Yogyakarta, 8 Oktober 2016
Pagi-pagi saya sudah duduk di sebuah ruangan di University Club (UC) UGM. Di tempat itu, sebentar lagi akan dilaksanakan kuliah umum yang dibawakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Saya ada di sana karena diminta panitia untuk menjadi moderator. Sebentar lagi, saya akan memoderasi Susi, sebuah tugas yang menegangkan.
Suasana agak gaduh, serombongan orang datang. Ibu Susi nampak tergesa, berjalan paling depan dan langsung masuk ruangan. Saya dan beberapa orang yang duduk di sebuah meja bundar dari beberapa menit lalu langsung bediri. Kami menyambut Ibu Susi, bagaimana layaknya menyambut seorang menteri. Kami sigap, siaga, hormat dan santun. Ternyata itu tidak terlalu berguna karena Bu Susi sama sekali tak bergaya menteri yang ada dalam imajinasi orang-orang kebanyakan seperti saya. Beliau tidak ada basa-basi, tidak menikmati penghormatan dan tidak juga menyapa orang-orang layaknya pejabat pada umumnya.
“Aku ta’ langsung makan ya?!” kata beliau mengejutkan. Bu Susi bahkan tidak duduk di kursi yang tertata rapi di meja bundar yang kami duduki. Beliau hanya menaruh tas dan langsung menuju hidangan yang sudah tersaji di satu pojok ruangan. Soto Kadipiro dan Bakso Bethesda segera diambil dan dengan lahapnya beliau menyantap makanan kesukaannya itu. Tidak ada obrolan basa-basi, tidak ada senyam-senyum sopan santun, tidak ada juga usaha jaga citra. Semuanya langsung, jujur dan apa adanya. Saya senyum-senyum sendiri menyaksikan ibu menteri yang tengah melahap soto dan bakso, hanya 60 cm di sebelah saya. Meskipun saya sebenarnya tegang dan grogi, akhirnya saya berusaha nampak biasa saja. Memang tidak ada perlunya grogi di samping orang yang bahkan tidak merasa istimewa dan tidak berusaha nampak istimewa. Biasa saja.
Gaya Ibu Susi yang apa adanya itu membantu saya menyipakan diri untuk menjadi moderator beliau beberapa menit lagi. Latihan saya yang berjam-jam hingga menjelang subuh beberapa jam sebelumnya seperti mendapat dukungan. Dukungan itu berbunyi “santai aja, yang dimoderatori juga cuek aja kok”. Meski sudah santai, diam-diam saya melengkapi presentasi PPT yang sudah saya siapkan untuk mengenalkan Bu Susi nantinya. Memang sudah saya rencanakan, saya akan mengenalkan beliau dengan slide yang saya buat semenarik mungkin. Interaksi saya dengan Ibu Susi sebelum acara mendatangkan beberapa inspirasi baru untuk mengenalkan beliau nanti.
Sementara itu, Ibu Susi cuek saja duduk di sebelah saya. Kami pernah bertemu beberapa kali tapi Bu Susi memang bukan tipe orang yang gemar bebasa-basi. Jika tidak ada yang yang penting dan menarik, beliau akan diam saja. Bu Susi bukan termasuk orang yang berusaha keras menjaga kehangatan dengan orang lain. Dengan gaya ini, jelas Bu Susi tidak sedang mencalonkan diri jadi Gubernur, apalagi Walikota.
Dalam beberapa menit berikutnya, kami memasuki ruangan kuliah umum. Hari itu, kuliah umum diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bulaksumur. Ruangan segara gegap gempita begitu Ibu Susi memasuki ruangan yang penuh sesak oleh peserta yang sebagian besar anggota dan calon anggota GMNI. Ketika pembukaan dan sambutan, saya duduk di bangku paling depan, tepat di samping Ibu Susi yang tetap cuek dan apa adanya. Duduknya juga santai sekali, tidak ada usaha menjaga citra atau agar nampak wibawa. Sekali waktu beliau membungkukkan badan, menyangga tubuh dengan tangan yang bertumpu di pahanya. Meski kelihatan cuek, matanya awas memperhatikan sambutan dan pengantar dari panitia maupun dari Mas Cornelius Lay yang memberikan pidato pembuka.
Tibalah saatnya, saya dipanggil untuk menjadi moderator dan Ibu Susi juga diminta ke atas panggung. Tentu saja tegang dan grogi tetapi dengan usaha keras saya sembunyikan. Karena saya percaya dengan kejujuran untuk membuka pembicaraan maka saya sampaikan “saya sudah berkali-kali menjadi moderator, tetapi baru kali ini saya menjadi moderator bagi seorang menteri” dan disambut tepuk tangan hadirin. “Menteri bukan sembarang menteri, ini adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Ibu Susi Pudjiastuti.” Saya lanjutkan dengan nada agak naik sehingga sekali lagi memancing gemuruh tepuk tangan hadirin.
Seperti saya rencanakan, lembar demi lembar tayangan menjadi latar belakang ketika saya mengenalkan beliau. Tentu saja tidak mudah membuat perkenalan itu menarik dan ‘mengejutkan’ karena Ibu Susi memang sudah sangat terkenal. Tantangan seorang moderator ketika mengenalkan seorang selebriti seperti Ibu Susi adalah dalam memilih aspek-aspek khusus untuk dikenalkan, dengan harapan aspek khusus itu akan membuat pendengar merasakan sensasi baru. Untuk ini saya menghabiskan sekitar tiga hari untuk melakukan riset.
