Sambil menunggu waktu rapat di Ruang Rapat Sekjen Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti), saya sempat mampir ke sebuah direktorat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Di sebuah lorong, saya berhenti di dekat sebuah rak yang memajang beberapa buku hasil karya Kemendikbud, terutama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Bagian ini mengelola keterlibatan orang tua dalam pendidikan bagi anak didik di Indonesia, sebuah direktorat yang relatif baru.
Reklamasi Teluk Benoa menjadi isu yang menyita perhatian banyak orang di Bali bahkan di tingkat nasional saat ini. Para aktivitas bergerak, ilmuwan beropini dan pro kontra pun terjadi. Mereka yang pro reklamasi sering menceritakan keindahan dan manfaat reklamasi untuk masa depan Bali. Reklamasi atau pembuatan pulau Jumeirah Palm Island di Uni Emirat Arab kerap menjadi contoh.
Jika Anda belum berkesempatan untuk melihat dan menikmati langsung, cobalah bayangkan suasana di Jumeirah Palm Island. Bayangkanlah diri Anda berjemur di sana menikmati segelas minuman dingin khas tropis sambil membaca buku atau sekedar bermalas-malasan. Bayangkan pula, dua dekade lalu, pulau itu tidak ada dan yang ada ketika itu adalah laut. Tentu Anda tidak bisa menikmati suasana eksotis itu jika tidak ada reklamasi yang kemudian membuat pulau itu ada. Reklamasi memang bisa menghadirkan ruang baru untuk menikmati alam.
Teman-teman sering bertanya “dibayar berapa untuk memberi kuliah umum atau seminar?” Banyak yang tidak percaya kalau saya bilang “saya tidak selalu dibayar”. Memang ada yang membayar saya untuk memberi kuliah tetapi rasanya lebih banyak yang gratis selama ini. mengapa saya mau melakukan itu? Banyak yang heran. Ada mahasiswa yang secara serius bertanya pada saya soal ini. Dia dengan rasional bertanya perihal imbalan materi yang sebenarnya layak saya dapatkan.
Kerap ada pertanyaan bagaimana saya menemukan ide untuk menulis dalam jumlah yang cukup banyak. Menjawab pertanyaan demikian, saya pernah bertanya balik apakah pernah menonton film Spiderman. Hampir semua mengatakan pernah dan begitu saya tanya berapa kali dan berapa judul film tentang Spideman yang pernah ditonton, hampir semua menyatakan lebih dari satu. Film Spiderman, seperti halnya film super hero lainnya, memang hadir dalam berbagai versi. Seakan-akan kisahnya baru, film Spiderman versi apapun selalu berhasil menarik minat orang untuk menonton.
Malam tanggal 23 September 2013 ada satu kecelakaan yang membahagiakan. Saya bertemu dengan Bang Ahmad Fuadi, penulis trilogi novel laris Negeri 5 Menara (N5M), Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Saya sebut kecelakaan karena pertemuan ini memang tidak direncanakan jauh-jauh hari. Sore tadi, tiba-tiba saja Asti, istri saya, bertanya “Ayah kenal Fuadi?” dan itu sanggup menghentikan aktivitas saya seketika. Tentu saja saya kenal beliau walaupaun Bang Fuadi kemungkinan besar tidak mengenal saya. Singkat cerita, Bang Fuadi sedang ada di Sydney untuk satu urusan dan teman-teman Keluarga Pelajar Islam Indonesia (KPII) Sydney menodong beliau untuk bersilaturahim, berbagi soal kepenulisan. Saya langsung memutuskan datang.
Saya tiba di lantai tiga squarehouse UNSW, Sydney sekitar pukul 20.05 AEST, sedikit terlambat dari yang dijadwalkan. Sebelumnya saya telah terlanjur mengundang seorang kawan untuk makan malam di rumah dan demi Bang Fuadi, kawan ini terpaksa saya tinggalkan :). Saat tiba, saya lihat Bang Fuadi sudah ada di ruangan bercakap-cakap dengan panitia. Beberapa kawan mahasiswa dan keluarga terlihat antusias menunggu acara ditemani berupa-rupa penganan kecil dan minuman. Ini daya tarik lain mengikuti acara bersama KPII. Peserta tidak begitu banyak karena dua alasan. Pertama, acaranya memang mendadak dan hari-hari ini adalah saatnya penyelesaian tugas kuliah dan ujian. Meski demikian, masih cukup banyak yang mengambil risiko datang meskipun besoknya akan ujian. Kedatangan mereka adalah testimoni tersendiri bagi keampuhan daya tarik Bang Fuadi.
Banyak yang akan penasaran atau bahkan mencibir membaca judul tulisan ini. Masa’ sih menerbitkan buku itu mudah? Saya tidak berbohong. Menerbitkan buku di era teknologi informasi dan komunikasi ini memang mudah. Setidaknya, tidak sesulit melakukan hal yang sama sepuluh atau 20 tahun lalu. Dulu, penulis buku seperti bangsawan golongan khusus karena menjadi dominasi sekelompok orang saja. Dia ekslusif dan istimewa. Kini tidak lagi. Siapapun bisa menerbitkan buku. Siapapun? Ya, siapapun yang bisa menulis. Silakan baca tulisan saya di blog Tempo soal ini.
