Indon yang Kafir


Aku tidak suka dipanggil Indon, terutama oleh orang Malaysia. Menurutku, pada panggilan ini ada sentimen merendahkan, menuduh bodoh dan menghina. Dipanggil Indon, sama dengan dihina. Dipanggil Indon, sama dengan diremehkan dan direndahkan martabatnya secara terang-terangan di siang bolong. Apapun katanya, aku tidak sudi dipanggil Indon. Itu prinsipku sejak dulu, sejak pertama kali mendengar kata Indon yang kutahu ditujukan kepada para pekerja rumah tangga dari Indonesia yang memperjuangkan hidupnya di negeri jiran Malaysia. Singkatnya, aku tidak terima.

Saat bersekolah di Australia, aku berteman akrab dengan banyak orang Malaysia. Di negeri seberang yang jauh dari tanah air, karib bangsa serumpun bisa menjadi keluarga. Indonesia dan Malaysia bersahabat dengan lebih mudah. Dalam persahabatan, kami sering bertukar cerita.

“Istilah Indon itu tidak untuk menghina” demikian salah seorang kawan Malaysia kami menjelaskan. “Indon itu hanya singkatan saja. Agar tidak terlalu panjang mengatakan Indonesia, kami menggunakan istilah Indon. Alasannya adalah untuk kepraktisan saja. Sama sekali tidak untuk menghina. Istilah Indon hanya untuk mengidentifikasi, tidak lebih tidak kurang. Seperti orang Indonesia di Australia sini, mereka menggunakan istilah Indo juga kan, bukan Indonesia. Itu malah lebih singkat lagi.” Temaku menjelaskan penuh semangat ketika aku bertanya soal penggunaan istilah Indon. Tentu saja dengan logat Melayu yang kental.

Penjelasan dari kawanku ini cukup melegakan tapi sejujurnya aku sulit melupakan bahwa istilah Indon, yang aku tahu, ditujukan kepada mbak-mbak asisten rumah tangga asal Indonesia yang bekerja untuk majikan orang Malaysia. Ini yang aku tahu, bisa jadi aku salah. Yang menggangguku lebih serius adalah pemahaman bahwa istilah Indon ini diucapkan ketika mbak-mbak pekerja rumah tangga itu dianggap tidak becus bekerja. Maka dari itulah, istilah Indon itu tiba-tiba saja membawa kesan negatif, merendahkan dan menghina. Penjelasan temanku itu masuk akal dan mudah dipahami. Apakah penjelasan itu kemudian tiba-tiba mengubah kesan istilah Indon jadi positif dan serta-merta membuatnya menjadi biasa atau bahkan berwibawa? Itu soal rasa, soal hati, bukan soal rasio. Aku pikir-pikir dulu.

***
Kawanku jengkel bukan kepalang ketika disebut kafir. Dia tidak suka disebut kafir karena istilah itu, menurutnya, merendahkan, menghina dan menistakan. Setiap kali orang menyebut kata kafir, yang tertangkap oleh kesadarannya adalah suatu penghinaan, usaha melecehkan dan mendiskriminasi. Hal ini terjadi, terutama karena kata kafir yang didengarnya selalu diucapkan dengan nada marah, arogan dan penuh penghakiman. Kawanku tidak suka dihakimi, dia tidak suka direndahkan, dia juga tidak suka ketika ada orang lain mendikte tingkat keimanannya. Baginya, disebut kafir sama dengan dilecehkan dengan cara yang keji.

“Istilah kafir itu bukan untuk menghina”, seorang kawan baik menjelaskan penuh kebijaksanaan, seperti meme positif yang beredar lewat medsos. “Kafir adalah sebutan untuk mereka yang tidak menganut Islam. Kata kafir hanya untuk mengidentifikasi. Itu sebutan. Sekedar identitas” kata kawan baik ini pelan, santun dan penuh kesabaran. Dia melanjutkan, “kata kafir yang digunakan oleh kaum muslim tidak jauh beda dengan istilah-istilah sejenis yang dipakai oleh umat beragama lain di Indonesia untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak menganut agama mereka.” Dia lalu melanjutkan dengan menyebut istilah-istilah yang dipakai di berbagai agama untuk mengidentifkasi orang-orang yang tidak memeluk agama mereka. Sayang sekali aku tidak bisa mengingat semua istilah itu. Penjelasan itu masuk akal. Ternyata kafir tidak digunakan untuk menghina apalagi merendahkan. Kafir hanya untuk mengidentifikasi. Sesederhana itu. Entahlah apakah ini benar atau salah, aku hanya mendengar penjelasan temanku dan membaca di media sosial.

Ketika aku sampaikan kepada kawan yang begitu terganggu dengan sebutan kafir, dia mengangguk-angguk tanda mengerti. “Ya, aku paham” katanya membuatku lega. Ternyata selama ini dia salah paham belaka. “Jadi kamu sudah tidak dongkol lagi dipanggil kafir kan?” tanyaku penuh keyakinan. Dia diam agak lama, tidak memberi respon. Setelah beberapa lama, akhirnya dia berkata “Ya, aku paham. Tapi mengingat nada, intonasi dan volume suara orang-orang ketika mengatakan kata kafir ini, aku akan pikir-pikir dulu” katanya pelan dan tenang.

Tiba-tiba saja aku ingat Mbak Kristin, tetangga kampung yang bekerja pada seorang majikan di Kuala Lumpur. Jika saja Mbak Kristin tidak pernah mendengar penjelasan penting ini, dia mungkin kecewa bukan kepalang karena dengan sah dan meyakinkan dia telah menjadi seorang Indon yang kafir.

Degan, Kulon Progo, 5 Januari 2017

ps. Tulisan ini sebaiknya dibaca dengan selera sarkasme yg cukup tinggi 🙂

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

13 thoughts on “Indon yang Kafir”

  1. Bisa dibilang penyalahgunaan istilah ya Pak? Kata yang seharusnya biasa saja, namun diucapkan dalam rangka menghina, dll akhirnya stigma buruk melekat di kata tersebut 😐

  2. Sekedar info Bang Andi, mudah2an berguna.

    Kafir terambil dari akar kata ‘kuffar’ yang berarti menutup atau menyembunyikan. Secara sederhana, siapapun yang menutup, dia berpotensi untuk kafir. Itu sebabnya, orang yang kikir-pun masuk dalam golongan ini karena mereka menutup apa yang mereka punya. Jadi, istilah ini pada dasarnya bisa ke siapa saja.

    Sy sih klo dipanggil kafir, mungkin akan sedikit sedih buat yg bersangkutan, karena jika seseorang menuduh orang lain kafir sementara ternyata orang itu tidak kafir, maka secara otomatis si penuduh-lah yg kafir di mata Allah (demikian pesan Nabi Muhammad saw). Itu sebabnya Nabi melarang mengkafirkan seseorang tanpa kejelasan, karena ketika kata itu diucapkan, maka salah satu dari dua adalah kafir, kalau bukan yg dituduh, maka otomatis penuduh yg kafir.

    Klo ada muslim yg memanggil dng panggilan buruk, mungkin Bang Andi bisa meminta mereka baca Al-Qur’an-nya sendiri, bab 49 ayat 11, insya Allah mereka tidak akan mengulangi,

    “Hai orang2 yg beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mengolok-olok kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pulan sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang2 yang zalim” Qur’an, 49:11.

    Demikian
    Maaf agak panjang,
    Salam

  3. Selama ini saya hanya diam, membaca, mengingat dan berfikir, tetap saja tulisan mas andi punya gaya yang khas, lugas santai dan mudah dipahami, saya sering tidak bisa sesederhana ini dalam menyampaikan sesuatu lewat tulisan

  4. Aku juga nggak suka di panggil Indon tiap kali main ke KL — tapi sadar bahwa itu sudah menjadi kebiasaan mereka yg tidak bermaksud negatif.

    Mekipun kesal… tapi berusaha utk tetap ramah dan menerima. Heheheh

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: