
Kami belum apa-apa. Tak layak menegakkan dagu apalagi menepuk dada jumawa. Tapi hati kami masih diliputi sombong maka kadang-kadang kami berpuas diri, berhenti sejenak dari lari. Karena kami makhluk biasa maka kami berhenti tak saja untuk istirahat tetapi untuk menikmati butir-butir kecemerlangan yang kami artikan sendiri. Di penggal perjalanan ini, telah berpelukan antara duka nestapa dan sumringah gembira, maka susah kami bedakan keduanya. Kami berusaha sangat untuk memelihara keterkejutan dan memanen pelajaran dari keterpurukan meski perasaan datar kadang mampir menghinggapi. Datar karena kami mulai terbiasa dengan sedu sedan duka dan tawa riang bahagia yang tak henti saling merangkul.
Kami telah melewati sebelas sikulus matahari dengan pelajaran yang penuh seluruh. Pelajaran kadang datang mengelus lembut nan halus kadang tanpa ampun menikam kejam. Waktu telah mengajarkan kami tidak untuk berdoa agar terhindar dari marabahaya tetapi agar tegar menghadapinya. Demikianlah nasihat Tagore, dipahatkan di lorong-lorong perjalanan yang kadang sunyi, kadang hingar bingar penuh canda dan goda. Waktu juga yang mengajarkan pada kami tentang kebaikan yang tak pernah jauh dari kejahatan. Rwa Bhineda, kebijakan leluhur kami yang terpatri di awan-awan tebal yang mengancam perjalanan sekaligus meneduhkan kami dari tikaman terik matahari. Bahwa senyum adalah malih rupa dari tangisan yang senantiasa mengancam tanpa basa-basi.
Kami belum apa-apa tapi kami berhitung senantiasa. Kami telah melewati belantara mengais kanuragan hingga ke seberang samudera maka biarkan kami tersenyum sejenak. Senyum ini tidak untuk merayakan keberhasilan tetapi merayakan keberanian untuk berbeda. Senyum ini bukan cibiran bagi mereka yang pernah menitipkan segenggam ragu tetapi untuk memberi makan sang ego yang entah kapan jinaknya. Maka bersulanglah dengan kami ketika sebelas siklus matahari kami bukukan. Tidak sempurna memang tetapi kami tahu kesempurnaan adalah serpihan ketidaksempurnaan yang menyatu dengan rela untuk saling menghebatkan.
Sebelas itu adalah paduan angka satu dan satu. Keduanya mengisyaratkan kesamaan. Kami ‘kembar’, berdiri sejajar, tidak ada yang lebih rendah. Pada akhirnya, hubungan dua makhluk itu semestinya demikian. Keduanya berdiri sejajar, sama tinggi. Tidak ada yang merasa tertindas, tidak ada yang agresif menindas. Hubungan terbaik adalah ketika dijalin oleh mereka-mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak ada yang rendah diri, tidak ada yang angkuh atas yang lain. Di antara kami, tiap-tiap raga dan nyawa menjadi alasan keberadaan dan penopang bagi masing-masing.
Congratulations! 🙂
Terima Kasie 🙂
I would like to thank you for the efforts you’ve put in writing this website.
I really hope to check out the same high-grade
content by you in the future as well. In truth, your creative
writing abilities has motivated me to get my very own site now
😉