Perkenalan saya diisi dengan kisah masa muda Ibu Susi yang menyukai Soto Kadipiro dan Bakso Bethesta. Maka gambar kedua makanan itupun menghiasi slide saya. Persahabatan beliau dengan Ibu Dwikorita Karnawati, Rektor UGM, juga saya sampaikan dalam bentuk cerita dan ingatan saya ketika menemani beliau berdua bertemu dalam beberapa kesempatan. Kelakar yang saya kemukakan misalnya “beliau berdua adalah teman sebangku di SMA 1 Yogyakarta. Ibu Susi memilih untuk tidak lulus, Bu Rita memilih untuk tekun belajar dan menjadi professor. Yang tidak lulus kemudian jadi menteri, yang jadi profesor lalu menjadi Rektor.” Saya biarkan penonton menarik kesimpulan sendiri dan tertawa mendengar kelakar itu.
Ada banyak hal yang saya sampaikan, termasuk meme bertema Ibu Susi yang viral di dunia maya. Yang paling umum tentu saja yang memuat kata “TENGGELAMKAN”. Saya sampaikan “karena kesuksesan program penenggelaman kapal pencuri ikan ini, dunia medsos merespon dengan gegap gempita. Ada banyak topik yang berujung dengan jargon ‘TENGGELAMKAN’. Yang tidak aktif di Grup WA, TENGGELAMKAN, yang komen ga nyambung TENGGELAMKAN. Dari semua itu, ini yang paling saya suka.” Saya diam sambil menyampaikan satu meme yang saya buat sendiri dan berbunyi “ITU!!! Yang masuk GMNI cuma karena pengen dapet pacar, TENGGELAMKAN!” Dalam waktu tiga detik berikutnya, pecahlah suasana di ruangan itu dengan gelak tawa yang membahana.
Sementara itu, Ibu Susi tidak menunjukkan gejala sangat tertarik. Beliau hanya tersenyum simpul, itu pun singkat saja. Ibu Susi memang tidak mudah dipancing, tidak mudah mengapresiasi sesuatu yang tidak esensial. Meski begitu, saya senang melihat peserta merespon dengan baik. Moderasi yang baik memang untuk peserta, bukan semata-mata untuk pembicara. Senyum singkat Ibu Susi sudah membuat saya senang karena latihan berjam-jam sebelumnya ada sedikit dampaknya.
Untuk menutup perkenalan itu, saya ceritakan pengalaman saya ketika menyimak Ibu Susi sebelum beliau menjadi menteri. Ketika itu Ibu Susi diundang oleh Teknik Geodesi UGM dan saya menjadi ketua panitia acara. Saat itu ada yang bertanya terkait kebijakan Ibu Susi yang lebih memilih mempekerjakan pilot bule dibandingkan pilot Indonesia. Orang itu mempertanyakan nasionalisme Ibu Susi. Saya katakana, “waktu itu Ibu Susi menjelaskan dengan sangat baik dan orang-orang tercengang dengan logika dan cerita yang beliau sampaikan. Yang paling berkesan bagi saya adalah kalimat singkat beliau yang berbunyi seperti ini”. Saya pun menampilkan sebuah slide yang bertuliskan “Pilih mana: ‘Bosnya bule, karyawannya Indonesia?’ atau ‘Bosnya Indonesia, karyawannya bule?’” dan disambut tepuk tangan meriah oleh hadirin. Saya tutup dengan “Ibu Bapak dan kawan-kawan sekalian, kita sambut Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ibu Susi Pudjiastuti”.
PS. Ini file PPT yang saya gunakan untuk memoderasi Susi 🙂
Sebagai salah satu penggemar blognya Pak Andi, semoga sewaktu saya ke Jogja untuk menengok anak yg kuliah disana, saya juga bisa menyempatkan diri bertemu Bapak.
Wah dengan senang hati Mas Yudhi… yuk kita ketemu 🙂 silakan email saya. Kuliah di mana putranya?
Baik, terima kasih Pak Andi. Saya akan kirim email ke Bapak sebelum ke Jogja. Anak saya, Nadia, tahun ini diterima kuliah di Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Siap Mas Yudhi 🙂 Sampai jumpa
Cara nulis bapak unik..terimakasih selalu menginspirasi Pak Andi
Terima kasih Arif 🙂
Setiap pagi, salah satu yang saya nanti adalah tulisanya pak Andi. Terimakasih sudah menginspirasi 😀
Senang membaca komentar ini Tami. Terima kasih 🙂
“Memang tidak ada perlunya grogi di samping orang yang bahkan tidak merasa istimewa dan tidak berusaha nampak istimewa. Biasa saja”.
Saya tertarik dengan kalimat Bapak ini, saya mendapat kesan yang jelas terhadap Ibu Susi sekalipun saya tidak bertemu langsung dengan Beliau.
Siap 🙂
Sesantai-santainya jadi moderator, saya memilih tetap mempersiapkan diri sebaik-baiknya…setelah belajar dari kebiasaan Bli Andi.
Gelak tawa yang direncanakan adalah gelak tawa yang patut dirayakan. Sebagaimana, sukses moderasi yg direncanakan adalah sukses moderasi yg patut diwartakan.
Mas Kunto.. secara khusus saya baca lagi ulasan jenengan soal Bu Susi saat di Geodesi. Tulisan itu yg jd bagian punch line moderasi saya. Matur nuwun 🙂