Guru Baik Hati


Januari hampir berakhir di tahun 2004, musim panas masih segar, belum ada tanda-tanda berakhir. Ketika itu saya memulai kuliah S2 di University of New South Wales (UNSW) di Sydney, Australia. Pagi itu saya mendapat email dari supervisor, Clive, untuk mengajak saya bertemu. Menariknya, di bagian akhir email itu dia menyampaikan “tapi kalau kamu sibuk, tidak apa-apa. Kita bisa bertemu lain kali.” Saya yang memang masih sibuk lalu menjelakan bahwa saya masih mengikuti kelas persiapan kuliah dan sedang mencari tempat tinggal permanen. Balasannya menenangkan hati, “baiklah, tidak apa-apa. Kamu pasti lagi repot nyari tempat tinggal dan nanti mengisi perabotan. Kamu pasti perlu alat-alat dapur juga. Silakan bereskan semua urusan, setelah itu kita bertemu”

Jujur saja, saya tidak punya masalah dengan dosen-dosen saya ketika Kuliah S1 di Indonesia. Menurut saya mereka bersikap baik sewajarnya. Namun ketika menerima email dari supervisor saya di Australia, ada perasaan lain. Saya tidak saja merasakan kebaikan yang wajar tetapi juga sentuhan personal dalam cara Clive berkomunikasi. Entah apa namanya, saya merasa dia menjadi lebih dari sekedar supervisor. Dia adalah seorang teman. Itulah kali pertama saya terinspirasi bagaimana menjalin hubungan yang baik antara dosen dan mahasiswa. Sore itu saya menerima sebuah email dari Clive “kalau kamu sempat, besok sore silakan ke ruangan saya. Kita tidak akan diskusi tetapi ada sesuatu untuk kamu”. Saya penasaran.

Esok harinya saya berjalan mendekati ruangannya di lantai 4 Gedung Fakultas Teknik UNSW. Pintu ruangannya tertutup rapat, rupanya dia sudah pulang karena saya datang setelah jam empat sore. Di depan pintunya saya melihat seonggok barang. Mata saya terantuk pada selembar kertas bertulisan tangan dan terbaca “for Andi”. Dengan perasaan bercampur aduk, saya mengambil seperangkat alat masak yang disediakan untuk saya. Saya masih ingat, di sana ada panci kecil bergagang, ada wajan teflon dan beberapa gelas. Jika tidak salah ingat, ada juga beberapa sendok makan. Saya perhatikan, barang itu tidak baru tetapi masih sangat bagus terawat. Rupanya Clive memberikan alat-alat dapur yang biasa dia pakai sehari-hari. Rasanya tidak salah jika saya terharu.

Kejadian sore itu menempel begitu setia pada ingatan saya hingga kini. Clive telah mengajarkan saya cara berinteraksi yang menyentuh. Dengan Clive, saya tercerahkan dengan satu model hubungan dosen-mahasiswa yang tidak biasa. Meski demikian, hubungan kami sangat professional. Kebaikan hati dan perhatian itu justru melahirkan penghormatan yang tinggi. Bagaimana mungkin saya tega mengabaikan tugas atau permintaan seorang dosen yang baik hati seperti itu? Kebaikan itu memang semestinya tidak melahirkan sikap menggampangkan dan meremehkan.

Sepuluh tahun berlalu, hubungan kami tetap seperti sedia kala. Dekat namun begitu professional. Di saat tertentu saya masih menerima 10-15 email per hari darinya karena kami masih tetap bekerjasama membuat tulisan atau melakukan kajian atas satu perkara. Entah sudah berapa peta yang saya buat untuk memvisualisasikan kelincahan pemikirannya. Sejak Tahun 2005 hingga sore tadi, tidak berhenti. Dia memberi saya tantangan setiap saat dengan gaya komunikasi yang menyentuh. Dia masih tetap memulai emailnya dengan kata-kata pujian seperti ‘very good’, ‘excellent’ dan sebangsanya sebelum nantinya memberikan masukan yang konstruktif. Satu dekade, tidak berubah.

Clive, seperti supervisor lainnya, juga kerap meninggalkan saya. Pelan-pelan saya sadar. Saya menjadikan dia supervisor karena saya mengenalnya dari forum akademik dunia dan internet. Namanya bertebaran di internet karena dia aktif berkiprah. Dia tenar di lima benua di bidangnya karena lincah berkelebat dari satu benua ke benua lain. Singkatnya, saya jadikan dia supervisor karena dia adalah seorang superstar. Egois sekali kalau tiba-tiba saya berharap Clive selalu ada di samping saya. Saya tidak berbagi pada dunia yang membutuhkannya.

