“Table fourteen ready for main, please!” Jo berteriak sambil menggotong tumpukan piring dan mangkok kotor di tangannya. Digeletakkannya piring dan mangkok itu di atas meja aluminium di sebelahku. Suara berisik menyentak seiring sendok dan garpu yang berserakan di atas meja. Tak sempat kuperhatikan lebih lama, tanganku sedang tak boleh berhenti menggosok ember plastik putih yang licin karena minyak. Air hangat cenderung panas mengalir dari keran membantuku mengenyahkan minyak yang susah pergi.
Category: Cerpen
Citra

“Aku di Jogja ni. Ketemu yuk” demikian bunyi pesan di whatsap yang baru saja aku baca. Citra, kawan lama, teman seangkatan kuliah dulu berkabar. “Eh, kapan tiba?” tanyaku membalas pesannya. “Baru saja kemarin pagi. Nanti malam makan yuk. Aku kangen makan di Jogja.” Kami bersepakat makan di sebuah warung PKL di Jetis, jalan Monumen Jogja Kembali dekat dengan STM. Tempat itu bersejarah bagi kami. Ingatanku melayang ke penggal terakhir dekade 1990an silam. Jogja adalah tempat yang begitu berbeda.
Sebelas

Kami belum apa-apa. Tak layak menegakkan dagu apalagi menepuk dada jumawa. Tapi hati kami masih diliputi sombong maka kadang-kadang kami berpuas diri, berhenti sejenak dari lari. Karena kami makhluk biasa maka kami berhenti tak saja untuk istirahat tetapi untuk menikmati butir-butir kecemerlangan yang kami artikan sendiri. Di penggal perjalanan ini, telah berpelukan antara duka nestapa dan sumringah gembira, maka susah kami bedakan keduanya. Kami berusaha sangat untuk memelihara keterkejutan dan memanen pelajaran dari keterpurukan meski perasaan datar kadang mampir menghinggapi. Datar karena kami mulai terbiasa dengan sedu sedan duka dan tawa riang bahagia yang tak henti saling merangkul.
Berkah di Hari Valentine

Hello Kawan,
Kamu pasti sudah mendengar berita baik ini. Kami semua bersykur, setelah lama menunggu, akhirnya Tuhan mengabulkan doa kami. Tuhan mencintai kami penuh seluruh dengan menurunkan berkah di hari Valentine ini. DiberikanNya pada kami apa yang sudah bertahun-tahun kami idam-idamkan dan rindukan. Kami dikirimi bahan makanan berlimpah. Keluarga bersuka cita menyambut berkah itu. Anak-anak bersenandung bermain di halaman dan berdansa menikmati guyuran nikmat yang tiada tara. Berkah itu akan membuat generasi penerus kami hidup tenang selama bertahun-tahun di masa depan.
Kereta Terakhir

Aku melesat meninggalkan loket tiket di stasiun Pondok Cina, bergegas mendekati kereta yang sebentar lagi berlalu. Hampir setengah sebelas malam, ini adalah kereta terakhir yang akan membawa penumpang ke arah Bogor. Aku tidak punya pilihan lain, aku tidak boleh terlambat jika tidak ingin tertinggal. Hari telah larut, aku tidak begitu paham pilihan transportasi dari kawasan Depok ke Bogor selain kereta.
Kurang dari semenit setelah aku menginjakkan kaki di gerbong paling belakang, kereta perlahan melaju. Aku lega, aku berhasil memasuki kereta terakhir malam itu. Dengan nafas masih terengah, aku meraihh pegangan yang berjuntai di atasku. Tidak ada tempat duduk yang kosong, akupun berdiri. Sambil mengatur nafas, aku perhatikan sekeliling. Di satu sudut, ada seorag perempuan muda yang asyik dengan HPnya, sekali-sekali melirik ke arahku yang baru datang dan masih tersengal. Tidak lama, dia kembali tenggelam di layar HPnya tetapi seperti ada senyum yang tersungging di bibirnya. Ada getaran yang berbeda dari senyum itu. Entahlah.
Idul Fitri Tahun Ini, Aku Ingin Pulang
Ibu, aku ingin pulang. Aku ingin pulang menemuimu lagi seperti tahun lalu. Alasanku hanya satu: aku rindu. Aku merindukan aroma pagi yang basah oleh embun dan tunduk oleh dingin kabut saat subuh. Aku merindukan teriakanmu yang dulu salah kupahami ketika menarik selimutku dan mengancamku untuk bersujud pada Sang Khaliq. Aku rindu gigil pagi saat dingin air tanah menampar wajahku yang ragu-ragu berbasuh wudhu. Aku rindu Ibu.
Puasaku tahun ini aku niatkan untuk berserah diri tapi sejatinya ada pintaku. Aku ingin lewatkan Ramadhan untuk bersegera menemuimu. Padamu aku menemukan kasih Tuhan yang mengejawantah dalam pikir, kata dan laku. Aku tak pintar mencerna ayat-ayat suci, engkau tahu itu tapi aku tak pernah dirundung ragu akan keEsaan-Nya. Ada penegasan tentang Sang Keberadaan, tidak saja dari sentuhan hangatmu, tetapi juga dari kepedulian yang kau sembunyikan dalam kemarahanmu. Aku merindukan kemarahanmu, seperti ketika aku kecil saat menduga bahwa merafalkan ayat-ayat suci adalah siksaan di fajar buta. Aku terlambat Ibu, tapi aku menyadarinya kini.
Birahi

