Jalan kami tak diukir lagi. Rupanya Ibu Bupati sudah peduli dan jalan desa kini rapi jali. Lihatlah penjor-penjor yang menuju langit dan melengkung lalu menukik turun seakan mengajarkan bahwa yang menjulang toh akhirnya akan merunduk. Maka penjor mengingatkan, kesombongan itu hanya milik orang-orang yang lemah dan gamang menentukan jati dirinya. Di Desa Tegaljadi, saat Galungan ini, pelajaran hadir lewat penjor, asap dupa yang mengepul, sanggah dari anyaman bambu yang berselempang kain kasa putih kuning atau ceniga yang menjuntai memamerkan rias-rias sakral untuk ritual.
Ikutlah aku, pulang ke Tegaljadi, mendengarkan kidung suci saat khusu’ umat bersimpuh dan bersila menyerahkan diri pada Ilahi. Simaklah saat cakupan tanganmu tepat di kening, Sheila on Seven kadang menyela, beradu ruang dengan Kidung Warga Sari yang mengalun penuh wibawa. Begitulah di Desa Tegaljadi, ruang-ruang tak dikuasai dengan serakah, selalu ada sisi untuk kebijakan dan kenangan lain. Hanya di Desa Tegaljadi, Sheila on Seven bisa berdendang tenang berlatar mantra-mantra di saat Galungan. Keduanya keluar dari piranti yang sama, dirakit oleh para semeton di Negeri Tiongkok dan dirawat Mang Jaya, putera Kelihan Banjar.
Selepas sembahyang, mari susuri jalanan desa yang teduh oleh penjor-penjor yang berbaris. Lapang jalan desa hasil taubat para pejabat, kira sarat para jema’at yang berkelajar dengan kerabat. Lihatlah, jalanan tak hanya milik kaum kita para manusia. Sahabat setia manusia, anjing kesayangan yang namanya kadang lebih mentereng dari tuannya, juga hadir bersuka cita. Konon junlahnya tak beda dengan populasi kuda besi rekayasa Jepang yang nagkring di setiap garasi. Saksikanlah Tomy dan Yetty, demikian kedua sahabat setia itu dinamai, mereka bercengkerama dan beradu kasih. Tak ada rasa sungkan, tak ada rasa khawatir melanggar etika. Mereka bercinta, di bawah tikaman matahari yang benderang, tepat di bawah sebilah penjor yang menjulang. Dan para bocah tergelak tak bisa mengelak, mendengar Yetty lirih menyalak. Bagi sebagian warga kami, itu adalah keseharian. Sebagian berlalu saja tanpa peduli dan bahkan mungkin tanpa merasa percintaan itu ada.
Sementara itu, Men Galuh yang berlibur dari Yogyakarta, tertawa geli dan tak sampai pikirannya untuk memahami. Anjing-anjing yang bercinta di bawah naungan penjor, berlatar kidung suci dan bermandikan aroma terapi asap dupa bukanlah sesuatu yang dilihatnya sehari-hari. Maklumilah perilakunya yang mudah geli, mudah heran dan mudah tergelak. Desa Tegaljadi menawarkan semua itu, para perantau mungkin tercekat lidahnya atau macet pikirannya melihat keunikannya.
Saat sembahnyang di rumah tua, jangan abaikan suguhan tum debong atau jukut ares yang membuat ludah mudah tergelincir. Pernah kukatakan kepadamu, sembahyang di rumah tua bukan hanya untuk Hyang Widhi dan leluhur tapi juga untuk para kerabat yang masih sehat walafiat. Kunjungan ke sanggah dan cakupan tangan tepat di kening adalah ritual yang membuat sima krama dan persaudaraan menjadi wajib dijaga. Leluhur kami adalah para cendikia yang telah meramalkan perilaku kami yang kadang enggan menjaga penyaman. Maka sekuntum bunga, setetes tirta dan sekepul asap dupa di merajan kawitan menjadi alasan untuk merekatkan kekerabatan. Percayalah padaku, gigitan pertamamu di tum debong yang disajikan niang lingsir, tak kalah faedahnya dengan khusu’ kembang kamboja yang kau pilin tepat di dahi saat bibir menari merapalkan panca sembah. Keduanya layak diimbangkan untuk wibawa yang tak nampak dan kerabat yang kian dekat.
Duduklah di pura padonan saat pagi, lihat anak-anak belia yang duduk di deretan depan. Mereka tak cakap merafal mantera tetapi menyimpan bahagia yang tiada tara. Galungan, bagi mereka adalah bersuka cita, tak beda denganku di masa silam yang terbius pesona mantera, percikan tirta atau kenikmatan bija. Mereka ada di depan karena merekalah masa depan kami. Pewaris tahta Tegaljadi, yang akan menjadikan Global Village sebagai rumah mereka, berkelakar dengan para penentu jalan di Gedung PBB di New York atau di sebuah balai-balai bersahaja di pedalaman Negeri Siam. Mereka akan menjadi penentu kebijakan yang memang bijak, lalu setiap 210 hari akan pulang ke Tegaljadi, mencakupkan tangannya tepat di kening. Mereka akan tertawa geli melihat cucu dan cicit Tomy dan Yetty yang bercinta di bawah naungan sebilah penjor.