Suatu ketika di awal masa studi S3, saya ditinggal ke Canada selama delapan bulan. Betul, Anda tidak salah baca. Bulan, bukan minggu. Namun dengan kesadaran itu saya menerima dengan baik. Perbedaan waktu yang sekitar 15 jam membuat komunikasi tidak mudah tetapi mungkin. Karena di antara kami ada saling percaya dan penghormatan, saya rela begadang jam 3 pagi waktu Wollongong agar bisa berkomunikasi dengan interaktif perihal tugas-tugas yang diberikan Clive untuk saya. Sekali waktu dia berkelakar “what are you doing this late?” karena kaget saat saya membalas emailnya dalam hitungan menit padahal di Wollongong sekitar jam 3 pagi. Begitulah, keterbukaan dalam komunikasi dan kejujuran membuat hal-hal sulit terasa tidak begitu sulit.

Tadi sore saya menerima email dari Clive, email kesekian kali hari ini. Dia memastikan akan membayar tiket saya, Asti dan Lita jika saya akan mengikuti wisuda S3 di Wollongong. Tidak hanya itu, dia, didukung oleh ANCORS, akan menanggung akomodasi selama saya di sana karena kunjungan singkat saya bisa saja dianggap sebagai peneliti tamu. Mungkin sudah menduga saya akan ‘bingung’ dengan istilah ‘peneliti tamu’ dia tegaskan “well, it inevitably will be!

Tentu saja semua itu tidak gratis karena selama ini saya bekerja tanpa lelah mendukung keliaran pemikirannya. Namun saya tetap saja tersentuh begitu dalam. Apa yang ditawarkannya terasa berlebih. Ketika bekerja untuknya, yang ada hanyalah keriangan dalam berkarya karena selalu merasa bangga bisa menjadi bagian dari pergulatan pemikiran seorang guru yang digdaya ilmunya dan baik hatinya.

Dalam menikmati semua ‘kemewahan’ itu, saya melihat diri sendiri. Kerap bertanya pada diri sendiri apakah saya telah menjadi guru yang baik hati bagi mahasiswa saya. Jawabannya “belum”. Saya masih jauh dari apa yang Clive lakukan tetapi saya berusaha dengan serius menjadikan dia teladan dan panutan. Bagaimana hasilnya? Tulisan seorang mahasiswa saya, entah beberapa tahun lagi, yang akan menjawabnya.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

13 thoughts on “Guru Baik Hati”

  1. Pak Made,

    Saya terharu membaca tulisan ini, saya ikut berterimakasih kepada Mr. Clive, apa yang Bapak rasakan dari Mr. Clive hampir sama dengan apa yang saya rasakan sebagai mahasiswa dengan Bapak sebagai Dosen, Bapak sudah berhasil! 🙂 Bukan bermaksud melebih-lebihkan tapi memang begitu yang saya alami. saya pastikan ada satu judul bab di buku atau blog saya nanti yang menceritakan kebaikan Bapak kepada mahasiswa yang sudah saya rasakan, saya akan teruskan sikap positif ini! Selamat karena sudah berhasl menginspirasi 🙂

  2. Saya jadi teringat dosen pembimbing skripsi sy yg ketika itu berjuang membuat penelitian sy yg kontroversi itu tetap dilanjutkan, bahkan hingga terbatas di rapat jurusan. Ia dosen favorit mahasiswa, shgga bukan mahasiswa bimbingannya pun pasti ikut antre di depan ruangannya sekedar utk sharing penelitian skripsinya.
    Beliau bahkan pernah menawarkan hari libur utk bimbingan hanya karena durasi menuju kelulusan tinggal sebentar, dan menghubungi mahasiswa bimbingannya hingga menunggunya sampai sore utk melihat revisi karya kami.
    Ah, dosen yg sangat baik, dan selalu mengajak komunikasi memang mengangumkan, justru krn itu mereka mendapat penghormatan yg tinggi dari mahasiswanya, spti Supervisor Clive, dan pak Made Andi juga.
    Trims sharingnya pak, menginspirasi.

  3. Tulisan Bli Made slalu inspiratif. Saya di kendari sulawesi tenggara terkejut ketika referensi beberapa pencari beasiswa menyarankan selalu membaca blog Bli. Ternyata Bli andi cukup dikenal di kendari. Smg sy jg bisa berbagi seperti yg dilakukan Bli.

    Salam dari kendari sulawesi tenggara

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: