Desa Tegaljadi, akhir dekade 1980an
Sepeda tua itu melaju dengan tersendat, dikayuh seorang anak kecil berusia belum sepuluh tahun. Keringatnya mengucur deras, tubuh kecilnya ditikam terik matahari. Panas tak membuatnya terhenti, atau mungkin bahkan tidak dirasakannya. Yang ada dalam pikirannya hanya satu, dia sedang mengemban tugas mulai dari ibu gurunya. Ibu Kasih, nama beliau.
Si murid diminta untuk menyerakan kain hasil bordir kepada juragan border yang berlokasi cukup jauh dari sekolah. Ibu guru Kasih, selain menjalankan kewajiban dengan baik mengajar anak muridnya, juga berprofesi sebagai tukang bordir, membuat pola berenda warna warni pada kain yang kemudian dijadikan pakaian. Kala itu, bordir merupakan pekerjaan banyak perempuan muda dan dewasa di Desa Tegaljadi. Ibu Guru Kasih tidak berasal dari sana tetapi beliau melihat itu sebagai peluang dan memutuskan untuk menjadi salah satu pekerja lepas. Selepas mengajar, beliau biasanya membawa pulang beberapa orderan bordir untuk dikerjakan di rumah dan dikembalikan kepada juragan bordir setelah menyelesaikannya. Ibu Kasih menaiki sepeda tuanya dari desanya di Tatag ke Desa Tegaljadi setiap hari. Mungkin karena alasan ekonomi, Bu Kasih merasa perlu untuk mengerjakan order bordir selain mengajar sebagai guru di SD 1 Tegaljadi.
Anak kecil pengayuh sepeda itu adalah saya. Bu Kasih, entah apa alasannya, mempercayai saya untuk mengantar oderan bordir yang sudah diselesaikannya sekaligus mengambil orderan baru yang akan dikerjakannya kemudian. Siang di saat istirahat sekolah, saya mengayuh sepeda tuanya melintasi jalanan berbatu dan berlubang untuk menunaikan tugas mulia itu. Yang ada hanya satu: kebanggan. Bangga luar biasa bagi seorang anak SD mendapat tugas tambahan dari seorang guru yang diidolakannya. Tugas itu istimewa karena tidak ada siswa lain yang mendapatkan tugas yang sama. Tak pernah sekalipun merasa dimanfaatkan, apalagi tertindas. Yang ada adalah kebanggan karena merasa dipercaya. Saat dewasa, saya kadang merindukan perasaan seperti itu. Perasaan bangga jika diberi tugas berat.
Pernah suatu ketika saya melakukan kesalahan. Saya mendapat tugas dari Ibu Kasih untuk meminta contoh warna benang kepada juragan bordir. Contoh itu akan dijadikannya pedoman untuk membeli benang yang selanjutnya digunakan untuk membuat pola bunga-bunga di kain bordir yang diselesaikannya. Tugas itu diberikan sore hari saat pulang sekolah dan harus saya bawa esok hari saat sekolah. Semua sudah saya lakukan dengan baik tetapi entah apa pasalnya, benang contoh yang sudah diberikan juragan itu hilang entah ke mana. Pagi hari saya panik mendapati benang penting itu hilang. Adalah kesalahan yang sangat amat besar jika tidak berhasil membawa benang itu ke sekolah. Apa kata Ibu Kasih nanti?!?! Saya mungkin dimarahi, dan yang lebih parah lagi, saya mungkin akan kehilangan kepercayaan beliau.
Melihat saya gelisah, ibu saya bertanya. Begitu saya jelaskan, dengan enteng beliau menyarankan “ya sudah, kamu datang saja ke tempat juragan itu, katakan benangnya hilang dan minta contoh benang yang baru”. Terdengar begitu sederhana tetapi mungkin ibu saya tidak sadar bahwa itu bukan perkara sederhana bagi anak kecil umum delapan atau sembilan tahun. Jika saya datang ke juragan bordir dan mengatakan bahwa saya telah menghilangkan benang contoh yang diberikannya, mungkin beliau marah atau yang lebih parah, kehilangan kepercayaan pada saya. Begitu rumit persoalannya. Saya tidak kuasa menyelesaikan perkara berat itu.
Ibu saya rupanya tidak tega. Dengan kesadaran, meski disertai sedikit omelan, beliau mengantar saya ke tempat juragan pagi-pagi sekali untuk mendapatkan benang contoh yang yang maksud. Awalnya saya tidak mau ikut tetapi ibu saya memaksa. Saya harus ikut karena itu tanggung jawab saya. Mungkin demikian maksudnya. Entahlah. Di tangan orang dewasa, perkara berat itu mendadak menjadi sederhana. Sambil tertawa tanpa beban sang juragan memberikan benang yang sama kepada saya. Saya terpana, masalah berat itu menjadi ringan jika ditangani orang-orang hebat. Ibu saya memang hebat.
Tugas guru memang seperti yang dilakukan Ibu Kasih itu, memberikan tantangan baru kepada muridnya di luar apa yang ada di buku. Tugasnya adalah memaksa muridnya agar keluar dari zona nyamannya sehingga si murid bisa mendefinisikan ulang arti kesulitan dan tantangan. Tugasnya adalah memberikan tantangan berbeda kepada murid-murid yang berbeda. Kepada mereka yang bahunya kuat maka ditugasinya mereka memanggul beban berat. Kepada mereka yang pintar memanjat pohon, ditugasinya mereka untuk memetik kelapa. Kepada ikan yang hidupnya berenang, maka tidak diadunya dia dengan sekor kera yang lihai bergelantungan di dahan-dahan pohon. Seperti kata Einstein, semua anak itu genius dengan kemampuan dan bakanya masing-masing. Sehebat-hebatnya ikan, dia tetap akan merasa bodoh seumur hidupnya jika dipaksa memenangkan perlombaan terbang melawan seekor burung camar. Tidak saja si ikan akan kalah, sangat mungkin dia justru jadi santapan si burung camar.
Sebuah tulisan di Hari Guru, sambil nunggu visa di Kedutaan Jepang di Jakarta.
Guru, dalam filosofi jawa – di gugu lan di tiru – di jadikan panutan dan role model.
Dalam mengajar saya juga sering mendapat wejangan, ‘tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanya murid yang belum beruntung bertemu dengan guru yang baik’.
Meski belum pernah bertemu dengan pak Andi secara langsung, saya sudah berguru lewat tulisan dan video yang pak Andi buat.
Terima kasih pak Andi sudah berbagi dan menjadikan saya murid yang beruntung.
Saya tersanjung … Terima kasih 🙂