Made Kondang diam saja ketika Klian Banjar memberi perintah. Ada pertanyaan dalam hatinya tetapi tidak diungkapkannya karena alasan etika. Tidak elok mempertanyakan, apalagi membantah perintah Klian Banjar.
“Pastikan semua petani yang membajak sawah, mulai hari ini, tidak menggunakan sapi betina.” Klian Banjar mengulangi sekali lagi perintah yang sebenarnya sudah cukup jelas bagi Kondang.
“Ya, Pak Klian” jawab Kondang lirih.
“Saya tidak mau lagi melihat ada yang menggunakan sapi betina seperti yang sudah-sudah. Sangat tidak elok!” sambung Pak Klian seperti gusar.
Raksasa
Di suatu summer…

Summer kali ini begitu panas. Saatnya aku bergabung dengan teman-teman, mengungsi ke suatu tempat yang menawarkan keteduhan. Kami sering mengunjungi tempat itu di saat summer. Tidak saja tempatnya yang nyaman, makanan juga berlimpah. Kami mendapatkannya dengan gratis dan seakan tidak bisa habis. Hanya satu yang membuat kami resah, di situ ada bahaya. Aku pernah mendengar selentingan kabar, ada kekuatan yang maha besar kadang muncul dan mengancam. Situasi yang biasanya nyaman bisa menjadi begitu berbeda jika kekuatan itu muncul. Kenyamanan terancam. Konon pernah ada korban jiwa di tempat itu. Kekuatan besar yang entah apa namanya tidak saja menebarkan ketakutan, dia bisa merenggut nyawa.
Pindah Partai

Pemilu masih sangat jauh, tapi desas-desus soal partai mulai terdengar. Made Kondang yang sebenarnya apolitis tidak terhindar dari deru politik yang mulai menggeliat. Meski tidak begitu paham akan ideologi, Kondang memiliki pilihan politik sendiri. Dipilihnya sebuah partai bukan karena telah dipahami segala ideology, visi, misi dan programnya tetapi semata-mata karena nenek moyangnya telah menunjukkan kesetiaan pada partai yang sama sejak waktu yang tidak bisa diingat lagi. Singkat kata, Kondang berpartai karena keturunan. Kondang tidak pernah mempertanyakan pilihan partainya hingga suatu hari:
Nggak Pantes
Genjo tertunduk lesu, dia sedang mendengarkan ceramah seorang senior. Sejak bersekolah di luar negeri Genjo kerap mendapat nasihat ini dan itu dari kawan-kawan seniornya yang baik dan peduli.
“Kamu tidak pantes melakukan itu, Genjo. Apa kata orang nanti!?” Genjo takzim mendengarkan tanpa membantah sedikitpun. Dia paham, tidak ada gunanya menjelaskan, apalagi membantah.
“Kita ini orang timur, nggak pantes melakukan hal-hal demikian. Kamu jangan ulangi lagi ya, bisa heboh orang Indonesia yang ada di sini kalau kamu tetap seperti itu.” Genjo masih diam, dia tekun menyimak.