Tulisan ini adalah cerita tentang sebuah buku. Ini buku terbaru saya yang membahas tips dan tricks mendapatkan beasiswa ke Australia, terutama Australia Awards Scholarship (AAS) yang dulu dikenal dengan Australian Development Scholarship (ADS). Apakah tulisan ini adalah promosi buku? Tentu saja demikian, tetapi ini tentu saja iklan tanpa bayaran 🙂
Saya mulai menulis di blog ini terkait beasiswa sejak tahun 2005 atau bahkan sebelumnya. Tanpa direncanakan, ternyata sudah ada seratusan artikel terkait beasiswa Australia di blog ini dan rupanya menjadi salah satu sebab teman-teman pembaca ‘tergelincir’ atau ‘tersesat’ di blog saya. Seiring berjalan waktu, ada banyak usulan untuk membukukan tulisan-tulisan tersebut. Tadinya saya tidak tertarik karena alasan utama menulis adalah memberikan akses bebas kepada siapa saja tanpa perlu membeli buku. Siapa saja yang memiliki akses internet harus bisa mengakses informasi yang saya tulis kapan saja dan dari mana saja. Idealnya demikian.
Ada juga penerbit yang mau menerbitkan tulisan-tulisan saya jadi buku tetapi mengharapkan tulisan di blog dihilangkan. Dalam konteks bisnis, hal ini tentu bisa dipahami. Meski demikian, ini tidak sejalan dengan semangat saya berbagi maka dengan berat hati tidak bisa saya penuhi. Akhirnya ada satu penerbit, Pandu Aksara, memberi penawaran yang baik. Baik, dalam konteks ini tentu saja tidak terkait materi atau finansial. Pandu Aksara membebaskan saya tetap memelihara tulisan yang akan diterbitkan jadi buku di blog ini. Tawaran yang menarik.
Delapan tahun yang lalu saya gembira sekali mendapati tulisan pertama saya terbit di The Jakarta Post. Saat itu saya masih mahasiswa S2 akhir tahun pertama di UNSW, Sydney. Itulah kali pertama saya merasakan bahwa topik yang saya teliti tidak saja penting tetapi juga menarik untuk dikisahkan. Ambalat menjadi debut saya dalam penulisan di media massa.
Saya teringat kisah Anand Krishna yang konon melakukan hal yang mirip. Jika ditanya tulisan mana yang paling membanggakan dari ratusan tulisannya maka jawabannya adalah yang ditulisnya pertama kali ketika dia bersekolah di luar negeri. Kalau ingat reaksi saya ketika itu, ada perasaan risih dan malu. Apa perlu sebuah tulisan yang muncul di The Jakarta Post dibanggakan begitu rupa? Waktu itu, rasanya reaksi itu tidak berlebihan. Entahlah bagaimana kawan saya melihatnya.
Entahlah apa yang Anda pikirkan ketika membaca ini. Berlin bisa mengingatkan banyak hal berbeda pada masing-masing orang. Dulu, di awal tahun 1990an, saya teringat mendiang Farid Hardja ketika mendengar kata Berlin. Pasalnya, dia meyanyikan lagu tentang runtuhnya Tembok Berlin. Di Belakang hari saya mengingat Berlin sebagai suatu tempat yang pernah menunjukkan bentuk paling nyata sebuah perbatasan antarnegara. Berlin juga mengingatkan saya pada seorang kawan di Jakarta yang bernama Berlina karena lahir di Berlin ketika ayahnya menjadi diplomat. Anda boleh mengingat apa saja soal Berlin tetapi kali ini saya akan mengingat sebuah perjalanan.
Jerman adalah kunjungan luar negeri pertama saya tahun 2013 ini. Kunjungan ke Berlin istimewa karena saya berbicara di sebuah acara yang penting, setidaknya menurut saya: Simposium Ketahan Bumi atau Earth Resilience. Tidak hanya itu, ini adalah kunjungan saya yang pertama ke ibukota Jerman itu, meskipun sebelumnya sudah pernah ke Heidelberg, Munich dan Frankfurt.
Visa selalu menjadi urusan penting bagi orang Indonesia jika harus bepergian lintas negara. Kunjungan ke Berlin inipun tidak berbeda. Saya harus mendapatkan visa schengen yaitu visa yang memungkinkan saya memasuki Jerman dan beberapa negara lain yang tergabung dalam penjanjian Schengen dan Uni Eropa. Dengan mendapatkan Visa Schengen ini saya akan bebas berkeliaran di beberapa negara di Eropa tanpa perlu secara khusus mendapatkan visa dari masing-masing negara. Oleh karena itu juga, persetujuan Visa Schengen memerlukan waktu cukup lama karena tidak hanya berasal dari satu negara. Karena sedang di Australia, saya harus mendapatkan visa schengen dari perwakilan yang tepat di Australia.