Sambil menunggu waktu rapat di Ruang Rapat Sekjen Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti), saya sempat mampir ke sebuah direktorat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Di sebuah lorong, saya berhenti di dekat sebuah rak yang memajang beberapa buku hasil karya Kemendikbud, terutama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Bagian ini mengelola keterlibatan orang tua dalam pendidikan bagi anak didik di Indonesia, sebuah direktorat yang relatif baru.
Yang menarik bagi saya adalah kata “Pendidikan dan Kebudayaan” yang ada di setiap sampul buku. Ini melambungkan ingatan saya ke masa silam, tak kurang dari 30 tahun yang lalu. Buku-buku itu membawa saya kembali ke Desa Tegaljadi, tempat saya menghabiskan masa kecil. Di situ pula, yang paling penting, saya mengenal pendidikan dalam bentuknya yang sangat sederhana: belajar membaca. Buku-buku dari P dan K, demikian kami menyebutnya dulu, adalah satu-satunya teman belajar. Ketika itu tidak ada buku dari sumber lain dan buku dari P dan K adalah satu-satunya pegangan. Jika harus menyimpulkan maka tidak ada buku lain yang membuat saya bisa membaca kecuali buku P dan K.
Terngiang suara kakak saya yang mengajari saya membaca “Ini Budi” sebagai bacaan wajib anak kecil yang baru belajar membaca. Tak mudah dilupakan, itu menjadi sejarah kehidupan akademik saya, di manapun dan menjadi apapun saya saat ini. Sukses atau tidak, buku P dan K adalah fondasi yang tidak bisa disangkal keberadaannya. Bagi kami, orang-orang desa di Desa Tegaljadi, buku-buku P dan K itu adalah semacam ‘kitab suci’ yang mengubah kehidupan seseorang dari buta menjadi melek huruf. Buku-buku itu mengubah status kami menjadi ‘anak sekolahan’ dan menjadi satu-satunya harapan para orang tua sebagai sumber belajar anak-anak mereka.
Saya tidak akan lupa dengan Budi, Wati, dan Iwan yang ‘menemani’ saya belajar membaca di kelas satu dan dua SD. Saya juga tidak mungkin lupa dengan Arman, Ima dan Andi saat ‘perkenalan’ pertama dengan ketiganya di kelas tiga SD. Konon, nama saya memang diambil dari salah satu nama tokoh di buku P dan K itu. Bagaimana mungkin saya lupa? Di kelas dua, saya mengingat dengan baik sebuah bacaan berjudul Pahlawan Kecil dengan tokoh bernama Mandala yang umurnya Sembilan tahun. Dia putra dari Prabu Mandiri yang berjuang memerdekakan kerajaannya dari serangan pihak musuh dari Karang Awu. Sebagai anak kecil berusia sembilan tahun juga, bacaan itu betul-betul membius dan membuat saya bercita-cita menjadi pahlawan. Buku-buku P dan K telah meletakkan fondasi yang kuat bagi banyak karakter baik pada anak-anak seusia saya di Desa Tegaljadi ketika itu.
“Mas Andi, ini buku yang mas edit”, tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunan saya sambil menyerahkan sebuah buku berjudul “Praktik Baik Pelibatan Keluarga”. Saya lihat sampul buku itu, sangat menarik. Warnanya berwibawa dan nampak mewah. Memang berbeda dengan buku ‘Ini Budi’ yang saya miliki 30 tahun lalu, meskipun sama-sama dari P dan K. Saat saya buka lembar-lembar di buku itu, saya senang. Ada belasan kisah di sana yang dicatat dari seluruh pelosok tanah air, semua bertema pendidikan. Semua menceritakan dengan baik peran dan keterlibatan keluarga dalam pendidikan.
Saya hentikan membaca, diam sesaat untuk menikmati perasaan saya. Saya melesat ke masa lalu sekitar 30 tahun silam ke Desa Tegaljadi. Di perpustakaan kecil di sebuah kamar yang tidak dirancang jadi perpustakaan itu saya menikmati buku-buku P dan K. Di SD 1 Tegaljadi, semua hal dimulai. Tokoh-tokoh imajinatif seperti Budi, Wati, Iwan, Arman, Ima dan Andi telah menemani saya mulai menapaki tangga-tangga akademik. Peran P dan K menciptakan tokoh-tokoh itu tak ternilai harganya. Kini saya merasakannya lebih jelas dan tegas.
Dulu, ketika membaca “Ini Budi” dari lembar buku P dan K yang sudah lusuh karena diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya selama belasan tahun, saya tidak membayangkan akan pernah berada di gedung mentereng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tempat buku-buku itu digagas. Yang lebih penting lagi, tidak pernah terbayang bahwa hasil membaca “Ini Budi” itu akan memberi saya kesempatan untuk kelak menyumbangkan gagasan bagi buku-buku yang diterbitkan oleh P dan K. Melihat beberapa tulisan sendiri dan hasil suntingan saya di buku “Praktik Baik Pelibatan Keluarga” menghadirkan perasaan yang bercampur aduk. Yang pasti, ada perasaan tenang karena di gedung mentereng ini masih banyak orang yang secara serius memikirkan pendidikan anak-anak di negeri ini dan mendorong keterlibatan orang tua dalam pendidikan itu.
Sementara itu, pada diri saya ada rasa haru dan, jujur saja, bangga karena mendapat kesempatan untuk melunasi sedikit utang saya pada pendidikan. Tentu ada juga rasa khawatir dan penuh harap saat membayangkan bahwa buku yang ada di tangan saya akan segera menempati perpustakaan-perpustakaan di desa-desa di Indonesia. Ketika membantu menyuntingnya, yang ada dalam pikiran saya adalah para orang tua seperti juga orang tua saya yang mungkin bahkan tidak sempat menuntaskan pendidikan dasarnya. Ada harapan bahwa buku itu akan segera hadir di ruang-ruang keluarga sederhana itu dan semoga menjadi seperti halnya buku “Ini Budi” bagi saya 30 tahun silam. Semoga.
Ps. Lihat Laman Sahabat Keluarga untuk karya-karya lainnya.
Kehidupan Bli sungguh menginspirasi saya selain luar biasa untuk aktualisasi diri tapi Bli dengan kesadaran penuh memberikan sumbangsih untuk generasi penerus bangsa ini.
Jika Bli berkenan boleh sedikit sharing bagaimana caranya bisa sampai pada tahapan produksi buku sendiri karena saya punya kerinduan untuk menulis buku suatu hari nanti.
Terima kasih Bli, teruslah berkarya karena kami sangat membutuhkan karya-karya Bli.
Matur nuwun Erly… nanti saya tulis tips menulis buku ya…
ahhh, ikut bangga Bli… selamat!
Suksma mb Nayarini 🙂