Yogyakarta, Awal Agustus 1996
Kami bertiga, calon mahasiswa UGM itu, berjongkok di dekat pagar tembok berwarna putih kusam. Pagar itu ada di depan sebuah rumah sederhana, milik seorang lelaki tiga puluhan tahun yang kami hormati. Beliau adalah dosen UGM yang telah menjadi ‘bapak asuh’ bagi kami bertiga dalam beberapa hari ini. Kami yang baru tiba di Jogja untuk menuntut ilmu, ‘diangkat’ anak oleh beliau dan diizinkan tinggal di rumahnya.
Peringatan Hari Kemerdekaan segera tiba dan kami bersemangat mengecat pagar tembok itu dengan warna putih. Kami bertiga, beberapa orang anak kos lain dan lelaki panutan itu bekerja sambil bermain dan berkelakar. Semua cerita dan lelucoh mengalir deras, penggal demi penggal tembok kusam itu berubah putih bersih dan bercahaya. Ini adalah pengalaman baru bagi saya. Mengecat tembok dengan semangat untuk peringatan hari kemerdekaan tidak saya temui di kampung saya di Bali.
Sore sudah mampir, pagar tembok sudah putih sempurna. Cahaya matahari membuatnya cerah berwibawa. Di sisi tembok itu menjulang umbul-umbul merah putih, silih berganti dengan bedera yang berkibar perlahan oleh angin sore yang mulai malas. Saya berdiri menatap, melepas penat yang segera berlalu demi menyaksikan nuansa merah putih yang berwibawa.
Wollongong, November 2013
“Now, your thesis is done and you are ready to submit. Congratulation!” tiba-tiba lamunan saya buyar oleh kalimat berwibawa lelaki di depan saya. Kata-katanya mantap memberi selamat dan semangat. Wajah lelaki usia empat puluhan itu nampak serius meskipun selalu ada senyum di bibirnya. Dia duduk tenang dan santai di kursi sambil sesekali memutar tempat duduknya sehingga tubuhnya bergoyang kiri dan kanan secara wajar. Baru sadar lagi, saya memperbaiki posisi duduk di depannya, menyimak dengan seksama. Hari itu tidak biasa, kami tidak sedang membicarakan disertasi saya seperti minggu-minggu sebelumnya. Rupanya urusan disertasi sudah tidak lagi masuk dalam prioritasnya karena memang disertasi saya sudah rampung. Paripurna sudah sebuah tugas besar nan panjang. Hari itu, Prof. Clive Schofield, pembimbing saya, memanggil saya untuk urusan yang lebih dari sekedar disertasi.
Saya hanya tersenyum saja sambil berterima kasih ringan. Ada rasa tidak percaya, akhirnya proyek panjang itu terselesaikan. Pendidikan saya di Australia telah mencapai titik akhir dan saatnya untuk menyudahi perjalanan di Negeri Kangguru ini. Terbayang jelas dalam ingatan ketika saya tiba pertama kali di Sydney tanggal 14 Januari tahun 2004 dan artinya itu sudah berlalu satu dekade. Selama itu pula saya tidak pernah lepas dari Australia, mulai dari S2, penelitian atas prakarsa PBB, S3 dan bahkan Postdoc. Satu dekade ini saya telah menghabiskan waktu di Australia dengan status sebagai mahasiswa dan atau peneliti. Hari itu, saat Clive memanggil saya, drama sepuluh tahun perjuangan itu seperti diputar ulang dengan kecepatan tinggi.
“What is your plan?” tanya Clive pada saya yang masih belum bisa menguasai keadaan dengan baik. Saya masih tersenyum saja, tidak berkata banyak. Saya hanya mengatakan “well…” sambil menganggukkan wajah dan tersenyum pertanda ada gejolak dalam hati yang mendesak dan tidak tuntas.
“The door is always open for you, Andi” kata Clive. Dia kemudian melanjutkan bahwa jika saya berniat bekerja di University of Wollongong bersama dia maka kesempatan itu terbuka lebar. Ada berbagai topik penelitian yang bisa saya kerjakan dan Clive akan dengan senang hati bekerja dengan saya. Begitu dia menegaskan. “It is your call” katanya sambil tersenyum, menyerahkan pilihan itu kepada saya.
Mendapat tawaran dari seorang ‘Dewa’ di bidangnya untuk bekerja dan meneliti di sebuah institusi terkemuka Australia tentulah sangat menggoda. Di tengah kegalauan dan kekhawatiran untuk kembali ke tanah air karena terbayang akan terjadi perubahan drastis dalam hal budaya meneliti dan juga urusan finansial, tawaran Clive itu adalah godaan yang merangsang. Meski menawarkan itu, nampak jelas Clive mengenal saya dengan baik. Dia tidak memaksa, tidak juga ada kesan menakan.
“I cannot thank you enough for everything you have done for me Clive” kata saya memulai dan dia tersenyum. “I appreciate your offer and I will treat this as an open opportunity. You know, I will go home to Indonesia” demikian saya sampaikan lalu berhenti sesaat. Wajahnya tidak terkejut meskipun saya melihat raut muka yang tidak biasa pada Clive. Entah apa itu. Dia hanya mengangguk dan tersenyum tanpa berkata, tanda mengerti apa yang saya sampaikan.
Clive seperti mendengar kata-kata yang tidak saya ucapkan dalam percakapan diam kami. Dia mungkin mendengar saya bergumam “Aku ingin pulang, mengecat pagar rumah yang mungkin mulai kusam. Aku ingin melihatnya putih cemerlang, di sela kibasan Sang Merah Putih yang tak tunduk oleh tikaman matahari sore yang temaram.”
Yogyakarta, 16 Agustus 2016
Like this:
Like Loading...