Merelakan Anies

Bahwa saya mengagumi dan meneladani Mas Anies Baswedan, itu adalah keniscayaan. Saya tidak membantah, tidak juga menyesalinya sampai detik ini. Anies adalah pribadi yang padanya saya belajar banyak hal dan tetap akan terus belajar. Bahwa dia punya kelamahan dan tidak sempurna, tentu tidak ada satupun yang harus terkejut. Dan bahwa kini Mas Anies menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, ini adalah kisah dan perihal yang lain.

avengers
Dipinjam dari dunia maya

Continue reading “Merelakan Anies”

Advertisement

Anies

Semalam, saya duduk mematung di depan laptop. Saya membaca sesuatu yang tak bisa membuat saya berpaling. Di sebelah saya, Asti, isteri saya, juga duduk dan membaca sesuatu di layar HPnya. Sesaat sebelumnya kami bermain dengan Lita sebelum akhirnya dia harus tidur di kamarnya. Di malam yang tenang itu, kami berdua asyik sendiri menikmati bacaan masing-masing.

Sekali waktu Asti berkomentar dan saya timpali. Ternyata, meskipun kami membaca di media yang berbeda dan tidak ada kesepakatan, bacaan kami sama. Kami sama-sama sedang membaca surat pamit dari Mas Anies Baswedan yang baru saja dibebastugaskan oleh Pak Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya lebih banyak diam dan hanya mengiyakan komentar Asti. Mata saya menjelajahi komentar banyak orang tentang digantinya Mas Anies sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Mas Menteri telah menjalani tugasnya selama duapuluh bulan terakhir dan sesungguhnya itu belum paripurna. Mas Anies diberhentikan di tengah jalan. Sebuah keputusan yang mengejutkan banyak orang. Saya tentu salah satunya. Saya tidak punya kepentingan politik, seperti Mas Anies yang juga tidak berafiliasi pada salah satu partai politik tetapi pencopotan Mas Anies menyisakan kesedihan. Kesedihan mendalam itu tergambar jelas pada komentar ribuan penduduk dunia maya yang memberi komentar pada surat pamitnya yang mengharukan.

Dalam suratnya Mas Anies tidak berpamitan kepada presiden tetapi kepada para guru. Orang-orang hebat yang selalu disebutnya sebagai pahlawan. Dan kata pahlawan yang keluar dari mulut Mas Anies berbeda dengan kata ‘pahlawan’ yang diucapkan dalam suasana kaku di lapangan upacara yang sekedar melewatkan ritual. Ucapan pamit itu menggunakan kop resmi, tanda tangan basah dan cap yang formal. Di tangan Mas Anies, ketiga hal yang biasanya mendukung kekakuan itu seperti menyerah, bersimpuh dan menjelma menjadi pesan yang menyentuh hingga jauh ke dalam.

Asti menyentuh tangan saya ketika saya diam dalam renungan yang melempar saya pada kenangan dan juga harapan masa depan. Tanpa bisa saya bendung perasaan saya hanyut bersama luapan dukungan dan doa bagi Mas Anies dari penduduk dunia maya. Saya membacanya takzim. Dari sudut mata saya keluar butiran bening. Saya menangis dan akhirnya terisak tanpa bisa saya kendalikan.

Saya mungkin sekedar cemen. Mungkin juga benar seperti kata sahabat saya bahwa saya adalah seorang dengan pemikiran yang utopis, berjarak jauh dengan realitas. Mungkin benar demikian makanya saya cenderung mudah terharu pada kejutan-kejutan semacam dicopotnya seorang Anies dari posisi menteri. Meski demikian, saya melakukan itu dengan penuh kesadaran. Saya bahkan tidak begitu khawatir tertuduh cemen dan cengeng karena harus menitikkan air mata meratapi sebuah drama politik yang seharusnya tidak mengejutkan.

Bagi saya, tangis saya semalam adalah bayangan duka mendalam akibat terpenjaranya sebuah harapan dan gagasan. Mas Anies bukan seorang menteri yang mendobrak dengan keberingasan yang bisa mengundang sensasi media. Dia adalah seorang yang tegas dalam sikap tetapi santun dalam ekspresi. Mungkin benar juga, Mas Anies bukan seorang yang super cekatan merampungkan hal-hal pragmatis, seperti diduga sebagian teman saya. Mungkin. Tapi yang saya selalu yakini bahkan sampai saat ini adalah kesungguhannya untuk membangun karakter baik dalam pendidikan.

Ketika mengantar Lita ke sekolah di hari pertama sekolah, saya mengikuti pidato Ibu Kepala Sekolah. Belum pernah saya melihat seorang kepala sekolah menyampaikan pesan seorang menteri dengan sebegitu semangat dan penerimaan yang tak bisa disembunyikan. Pesan Mas Menteri itu adalah energi yang menjalar melalui kata-kata Ibu Kepala Sekolah dalam bentuk nasihat-nasihat sederhana namun prinsipil. Saya bersekimpulan, pesan Mas Menteri Anies tidak hanya hadir dalam lembaran surat atau disposisi kaku yang umumnya dilupakan seiring terhempasnya di rak arisp atau bahkan di tong sampah yang tua dan kumal. Pesan seorang Anies, hadir lewat semangat dan senyum kepala sekolah. Hari ini saya diliputi rasa optimisme.

Asti tidak berani menghentikan atau mengganggu saya ketika saya tercenung dalam isakan lirih. Dia tahu saya dan dia tahu betapa saya mengagumi seorang Anies sejak lama. Bagi saya, ini bukan soal kultus individu, ini adalah soal seorang manusia sekolahan seperti saya yang melihat idealisasi sebuah gagasan dan gerak yang menyatu pada seorang individu. Saya tidak terkejut dengan ide-ide Mas Anies karena itu merupakan milik banyak orang yang terdidik. Yang saya kagumi adalah kemampuannya mentransformasi ide dan idealism itu menjadi pesan yang mudah diiyakan, mudah untuk dituruti. Saya menjadi relawan Hari Pertama Sekolah karena saya percaya ide Mas Anies harus didukung. Saya ikut gerakan Turun Tangan karena seperti katanya, saya tidak boleh hanya urun angan. Saya dekat dengan para pengajar muda di Indonesia Mengajar karena saya tahu gagasan besar itu tak bisa tumbuh subur hanya dengan dipuji dan ditonton.

Saya yakin ribuan anak muda yang menjadi pengajar muda di Gerakan Indonesia Mengajar juga terpikat oleh kekuatan gagasan Mas Anies yang memancar lewat rangkain kata yang tersusun sedemikian rupa atau dalam bentuk tulisan-tulisan yang menyentuh dan membangunkan. Benar yang Mas Anies sampaikan, kita tidak bisa menjadi pahlawan sendiri. Dan bahwa kepimimpinan yang baik bukanlah yang menyelesaikan semua persoalan sendiri tetapi yang mampu menggerakkan orang lain untuk berbuat sesuatu. Mas Anies, tidak menyuruh saya untuk mempercayai dia tetapi mempercayai diri saya untuk bisa melakukan sesuatu perubahan meskipun kecil.

Saya tidak membiarkan diri saya mengumpat atau menyalahkan Pak Jokowi. Saya percaya dengan kebaikan beliau. Namun kebaikan saja tidak cukup untuk mempertahankan seorang Anies Baswedan yang memang tidak kuat secara politik. Pastilah ada banyak kalkulasi politik yang tidak akan bisa saya pahami dengan otak surveyor saya yang fakir pengetahuan politik. Yang saya tahu, selalu ada kalkulasi dan yang terjadi mungkin adalah yang terbaik.

Sementar itu, kekaguman dan terutama rasa terima kasih saya kepada Mas Anies tidak berkurang sedikit pun. Melihat kenyataan bahwa dia masuk dengan tegak serta keluar dengan gagah berani tanpa kasus yang berarti telah menguatkan hati saya untuk menjadikannya teladan. Saya mungkin adalah satu saja dari orang Indonesia yang cemen tetapi saya memilih menjadi cemen dengan sadar.

Hati saya ada bersama anak-anak sekolah yang sumringah datang ke sekolah di hari pertama karena sekolahnya ramah tanpa perploncoan. Semangat saya bersama guru-guru yang tidak lagi pusing hidupnya memikirkan cara terbaik memberi kunci jawaban pada anak-anak yang tertekan saat menjalani ujian yang seakan menentukan hidup matinya. Senyum saya bersama Lita dan teman-temannya yang tas sekolahnya tak lagi berat dan membuat tulang belakangnya cidera. Doa saya bersama Mas Anies yang telah berjuang mewujudkan semua itu. Terima kasih Mas Anies. Seperti kata Kaffee di A Few Good Men, “you don’t need to wear a patch on your arm to have honor”. Seorang Anies Baswedan tak harus menyandang pangkat menteri untuk disebut pahlawan dan pengubah.

Ps. Tulisan saya yang lain tentang Anies Baswedan

  1. Indonesia Mengajar
  2. Ketika Anies Baswedan Turun Tangan
  3. Tulisan Tangan Pak Menteri
  4. Pelajaran di Kursi 45
  5. Memetakan Anies Baswedan
  6. Apa Kabar Mahasiswa Aktivis Hari ini?
  7. Moderator

Ketika Dosen Stand Up Comedy

Saat reuni dan Syawalan alumni Teknik Geodesi dan Geomatika Universitas Gadjah Mada tanggal 8 Agustus lalu, saya melakukan Stand Up Comedy pertama kali. Bagi saya, ini pengalaman penting dan saya ingin berbagi.

  1. Berawal dari telepon dari seorang alumni, ketua panitia reuni/syawalan. Saya diminta standup atau cari orang yang bisa stand up comedy.
  2. Permintaan ini seperti membangkitkan impian lama. Sudah lama saya ingin melakukan hal-hal mengejutukan untuk alumni!
  3. Saya pernah cerita kepada teman soal impian ini. Waktu itu sih tidak mendapat sambutan seperti yang saya harapkan. Ide hebat memang kadang disepelekan 🙂
  4. Waktu ditelpon, saya ada di Singapura. Tanpa pikir panjang, saya mantapkan hati. Saya harus terima tantangan ini!
  5. Saya punya waktu sekitar 10 hari sejak ditelpon. Saya harus cari bahan, siapkan skrip, latih delivery. Semoga cukup!
  6. Mengikuti nasihat @pandji dan @ernestprakasa, stand up katanya 90% skrip dan 10% improvisasi! Saya ikuti!
  7. Lima hari pertama kumpulkan bahan. Saya mencatat sebanyak mungkin hal terkait alumni @geodesiugm dan hal-hal umum yang mungkin lucu.
  8. Saya kumpulkan sebanyak mungkin kejadian atau cerita atau teori yang punya potensi kelucuan dan terkait alumni @geodesiugm
  9. Selain terkait @geodesiugm, saya juga kumpulkan bahan terkait profesi saya dan hobi. Sedikit-sedikit juga tentang politik 🙂
  10. Dirasa cukup, saya mulai membuat naskah. Cukup cepat, semalam jadi meski kasar. Akhirnya disempurnakan terus selama empat hari.
  11. Untuk penampilan 10-15 menit saya siapkan 3000 lebih kata, 6 halaman 🙂 Lumayan setara tugas kuliah membuat essay :))
  12. Karena kesibukan, saya harus bolak balik Singapura Jogja, Jogja Jakarta dan seterusnya. Saya belum sempat latih dengan baik hingga H-1 😦
  13. Akhirnya malam terakhir tanggal 7 saya memaksa diri. Asti, isteri saya, mendorong untuk latihan. Asti dan Lita yang mengevaluasi.
  14. Percayalah, tidak mudah latihan standup comedy dinilai isteri dan anak sendiri. Saya perlu energi besar. Perlu terobosan!
  15. Akhirnya saya harus mau. Saya punya prinsip: berlatihlah untuk mencapai kebaikan! Asti dan Lita mendukung penuh.
  16. Dari jam 10-12 malam latihan, banyak feedback dari Asti. Dia cukup kooperatif dan sangat supportif. Dia tahu, saya bukan seorang pro.
  17. Lita, terus terang, tidak terlalu supportif dan banyak komen “ga lucu Yah” atau “Lita ga ngerti”. Begitulah :))
  18. Apapun itu, the show must go on! Saya percaya pada Asti yang sudah memberi lampu hijau meski masih ragu 🙂
  19. Akhirnya Asti dan Lita tidur. Saya merenung sendiri. Mencoba lagi beberapa kali. Ada yang kurang rasanya. Saya punya ide, bahan diperkuat dengan slide show. Maklum dosen 😀
  20. Selama 1,5 jam saya bikin slide dan memilih bagian-bagian yang tepat masuk slide. Ada foto orang, ada jargon, ada punch line juga.
  21. Akhirnya selesai dengan keterbatasan waktu dan bahan. Setengah jam berikutnya saya latih lagi sampai jam dua pagi. Sayapun tidur dengan perasaan sedikit galau.
  22. Pesawat ke Jakarta Jam 6 pagi, tetap harus istirahat meski kurang dari 3 jam. Sejujurnya tidak nyenyak :)) Grogi. Gelisah. Tegang.
  23. Saya anggap persiapan cukup dengan segala keterbatasan. Berangkatlah saya ke Jakarta menuju tempat reuni di sekitar Halim.
  24. Di bandara dan pesawat saya berkomat kamit berlatih tiada henti. Teman-teman dosen mungkin tak paham 🙂 Menegangkan!
  25. Di Jakarta saya sempatkan sounding beberapa materi ke teman-teman dosen agar nanti tidak terlalu kaget. Sebelumnya tidak ada yang tahu saya akan stand up.
  26. Beberapa senior saya beritahu bahwa saya akan menjadikan nama mereka sebagai bahan dalam stand up nanti. So far so good, tidak ada yang keberatan.
  27. Beberapa alumni yang nantinya akan saya ‘hina’ saya kontak juga untuk permakluman 🙂 Tidak semua saya kontak. Yang khusus saja.
  28. Selama reuni berlangsung saya tegang melihat perkembangan. Situasi tidak kondusif karena seringkali alumni ngobrol sendiri-sendiri. Ini hal biasa dalam reuni.
  29. Tegang, bagaimana nanti saya harus merebut perhatian mereka. Padahal Standup perlu perhatian full dari penonton 😦
  30. Di puncak kekritisan, saya hampir membatalkan pada panitia. Tapi urung. Ingat, toh saya bukan comic. Nggak lucu ya wis!
  31. Tapi memang berisiko. Kalau garing dan nggak lucu, saya telah menggali kubur sendiri. Tapi kalau lucu, tentu jadi Sejarah!
  32. A Point of no return! Saya dengar nama disebut. Saya harus bergerak. Pantang mundur, tak bisa berpaling! Move on! Nekat!
  33. Saya lihat banyak dosen yang bahkan kaget. Sejak kapan Andi jadi komedian :(( Saya lihat banyak wajah ragu.
  34. Belakangan saya tahu. Panitia pun masih berdebat sampai tadi malam, belum yakin bahwa saya yang akan standup.
  35. Maka terjadilah sejarah itu. Entah dari mana datangnya energi. Saya bisa melakukan sesuai latihan. Setidaknya penonton konsentrasi menyimak!
  36. Dengan kombinasi dari kalimat, intonasi, gerakan tubuh, slide animasi, hadirlah suguhan itu. Baik atau buruk silakan mereka yang menilai.
  37. Situasi di reuni tidak 100% cocok dengan naskah yang saya siapkan. Misalnya orang yang saya akan libatkan/’hina’ tidak datang.
  38. Di sinilah perlu improvisasi. Ada pemotongan, penambahan, penggantian. Syaratnya: terlihat smooth dan natural 🙂
  39. Saat bit tertentu tidak lucu 😦 saya ingat nasihat @pandji, langsung pindah bit atau paksa mereka ketawa, misal dengan mengatakan “ga lucu ya?!”
  40. Ternyata interaksi dan pelibatan penonton begitu penting. Menyebut nama-nama orang menjadi kunci agar konsentrasi penonton terjaga.
  41. Yang istimewa, teman-teman dosen yang saya jadikan ‘sasaran’ memberi respon positif dan mau ‘terlibat’ ini kunci kelucuan yang alami.
  42. Yang saya ‘hina’ juga mau ‘pura-pura marah’ atau ‘tertawa lepas’. Sebagian malah acungkan jempol. Sungguh membantu 🙂
  43. Sebagian lain mau keluarkan celetukan sebagai respon atas bit saya. Ini membuat suasana hidup. Kuncinya adalah bantuan penonton.
  44. Sampai kemudian waktunya harus berakhir. Prinsip saya, boleh mulai agak gamang tapi akhirnya harus sharp, tegas, jelas. Maka saya siapkan dengan baik.
  45. Saya akhiri dengan sebuah punch line yang disiapkan matang. Kalimat terakhir merupakan punch line yang tegas dan ‘pecah’. Saya lega!
  46. Mengikuti gaya @ernestprakasa, saya menjura hormat di akhir sambil mengatakan “nama saya Andi Arsana, saya angkatan ’96”.
  47. Masih Cukup lama dampaknya terdengar. Penonton Masih tertawa ketika saya diberi penghargaan oleh alumni 🙂
  48. Saya lega, bukan Karena hasil yang sempurna tapi karena keberhasilan melakukan hal baru, mengalahkan ketakutan sendiri 🙂
  49. Harapan saya, Stand up Itu bisa memberi sentuhan berbeda dan ‘mendefiniskan ulang’ hub almamater-alumni.
  50. Saya pulang dengan catatan khusus. Terutama dari mereka yang dengan tulus memberi apresiasi. Dosen juga boleh gaul. Kenapa tidak 🙂

Sakit

Tahun 1999 saya pernah dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Kala itu masih mahasiswa dan demam berdarah telah menundukkan saya. Ketika ditanya oleh Ibu saya, Asti, yang ketika itu masih jadi pacar, berkata setengah berkelakar “Bli Andi cuma perlu istirahat, Me’. Kalau tidak sakit, dia tidak akan istirahat”. Kata-kata itu saya ingat terus. Candaan itu sederhana tetapi rupanya benar berlaku pada saya. Sakit membuat saya berhenti. Tidak saja istirahat tetapi juga berpikir dan terutama merenung.

Continue reading “Sakit”

Spaghetti tahun 1995

Kuta Bali, tahun 1995
“Ini to Ketua OSISnya? Kok Kecil?” kata lelaki usia empat puluhan tahun itu berkelakar. Dua kawanku tersenyum saja. Aku tidak menjawab, hanya menyalami dengan senyum sopan. Lelaki itu, kalau tidak salah, adalah seorang manajer di hotel ini. Hotel besar yang terkenal di Bali. Aku hanya bisa kagum. Betapa hebatnya lelaki ini, menjadi orang penting di sebuah hotel berbintang. Penampilannya nampak perlente, professional dan elegan. Sementara itu aku gugup luar biasa, tak terbiasa menghadapi situasi seperti itu. Aku Ketua OSIS, terbiasa memimpin pasukan di lapangan atau memimpin rapat dengan sesama pengurus OSIS tetap tidak pernah dilatih berinteraksi dengan seorang professional sekelas manajer hotel dalam suasana yang mewah dan mentereng. Nyaliku ciut.

Continue reading “Spaghetti tahun 1995”

Saya Jadi Kepala KUA

Saya mendapat tugas sebagai Kepala Kantor Urusan Internasional alias Office of International Affairs UGM sejak pertengahan tahun lalu. Sebagian teman saya menganggap ini musibah, sebagian lain menyelamati sebagai pencapaian. Saya sendiri menganggap ini kesempatan belajar yang kadang membawa musibah mendewasakan. Tapi tulisan ini bukan tentang pencapaian atau musibah.

Meskipun saya merasa peran kantor ini sangat penting dalam konteks internasionalisasi pendidikan di UGM, ternyata kantor ini, yang disingkat KUI atau OIA, tidak dikenal oleh semua orang UGM sekalipun. KUI? Opo kui? tanya banyak orang dengan logat Jogja yang enak didengar.

Continue reading “Saya Jadi Kepala KUA”

Kartu Kagama untuk Jokowi

Gedung Pusat UGM, 9 Desember 2014

sumber: http://ugm.ac.id/

Beberapa senior dan pejabat UGM nampak berbaris rapi di sisi kiri dan kanan pintu masuk ruang Rektor. Saya terselip di antara kerumunan itu, beruntung mendapat kesempatan menyambut tamu kehormatan. Bapak Presiden Joko Widodo berkenan berkunjung ke UGM dan memberi kuliah umum. Kunjungan itu dalam rangka Festival Antikorupsi yang diselenggarakan oleh KPK dengan menggandeng UGM.

Wajah-wajah di ruangan itu nampak sedikit tegang sampai akhirnya dua personil Paspampres masuk ruangan dan meminta kami untuk membentuk barisan di satu sisi saja. Masuk akal, Presiden Jokowi tentu akan kerepotan menyalami ‘pagar betis’ itu jika kami berdiri di dua sisi. Akan repot jika Pak Presiden harus membolak-balikkan badanya. Hal kecil seperti inipun rupanya sudah diantispasi. Maka bergegaslan sekelompok orang di ruangan itu membentuk satu baris ‘pagar betis’. Suasana menjadi sedikit cair karena orang-orang mulai tertawa berkelakar, menertawakan diri sendiri.

Nampak di barisan itu ada beberapa Profesor, dan banyak lagi orang-orang lain yang namanya hanya saya lihat di website UGM atau di koran. Siang itu, ruang rektor bertabur bintang UGM. Tak ketinggalan, beberapa dekan terutama Fakultas Kehutanan. Konon di antara mereka ada dosen wali Pak Jokowi ketika menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM ti tahun 1980an silam.

Continue reading “Kartu Kagama untuk Jokowi”

Ibu Guru Kasih

Desa Tegaljadi, akhir dekade 1980an

Sepeda tua itu melaju dengan tersendat, dikayuh seorang anak kecil berusia belum sepuluh tahun. Keringatnya mengucur deras, tubuh kecilnya ditikam terik matahari. Panas tak membuatnya terhenti, atau mungkin bahkan tidak dirasakannya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu, dia sedang mengemban tugas mulai dari ibu gurunya. Ibu Kasih, nama beliau.

Si murid diminta untuk menyerakan kain hasil bordir kepada juragan border yang berlokasi cukup jauh dari sekolah. Ibu guru Kasih, selain menjalankan kewajiban dengan baik mengajar anak muridnya, juga berprofesi sebagai tukang bordir, membuat pola berenda warna warni pada kain yang kemudian dijadikan pakaian. Kala itu, bordir merupakan pekerjaan banyak perempuan muda dan dewasa di Desa Tegaljadi. Ibu Guru Kasih tidak berasal dari sana tetapi beliau melihat itu sebagai peluang dan memutuskan untuk menjadi salah satu pekerja lepas. Selepas mengajar, beliau biasanya membawa pulang beberapa orderan bordir untuk dikerjakan di rumah dan dikembalikan kepada juragan bordir setelah menyelesaikannya. Ibu Kasih menaiki sepeda tuanya dari desanya di Tatag ke Desa Tegaljadi setiap hari. Mungkin karena alasan ekonomi, Bu Kasih merasa perlu untuk mengerjakan order bordir selain mengajar sebagai guru di SD 1 Tegaljadi.

Continue reading “Ibu Guru Kasih”

Tips Menjadi Moderator: Improvisasi di Tengah Jalan

Ada kalanya kita tidak siap untuk melakukan suatu tugas. Alasannya bisa banyak. Mungkin karena tidak punya waktu mempersiapkan, karena tugas itu memang bukan bidang keahlian kita atau semata mata karena kita pemalas. Saya akan ceritakan pengalaman saat menjadi moderator sebuah forum dan sebenarnya saya tidak siap sehingga harus berimprovisasi.

Saya pernah menulis di blog ini tentang tips menjadi moderator. Bagi saya, sukses itu perlu persiapan. Ini tidak bisa ditawar. Maka dari itu, ada perasaan bersalaah saat harus tampil tanpa persiapan, apalagi tampil sebagai moderator di forum internasional. Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma UGM meminta saya menjadi moderator bagi tiga ilmuwan keren dengan topik Weda dan Ilmu Pengetahuan. Ini bukan topik sehari hari yang saya geluti tetapi menantang dan keinginan untuk belajar begitu besar sehingga saya iyakan. Malang sekali, saya dihantam berbagai kesibukan lain sehingga tidak sempat melakukan persiapan semestinya. Jika Anda membaca tulisan saya sebelumnya, Anda akan paham persiapan apa yang saya maksudkan.

Continue reading “Tips Menjadi Moderator: Improvisasi di Tengah Jalan”

%d bloggers like this: