheila On 7. Lagu-lagu itu diputar dari aplikasi Joox di HP yang disediakan khusus untuk menghibur penumpang. Pemasangan speaker di helm juga sedemikian rupa sehingga saya bisa mendengar lagu dengan baik sekaligus bisa mendengar suara lain di sekitar. Akibatnya, percakapan dengan Mas pengendara Gojek juga tetap lancar.

Ini bukan soal lagu dan teknologi. Kita tahu, penggunaan Bluetooth untuk perkara demikian memang sudah jamak dan lazim. Saya terkesan dengan idenya. Ide untuk memberikan hiburan dan menjadi berbeda. “Biar beda dengan yang lain, Mas” katanya renyah Ketika saya tanya motivasinya.

Yang menarik, dia menjelaskan dengan fasih cara kerja teknologi di balik kreativitasnya itu. “Wah, gampang itu, Mas. Tinggal beli dan pasang, aja” katanya menjelaskan betapa mudahnya itu baginya. “Saya lihat di Youtube aja. Banyak tutorialnya”, katanya. Dari caranya menjelaskan, nampak jelas dia tidak saja memahami tetapi juga begitu menikmati apa yang dilakukannya. Dia antusias menceritakan cara kerja teknologi, dia gembira mejelaskan harganya, dia juga bahagia mengisahkan respon penumpangnya. Saya tidak heran, penumpang pasti menikmati berkendara bersama dia.

Lelaki itu punya kemampuan untuk memulai percakapan yang alami. Tidak mudah melakukan ini. Tidak semua orang dikarunia kecakapan ini. Tidak sedikit penyedia layanan publik mencoba melakukannya tetapi tidak semua bisa melakukannya dengan alami tanpa memaksa. Selain memang dikarunia bakat alam, lelaki itu tentu melatihnya sehingga menjadi kebiasaan. Di sela lagu Dan, Shepia dan Tunggu Aku di Jakarta yang mengalun dari Sheila On 7, percakaan kami tak pernah putus.

Dia pun bercerita, suatu ketika diberi hadiah HP oleh penumpangnya. Penumpang baru. Bukan pelanggan. Melihat cara komunikasi dan kehangatan pribadinya, rasanya saya tidak heran dengan berita itu. Lelaki ini bisa secara alami menarik perhatian orang dan bisa menuai simpati dengan begitu mudahnya. Saya hanya tersenyum haru mendengar bagaimana dia menangis setelah diberi hadiah itu. “Kok bisa, ada orang sebaik itu. Saya nggak habis pikir, Mas” katanya semangat.

“Saya bagi tiga penghasilan saya” katanya saat menjelaskan strateginya mengatur keuangan. Betul, percakapan kami begitu deras mengalir sehingga menyentuh hal-hal yang tidak lazim antara seorang pengendara Gojek dan pelanggannya. “Sepertiga saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sepertiga lagi untuk cicilan, dan sisanya saya tabung” katanya.

Tabungan ini konon digunakannya untuk membeli sepeda motor secondhand dan disewakan. “Alhamdillilah, laku Mas. Nggak pernah nganggur sih motornya sampai sekarang” katanya saat saya tanya apa laku penyewaan sepeda motor di Jogja. “Saya selalu pakai Facebook Ad” katanya fasih dan tanpa canggung. Kabarnya, ada delapan unit motor yang sedang dikelolanya saat ini. Dari lelaki yang nampak sederhana ini, baru saja saya melihat ‘digital economy’ diterapkan dan menyentuh kehidupan nyata manusia biasa yang seorang petarung jalanan.

Kreativitas dan Inovasi memang seharusnya menjadi kata kunci dan itu harus menjadi milik siapa pun. Tukang ojek pun harus inovatif jika ingin mendapatkan hal istimewa dalam hidupnya di dunia per-ojek-an. Menjadi berbeda itu kunci. Seperti kata Pandji Pragiwaksono, “sedikit lebih beda, lebih baik, dibandingkan sedikit lebih baik.”

Dalam perjalanan ke Semarang, 5 Agustus 2022

Cerita Biasa di Hari Pemilihan Rektor UGM

Cerita Biasa di Hari Pemilihan Rektor UGM

Saya tidak terlibat di dalam pemilihan Rektor UGM. Saya bukan anggota panitia seleksi, bukan tim sukses, apalagi calon. Sama sekali bukan. Kalaupun terlibat, itu hanya sebagai rakyat UGM yang turut merasakan gegap gempitanya pergantian kepemimpinan di kampus rakyat ini.

Di hari H pemilihan final rektor, saya ada tugas mendampingi direktur, Bu Puji, untuk menemui tamu dari Irlandia. Tempatnya di Gedung Pusat UGM. Tidak banyak hal istimewa yang terjadi namun setidaknya saya ada di kampus dan merasakan suasana kerja luring. Tamu memang mulai berdatangan secara fisik ke UGM dan penyambutan tamu melalui tatap muka tidak bisa dihindari.

Selepas makan siang, saya bersiap-siap mengajar secara online di UPN. Ada mata kuliah Hukum Laut yang saya ampu di Teknik Geomatika UPN dan sore itu adalah kelas kedua sebelum terakhir. Saya harus masuk, meski suasana pemilu menghadirkan nuansa yang berbeda. Menunggu saat kuliah jam 1.30pm, saya ‘berkeliaran’ di Gedung Pusat UGM, sekedar untuk merasakan suasana yang agak tegang. Inilah sisi lain Kampus Rakyat yang sedang berdemokrasi.

Di ruang makan rektorat, konon telah berkumpul beberapa menteri. Pak Pratikno, Pak Basuki, Pak Budi Karya, dan Bu Retno. Meski demikian, acara pemilihan rektor memang belum dimulai. Semua masih menunggu Mas Menteri Nadiem sebagai Mendikbudristek. Acara tidak akan dimulai sebelum Mas Nadiem datang. Beliau berwenang memberikan suara dalam pemilihan rektor. Proporsi suaranya pun signifikan.

Orang umumnya paham bahwa Mas Nadiem pasti terlibat dalam pemilihan Rektor UGM karena UGM berada di bawah kementerian beliau. Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya pemilihan rektor UGM dengan menteri lain? Mengapa banyak menteri yang berkumpul di UGM? Jangan lupa, para Menteri itu adalah anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UGM. Mereka semua memang Menteri dan alumni UGM tetapi sebagian mewakili unsur tokoh masyarakat, sebagian lain unsur alumni dan sebagian lagi mewakili unsur lainnya. Begitulah, masing-masing orang kerap memiliki status dan peran berbeda.

Di Gedung Pusat UGM, tidak ada menteri yang terlihat tetapi ada banyak ajudan yang lalu lalang. Sebagian sibuk di telepon, sebagian berdiri tegang siap menerima perintah, sebagian lagi gelisah. Yang terakhir mungkin adalah yang boss-nya belum datang. Sebenarnya UGM sering didatangi menteri tetapi tentu tidak sering didatangi lima Menteri sekaligus. Saya menikmati saja suasana itu, sambil duduk di pojok ruang kantor rektor, menunggu saatnya memberi kuliah.

Pukul 1.30pm saya mulai memberi kuliah. Saya menempati sebuah lokasi di pojok ruang rapat rektor. Hari itu, kuliahnya berupa kombinasi. Sebagian saya bawakan dalam bentuk live zoom alias singkronus, sisanya dalam bentuk video yang sudah disiapkan sebelumnya. Maka kelas berjalan cepat, tidak sampai 30 menit. Selepas menyapa dan diskusi ringan, kelas saya bebaskan untuk menonton video yang sudah saya rekam sebelumnya. Video ini sejatinya adalah bahan diskusi ketika saya diminta memberi materi seputar Laut China Selatan di forum Indo-Pacific Youth Dialogue. Materinya cocok, bahasanya pun Inggris. Bagus untuk membiasakan mahasiswa menikmati interaksi internasional.

Menjelang pukul 2pm, saya bersiap-siap di luar ruang kantor rektor. Sore itu saya bertugas menyambut tamu dari Western Sydney University (WSU), Australia. Sebenarnya yang akan menyambut adalah Prof Parip, Wakil Rektor Kerja Sama dan Alumni karena delegasi mereka dipimpin oleh wakil rektor tetapi Prof. Parip masih sibuk menemani menteri di ruang makan. Saya harus pastikan tamu tersambut dengan baik.

Tidak lama kemudian, tamu dari Australia hadir. Kepala Kantor Internasional mereka sudah saya kenal sejak lama. Ian namanya. Hadir bersama rombongan adalah kawan baik saya, mas Brahm, yang dulu adalah teman sekolah di UNSW Sydney. Kini beliau menjadi dosen di WSU dan bersama delegasi, ikut menguatkan kerjasama. Demikianlah makna seorang diaspora. Boleh saja mereka bekerja dan tinggal di luar negeri namun sejatinya mereka dalah jembatan atau bahkan pintu masuk bagi kolaborasi internasional.

“Who will be the next rector?” kata salah seorang bertanya ketika saya ceritakan perihal pemilihan rektor yang menyebabkan suasana sedikit genting. Tentu saja saya tidak tahu karena pemilihannya belum berlangsung ketika itu. Saya hanya berkelakar “We don’t know yet but whoever SHE will be, we certainly hope for the best.” Yang paham situasi akan tertawa mendengar jawaban saya. Memang ada satu kandidat perempuan dan dua kandidat laki-laki. Sebagian dari mereka tertawa meskipun bertanya-tanya.

Jam dua lebih sedikit, Pak WR sudah bergabung bersama tamu Australia. Beliau juga konfirmasi bahwa pemilihan sudah dimulai dan semua menteri sudah masuk ke Balai Senat, ruang paling ‘sakral’ di UGM. Begitu Pak WR tiba, saya pamit untuk bersiap-siap bertugas di tempat lain. Pak WR masih sempat meminta saya untuk menemui ‘tamu penting’ lain. Ternyata ada dua orang penting di ruangan beliau. Mas Danang, dekan Geografi dan Mas Kaji Edan yang selalu setia dengan sarung dan sandal Lily-nya. Beberapa saat terakhir nama beliau sempat viral karena satu perihal. Hari itu, di UGM, berkumpul berbagai macam orang dengan kesaktian dan kedigdayaan masing-masing. Saya hanya menikmati saja bertemu dan berguru dari mereka.

Sesaat kemudian saya bergegas ke acara sosialisasi dan perkenalan peneliti Indonesia dan Inggris terkait hibah RISPRO UKICIS. Acaranya daring tetapi saya ditugaskan untuk presentasi sehingga harus benar-benar hadir tanpa bisa nyambi. Pukul 3pm saya mulai bergabung ke acara RISPRO-UKICIS dan kemudian memaparkan informasi rinci terkait hibah tersebut. Senang melihat banyak peneliti Indonesia antusias untuk mengajukan dana hibah penelitian dan bekerja sama dengan peneliti luar negeri terutama UK.

Di tengah acara, saya melihat grup WA dosen UGM dan beberapa menit sebelumnya ada pesan dari Pak Edhie yang menyatakan Prof Ova terpilih sebagai Rektor UGM 2022-2027. Artinya guyon saya tadi tidak meleset. Saya senang, UGM telah melewati sebuah pesta demokrasi dengan lancar. Riak-riak kecil tentu ada karena itu tandanya semua pihak peduli tetapi pada akhirnya semua mengambil sikap untuk kepentingan yang lebih besar.

Seharian kemarin, hidup saya berjalan seperti biasa saja. Menerima tamu, mengajar, rapat, acara online, acara offline. Semua berjalan biasa saja. Di satu sisi, perhelatan besar memang terjadi tetapi hal normal yang rutin tetap berjalan tanpa terganggu dan memang tidak boleh terganggu. Ganti atau tidak ganti rektornya, suka ataupun tidak suka dengan rektornya nanti, tugas saya berjalan seperti biasa.

Setiap orang punya perannya masing-masing. Yang merasa menjagokan Bu Ova tentu boleh gembira. Yang jagoannya tidak berhasil jadi rektor pun boleh bersedih atau kecewa. Yang pasti, rektor baru tak akan serta merta mengangkat beban kita jadi tiada, tidak juga mencuri kebahagian kita sehingga sirna tiba-tiba. Biasa saja. Mari kita bekerja saja dan mendukung selayaknya. Selamat bertugas Prof. Ova.

%d bloggers like this: