Bahwa saya mengagumi dan meneladani Mas Anies Baswedan, itu adalah keniscayaan. Saya tidak membantah, tidak juga menyesalinya sampai detik ini. Anies adalah pribadi yang padanya saya belajar banyak hal dan tetap akan terus belajar. Bahwa dia punya kelamahan dan tidak sempurna, tentu tidak ada satupun yang harus terkejut. Dan bahwa kini Mas Anies menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, ini adalah kisah dan perihal yang lain.

Ada banyak orang bertanya pada saya perihal keputusan Mas Anies yang akhirnya menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta. Pertanyaan yang lebih khusus dan cenderung ‘menyalahkan’ adalah terkait keputusannya maju bersama Gerindra dan PKS yang saat pemilu presiden lalu ada di kubu yang berseberangan dengannya. Mas Anies tidak berhasil menunjukkan konsistensinya. Itu yang ada dalam pandangan banyak orang. Pertanyaan yang ditujukan ke saya tentu saja salah alamat. Saya bukan juru bicara Mas Anies, tidak juga cukup dekat untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan personal soal keputusan politik yang diambil seorang Anies. Saya sekedar pengagum yang sekali waktu berkomunikasi dan berbagi panggung saat bertukar gagasan. Itu saja, tidak lebih, tidak kurang.
Tulisan ini tidak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang Mas Anies yang maju jadi Cagub DKI Jakarta. Tulisan ini adalah pertanggungjawaban moral saya sebagai pengagum Anies dan selalu menulis tentangnya setiap kali dia mengambil keputusan besar. Saya menulis tentang Anies saat mengukuhkan dirinya mengabdi pada pendidikan lewat Gerakan Indonesia Mengajar. Saya menulis soal Anies ketika dia turun tangan menyatakan diri ingin menjadi Presiden RI. Saya juga menulis soal Anies saat dicukupkan tugasnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika ada keputusan besar Anies untuk menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, yang dalam padangan umum nampak ‘berseberangan’ dengan keputusan-keputusan Anies di masa lalu, saya juga merasa perlu menyampaikan pandangan saya lewat tulisan ini.
Mas Anies tentu menyadari, orang-orang di luar arena yang cenderung awam akan terkejut dengan keputusannya. Memilih untuk didukung partai yang pada saat pilpres lalu ‘dilawannya’ pasti menimbulkan tanda tanya. Jika kita dengarkan argumentasi Mas Anies setiap kali ditanya soal ini, dia selalu bisa menyampaikan hal baik. Penjelasannya selalu masuk akal dan enak disimak. Tapi apakah itu dengan segera membuatnya ‘termaafkan’ oleh orang-orang di luar arena itu? Ini adalah cerita lain. Bagi banyak orang, penjelasan kata-kata bisa tak bermakna. Jika kata-kata memang tak melukai, maka kata-kata juga tidak bisa menyembuhkan, kecuali kita mengizinkannya. Bagi banyak orang, itulah makna penjelasan verbal dari Mas Anies.
Bagi saya, bersekutunya Mas Anies dengan Gerindra dan PKS menunjukkan suatu fakta bahwa di Indonesia ini, partai dan ideologi adalah dua hal yang berbeda, terpisah dan bisa berjarak amat jauh. Atau, dari kacamata lain, ideologi tidak selalu menjadi alasan orang untuk bergerak, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Atau, dalam ruang diskusi berbeda, rupanya ideologi satu partai dengan partai lainnya sebenarnya tidak berbeda. Jika saja ideologi adalah sesuatu yang fundamental membedakan partai yang satu dengan yang lain, maka tak ayal lagi, Anies dengan mudah tertuduh plin-plan karena dengan begitu mudah berpindah dari satu kutub ke kutub lainnya.
Ambisi Mas Anies untuk menjadi pemimpin tidak diragukan. Keputusannya untuk mengikuti Konvensi Partai Demokrat beberapa tahun silam menegaskan hal itu. Bahwa Mas Anies memang ingin menjadi pemimpin formal, adalah keniscayaan. Jadi, ketika dia memutuskan untuk menerima tugas sebagai menteri, ingin jadi presiden atau berikhtiar untuk menjadi Gubernur, seharusnya tidak ada satu orangpun yang terkejut. Hal ini bahkan sudah bisa dilihat sejak Mas Anies berusia belasan. Terpilihnya dia sebagai ketua asosiasi Ketua OSIS se-Jawa[?] saat kelas dua SMA tentu bukan sebuah kebetulan. Itu adalah buah dari niat, usaha dan ikhtiar yang serius. Ada ambisi di sana yang sudah ditunjukkan sejak awal tanpa tedeng aling-aling. Dan untuk sekedar mengingatkan, menjadi pemimpin itu bukan dosa, sehingga ambisi untuk menjadi pemimpin itu tidak pernah salah.
Sebagai orang yang rasional, saya tidak terkejut ketika Mas Anies memilih untuk menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta. Meski demikian, sebagai pengidola yang kadang emosional, pilihan Mas Anies bergabung dengan partai yang pernah berseberangan dengannya itu membuat saya mengernyitkan dahi. Saya tentu tidak dalam posisi menghakimi kebaikan atau keburukan sebuah partai. Tapi sekali lagi, urusan ideologi adalah cerita lain. Mas Anies memandang itu semua sebagai panggilan untuk mengabdi. Jika panggilan untuk mengabdi sudah datang, maka tidak penting panggilan dan ajakan itu dari siapa tetapi untuk apa. Dalam bahasa lain, Mas Anies mengatakan, ini bukan soal cita-cita tetapi soal misi. Dia membawa misi untuk berkontribusi maka kendaraan dan wadah itu bukan esensi.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada Ahok. Bukan rahasia lagi, Ahok telah berpindah partai beberapa kali. Ahok juga berpindah dari keteguhannya menggunakan jalur independen menuju jalur partai untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 nanti. Jika boleh jujur maka nampak jelas bahwa inkonsistensi ini dipertontonkan di hadapan khalayak tanpa tedeng aling-aling. Apa yang dilakukan Ahok dan Anies sejatinya tidak jauh berbeda. Bahwa ideologi dan partai tak mendikte keputusan seorang untuk memenuhi panggilan untuk mengabdi. Atau adakah ini mengingatkan kita lagi bahwa dalam politik tidak ada yang abadi kecuali kepentingan? Entahlah.
Saya pengagum Ahok. Saya juga mengidolakan Anies. Kalau boleh jujur, saya tidak pernah berharap akan dihadapkan pada situasi bahwa saya harus memilih salah satu dari mereka. Meski begitu, tepat saat Mas Anies memutuskan menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta, saya yakin beliau sudah menyadari akan ada banyak orang yang harus mengambil keputusan sulit ini. Saya masih ingat, di tahun 2012 jika tidak salah, beredar suatu gambar yang menujukkan wajah-wajah orang baik Indonesia seperti super hero. Anies dan Ahok ada di sana dan saya setuju. Yang tidak terbayang ketika itu adalah ketika dua orang ini kemudian akan berlaga dalam satu medan juang yang sama. Anies dan Ahok tentu menyadari ini dan orang-orang seperti saya harus membuat keputusan. Tentu saja keputusan ini bukan keputusan politik karena saya bahkan tidak punya KTP DKI Jakarta. Ini adalah keputusan moral.
Seandainya saya berKTP Jakarta, siapa yang akan saya pilih? Tidak begitu penting siapa yang akan saya pilih. Yang penting adalah perjalanan serta perenungan menuju pilihan itu. Semua kandidat tentu merasa layak dipilih. Jika mengikuti dengan seksama, kita juga tentu bisa melihat karakter masing-masing calon. Sebenarnya, sebuah pemilihan yang melibatkan petahana sebagai kandidat adalah perihal yang ‘mudah’. Kita cukup membandingkan calon baru dengan petahana yang sudah jelas rekam jejaknya lalu putuskan mana yang lebih baik. Apakah program dan janji Mas Anies memang lebih baik dari apa yang SUDAH dilakukan Ahok? Jika ya, tentu saya akan pilih Anies. Jika tidak, tentu saya tidak punya alasan kuat untuk memilih Anies. Hal yang sama juga berlaku untuk Agus. Mohon maaf, nama Agus bahkan baru muncul ketika tulisan ini sudah lebih dari 1000 kata, semata-mata karena saya tidak merasakan ikatan bathin dengan beliau.
Penduduk Jakarta mesti menyempatkan diri untuk merenung sejenak. Perlu menyadari dengan jernih kompleksitas persoalan yang dihadapi Jakarta saat ini. Dari situ mereka akan tahu pemimpin terbaik dari kandidat yang ada. Cinta dan kagum boleh pada semuanya tetapi kursi gubernur hanya satu dan pilihan harus jatuh pada yang terbaik. Saya tentu melihat, ada karakter Anies yang sangat baik untuk menjadi pemimpin. Saya juga yakin bahwa ada perilaku dan pendekatan Ahok yang sudah terbukti tepat untuk Jakarta yang rumit dan sulit. Meski demikian, saya juga sadar bahwa setiap orang memiliki pertimbangan sendiri dalam memilih. Yang pasti, tulisan ini tidak ditujukan kepada mereka yang melandasi pilihannya dengan kesenangan atau kebencian subyektif, sentimen akan atribut primordialisme, atau keteguhan hati bahwa ‘hidup-mati, salah-benar, saya pilih X’.
Saya menghormati pilihan Mas Anies sekaligus merelakan sosoknya timbul tenggelam dalam imajinasi saya. Kadang dia berjalan sendiri menempuh lorong sunyi, saat ini dia memilih jalan yang hiruk-pikuk penuh kegaduhan. Yang pasti, laga Gubernur DKI Jakarta adalah pertarungan orang-orang hebat. Pertarungan orang-orang hebat dalam sebuah helat adalah kemenangan rakyat. Kemenangan satu pihak dan kekalahan pihak lain tidak akan membuat rakyat terhambat karena pemimpinnya pasti tak jahat. Perang bintang akan melahirkan pemenang bintang meski itu berarti akan ada bintang yang jadi pecundang.
Di udara antara Siem Reap dan Kuala Lumpur, 26 Oktober 2016
Ditulis setelah membaca status FB Asti, isteri saya, soal Mas Anies 🙂
Membaca tulisan mas andi saperti membaca karya yang sudah melewati beberapa revisi dan di supervisi oleh profesor yg ahli dalam karya sasatra,,,, tulisanya sangat bagus dan mengunspirasi
Makasih Mas Feri 🙂