
Saya hanya tersenyum-senyum, mendengarkan kisah sang nenek. Tentu saja beliau tidak perlu mengingatkan karena saya tidak akan pernah melupakannya. “Masih ingatkah kamu”, katanya memulai, “dulu waktu kamu kecil, bapak dan ibumu sering membawamu ke rumahku di pondok dangin. Kalian datang untuk sepiring nasi. Masih ingatkah kamu?” Saya tercenung. Tentu saja masih ingat cerita itu. Ingatan saya melambung ke awal tahun 1980an silam.
Lebih dari sekali dalam seminggu kami sekeluarga, ibu, bapak, kakak saya dan saya sendiri berkunjung ke tempat nenek dan kakek di pondok dangin. Disebut pondok karena lokasinya yang jauh dari pemukiman banjar. Nenek dan kakek tinggal di sebuah rumah di tegalan, jauh dari perkampungan, karena mendapat tugas menjaga tegalan. Meskipun jauh dari peradaban, secara ekonomi mereka jauh lebih mampu dari keluarga kami. Itulah sebabnya kami sering kali datang, semata-mata untuk sepiring nasi. Kisahnya dramatis jika diceritakan saat ini tetapi percayalah, kami tidak merasa menderita di kala itu. Hidup begitu sederhana, yang ada hanya memenuhi perut hari ini, selain itu tidak ada dalam agenda sehingga tidak pernah meresahkan.
Saat hujan mengguyur, tak jarang kami harus berbasah-basah menuju pondok lalu menginap di sana selama semalam atau dua malam. Jalanan licin karena merupakan pematang sawah di sepanjang tepi parit dan rumput liar menutupi jalan dan hanya menyisakan jalan setapak dengan lebar beberapa jengkal saja. Jika hujan maka lumpur dan rumput bersatu padu tidak membiarkan kami berjalan cepat. Bersih jelas bukan kata-kata yang akrab bagi kami di saat-saat seperti itu. Namun sekali lagi, jangan mudah untuk kasihan karena orang-orang seperti kami, di zaman itu, punya pemahaman lain tentang makna ‘menderita’. Rasa-rasanya bahkan saya tidak pernah mendengar kata itu.
Selain makanan pokok berupa nasi dan lauk sederhana, saya senang menikmati papaya atau nenas yang dipanen dari tegalan di sekitar pondok itu. Ada juga belimbing yang tumbuh di depan bangunan serta sirsak yang berbuah tak jauh dari bangunan rumah. Pagi menjelang siang, saya biasa memetik bunga pucuk (kembang sepatu jenis tertentu) dan mengisap cairan manis yang terperangkap di pangkal bunganya. Konon, itulah cairan yang disukai burung kepecit (sejenis hummingbird) yang berlomba setiap pagi. Kedatangan saya ke pondok selalu berhasil menjadi pemenang karena tidak ada satupun burung kepecit yang berani datang.
Pertemuan saya dengan nenek di awal 2014 ini mengingatkan saya tentang kenangan masa kecil. Serpiring nasi dari masa lalu itu tentu saja selalu saya ingat. Saya pernah melewati penggal-penggal cerita yang sedemikian. Saya tidak akan menggunakan istilah menderita atau miskin karena kami tidak pernah merasakannya. Meski demikian, melihat jauh ke belakang membuat saya merasa ngeri. Ngeri dan takut jika tiba-tiba saja suasana bersahaja itu hadir lagi di depan mata. Saya khawatir kalau-kalau diri ini sudah tidak terlatih lagi untuk bertahan. Kisah tentang sepiring nasi dari masa lalu ini mengingatkan satu pelajaran untuk memandang langit sambil tak lupa menjejak bumi.
This is wonderful, it is no surprising that the kind of experience you had forms the kind of person you are. Now we know where your greatness stems from. Thank you for the story, blessings and love to you ♥
Thank you Dr. Subhan 🙂 you are one generous soul.
Subhan will do, brother, xoxo
Suka sekali pada tulisan ini. (seperti jg tulisan2 lain dlm blog ini)
Suka sekali.
Selalu menginspirasi.
Terima kasih telah membaca Ririn 🙂
Luar biasa…
Terima kasih
“World class competence with grassroots understanding”, “berilah kaki pada mimpi-mimpimu” dan sekarang ” dan sekarang “memandang langit sambil tak lupa menjejak bumi”. Sekilas mirip namun dengan perspektif masing-masing. Nice post bli!
Terima kasih Mas 🙂
Kadang saya kasihan pada orang yang selalu kenyang, selalu punya nasi.
Semoga mereka bisa selalu mensyukuri nasi yang ada.
[dokteryoseph]
masa kecil saya relatif lebih baik tapi masa dewasa saya lebih mengenaskan, hahahaha, sorry saya ubek ubek blog gara gara tidak bisa tidur
Hahaha 🙂