Ada banyak orang yang bertanya terkait keikutsertaannya untuk berangkat ke luar negeri bersama pasangannya yang sekolah S2 atau S3. Pertanyaan itu umumnya berisi kebingungan dan keraguan apakah itu merupakan keputusan tepat. Saya bisa memahami keraguan ini, terutama jika yang sekolah adalah sang istri dan suaminya harus menemani. Meski demikian, kegalauan serupa juga bisa saja terjadi untuk kasus sebaliknya. Berikut ini hal-hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan:
Karir/Pekerjaan
Mereka yang telah memiliki pekerjaan tetap dan tidak bisa cuti dalam waktu lama tentu mengalami kesulitan mengambil keputusan. Bisa diterima jika seorang lelaki akan merasa bahwa menemani istri untuk bersekolah ke luar negeri sementara dia harus merelakan karirnya berhenti, bukanlah langkah yang strategis. Keikutsertaan menemani istri bisa jadi dianggap sebagai tindakan bunuh diri secara karir. Seorang pasangan, baik istri maupun suami, yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil umumnya harus menjalani tugas dan tidak bisa meninggalkan kantor dalam waktu lama. Meski demikian, ada pilihan untuk cuti di luar tanggungan negara. Dengan kata lain, pasangan berhenti bekerja untuk sementara dan tidak digaji.
Ada banyak teman yang melakukan ini. Ada yang keluar dari pekerjaannya, ada juga yang berhasil meminta cuti tanpa dibayar. Seorang kawan dari Surabaya mengambil keputusan radikal, keluar dari perusahaannya dan ikut istrinya ke Sydney. Karena perusahaan tidak bisa menjamin, dia tidak mendapat kepastian apakah akan diterima bekerja di perusahaan yang sama jika kembali nanti atau tidak. Ternyata, empat tahun kemudian, teman saya ini bisa kembali ke kantornya lagi. Pelajaran penting dari dia, keluar dengan baik dan masuk akal sehingga masuk kembalipun lebih mudah. Jika saat pergi tampak punggung maka saat ingin kembali menampakkan muka, kita tidak malu.
Kesempatan Bekarja
Banyak yang tergiur untuk bisa bekerja saat menemani pasangan sekolah di luar negeri. Hal ini memang benar untuk beberapa negara, khususnya Australia. Seorang pasangan, istri atau suami, berhak untuk bekerja full time selama menemani pasangannya. Jenis pekerjaan juga banyak tergantung keterampilan yang dimiliki serta keinginan pribadi. Pekerjaan yang banyak tersedia tentu saja sektor informal seperti penjaga toko, loper Koran, penunggu restoran, juru dapur dan banyak lagi. Meskipun informal, pekerjaan ini menjanjikan secara finansial. Sering kali para peraih beasiswa bisa menabung cukup banyak karena faktor seperti ini.
Sebenarnya ada banyak juga pekerjaan kerah putih yang sesuai dengan bidang ilmu. Menariknya, banyak yang secara sengaja tidak melakukan pekerjaan kerah putih, meskipun mereka mampu dan diterima, karena alasan yang pragmatis. Mereka biasanya tidak mau bekerja yang memerlukan intelektualitas tinggi karena pada dasarnya mereka ingin ‘istirahat’ saat menemani pasangan. Kebersamaan dengan pasangan ketika sekolah S2 atau S3 adalah masa libur yang ingin mereka nikmati. Kesimpulannya, bisa jadi bekerja menjadi tukang pel restoran, misalnya, adalah sebuah pilihan sadar, bukan karena keterpaksaan atau karena kekurangan secara ekonomi.
Manfaat untuk anak anak
Dengan menemani pasangan bersekolah di luar negeri artinya kemungkinan besar mengajak anak-anak jika sudah punya. Bagi mereka, manfaatnya banyak. Salah satu yang paling mudah dirasakan adalah kemampuan bahasa Internasional yang meningkat tajam. Anak saya, Lita, berbahasa Inggris dengan sangat baik karena sempat kami ajak ke Wollongong, Australia saat saya S3. Sering terjadi, anak anak berbahasa Inggris jauh lebih fasih dari orang tuanya. Tantangan berikutnya adalah memelihara kemampuan berbahasa Inggris itu agar tidak hilang ketika kembali ke tanah air, terutama speaking. Lita, anak saya, kebetulan suka binatang dan sering menonton video binatang di Youtube. Menariknya, video-video bagus tentang binatang di Youtube umumnya berbahasa Inggris. Sambil bermain, Lita belajar dengan efektif.
Dampak psikologis bagi pasangan
Bayangkan, di sebuah arisan para istri dosen di sebuah kampus di Indonesia. Sangat umum, para istri ini akan bercerita tentang masa-masa ketika mereka menemani suami sekolah ke luar negeri. Tanpa bermaksud sombong, tentu akan ada saja yang menceritakan nostalgianya dengan ekspresi yang antusias. Jika semua istri dosen itu sempat menemani suaminya sekolah ke luar negeri maka cerita bisa menjadi begitu seru. Bayangkan jika ada satu orang yang tidak memiliki pengalaman serupa padahal suaminya pernah sekolah ke luar negeri, suasana percakapan akan berbeda. Ada seorang senior menceritakan pada saya tentang hal ini dan persoalan yang tadinya tidak saya pikirkan itu ternyata bisa menjadi runyam urusannya. Tentu saja ini tidak berlaku untuk semua orang. Tidak sedikit pasangan yang tidak ikut istri atau suaminya saat sekolah dan bisa bersikap baik dan tidak terganggu dalam pergaulan.
Kesempatan ikut sekolah
Banyak pasangan yang ikut istri atau suaminya sekolah di luar negeri akhirnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk juga bersekolah S2 atau S3. Asti, istri saya, mungkin banyak terinspirasi suasana saat menemani saya sekolah di Sydney sehingga kemudian berjuang untuk juga mendapatkan beasiswa S2 untuk sekolah di universitas yang sama. Ada kawan kami yang suaminya akhirnya mendapatkan kesempatan sekolah dari supervisor atau pembimbing istrinya. Tidak jarang juga pasangan yang tadinya hanya bermaksud menemani dan mendukung, justru mendapatkan kesempatan penelitian atau studi lanjut. Intinya hanya satu: peduli dengan kondisi sekitar dan tetap membuka mata dan telinga terhadap kesempatan apapun.
Meningkatkan kemandirian dan kedekatan keluarga
Tinggal di negara maju umumnya membuat kita mandiri, meski terpaksa. Tidak ada pembantu, tidak selalu bisa naik mobil, tidak ada dukungan orang tua atau keluarga dekat. Semua itu membuat kita mau tidak mau menjadi mandiri. Selain itu, kedekatan hubungan antarkeluarga menjadi semakin erat. Pasalnya, semua dikerjakan bersama dan terjadi pembagian tugas secara alami. Semua ambil bagian dalam pekerjaan rumah tangga dan terjadi interaksi yang lebih baik. Semua bahu membahu sehinngga terjadi kemandirian dan kedekatan hubungan bathin di saat yang sama. Tidak sedikit kawan-kawan saya yang merasakan menjadi lebih dekat dengan anaknya ketika sekolah di luar negeri, misalnya.
Betapa tidak, semua pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh pembantu kini harus dikerjakan sendiri. Bagi keluarga baru, hidup di luar negeri juga bagus untuk belajar memulai rumah tangga karena semuanya dilakukan secara mandiri. Lebih jauh lagi, peran ayah dalam merawat kehamilan atau merawat bayi menjadi pebih besar. Saya, misalnya, sangat fasih memandikan bayi, mungkin lebih dari Asti, istri saya, karena Asti melahirkan di Sydney dan saya harus memberi dukungan besar. Ingat, tidak ada dukungan keluarga besar di Sydney sehingga pasangan adalah satu-satunya pendukung. Suasana dan kondisi ini yang menjadikan kedekatan antaranggota keluarga semakin erat.
Menjadi penulis atau pengamat yang lebih baik
Ada kawan saya yang istrinya kemudian menjadi penulis saat menemani suaminya sekolah di luar negeri. Saat menemani pasangan bersekolah, umumnya para istri atau suami memiliki waktu yang relatif banyak sehingga bisa melakukan refleksi dan perenungan. Hal ini sangat bagus jika punya hobi menulis. Tidak sedikit yang kemudian menerbitkan buku kisah pengalaman menjadi pendamping pasangan saat Kuliah di luar ngeri. Ada juga yang membuat buku tentang travel, dari catatan pengalaman dalam mengurus liburan keluarga di luar negeri. Pasangan juga bisa menulis untuk media massa di tanah air, misalnya Koran atau majalah. Jika peka maka banyak sekali cerita di luar negeri yang bisa diangkat dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan di media massa tanah air.
Berlokasi di luar negeri juga membuat seseorang bisa mengamati Indonesia dengan lebih obyektif. Ini bisa meningkatkan kemampuan mereka yang tertarik menjadi pengamat politik, ekonomi atau isu sosial lainnya. Pengamatan itu bisa dituangkan dalam bentuk tulisan populer atau makalah serius. Seorang kawan yang menemani istrinya di luar negeri akhirnya menjadi seorang aktivis forum akademis karena produktif menulis paper. Akses terhadap materi akademis seperti jurnal, buku, makalah dll. yang memadai juga sangat mendukung hal ini.
Gagasan wirausaha
Dengan menikmati suasana bisnis di luar negeri, tidak sedikit yang kemudian punya gagasan wirausaha ketika pulang ke tanah air. Kehidupan yang mandiri di luar negeri sering kali menimbulkan niat untuk menerapkan kemandirian itu di tanah air yang kemudian mempengaruhi munculnya gagasan untuk memulai bisnis. Ada beberapa kawan saya yang tadinya bekerja sebelum menemani istri atau suami ke luar negeri akhirnya memutuskan untuk tidak bekerja lagi setelah pulang dan memulai bisnis sendiri. Buka hati, buka mata dan buka telinga. Kesempatan datang kepada mereka yang membuka diri.
Tulisan ini bukan petunjuk dengan tingkat kepastian yang harus dipercaya. Sebagian besar isinya berdasarkan pengalaman sendiri dan mengamati teman-teman saya yang mengalami langsung. Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa ikut menemani pasangan saat bersekolah di luar negeri adalah keputusan yang baik. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk semua orang tetapi demikianlah saya melihatnya. Ada yang mungkin melihat keikutsertaan menemani pasangan ini sebagai bentuk ketertindasan atau pengorbanan. Saya melihat hal sebaliknya. Kawan-kawan saya yang meemani pasangannya sekolah di luar negeri adalah para pahlawan yang menjadi penopang saat beban studi membuat limbung dan terhuyung-huyung. Mereka juga jangkar yang membuat pasangannya tetap fokus pada tujuan pendidikan di saat badai akademis dan non akademis menerpa dan membuatnya terombang ambing. Mereka juga bisa menjadi alasan terkuat untuk tidak menyerah di saat ketidakpastian menjali jalan penelitian yang seakan tiada ujung. Selamat berkemas-kemas, para pahlawan.
Waaa…terima kasih share-nya Pak Andi. jadi ingin ditemani pas berangkatnya 🙂
Siap …
hahaha.. Me too Kang.. Sy lebih fasih mandiin bayi karena 1.5 bulan pertama lahirnya anak kami di Taiwan, Istri ga berani mandiin.
Setelah balik Indonesia, kumat lagi.. Everything is easy dan banyak org disekitar.
Hidup bersama keluarga di LN terus terang sangat berkesan, as you said, kita jadi lebih peka, bertanggung jawab, dan tentu saja semakin cinta 🙂
Btw, pny pengalaman2 buruk kah tntg keluarga pisah paska di LN? sy pernah sekilas baca. Kayaknya menarik juga jika diulas sebagai tambahan ditulisan ini.
*menambah kerjaan kang made 🙂
Hehe … Silakan ditulis Om, nanti saya link 🙂
terima kasih sharingnya pak andi. tulisannya bagus2 sekali pak. sampai ketemu lagi di UGM ya pak 🙂
Salam kenal. Terima kasih, tulisan ini jadi penyemangat buat saya.. Ijin share ya Pak Andi 🙂
Monggo 🙂
Reblogged this on queen of babble and commented:
Saya nemu postingan ini ketika sedang galau berat. Dan saya suka banget. Kondisi saya saat ini, hmm.. Kebingungan, tidak. Bimbang pun tidak. Tapi bagi saya yang kesulitan menjelaskan situasinya, dalam postingan ini semuanya dikemas apik, terutama di paragraf terakhir dan jadi penyemangat saya. Enjoy.
Thanks for artikelnya masbro. Saya juga AAS, kul di perth, bawa istri.. sejauh ini kami menikmati kuliah, hidup, bekerja dan jln2 di australia. Hore!
Thanks infonya masbro. Kul di aussie, dpt beasiswa, sambil bawa istri memang byk mnfaat dan pengalaman yg bisa di dapat. Salam AAS dr Perth!
Siap!
Bagaimana dgn biaya hidup dan biaya sekolah anak di sana pak? Saya seorang istri dan ibu dari seorang anak yg sekarang berusia 2thn.. Lanjut kuliah di Australia dan mendapat beasiswa australian award sudah menjadi impian sejak lama.. Rencananya tahun depan mau daftar AAS.. Tp saya galau, bagaimana dgn anak dan suami saya kalau ditinggal? Udah galau aja, padahal keterima jg belum tentu.. Hihi.. Membaca tulisan ini menginspirasi saya untuk mengajak serta keluarga.. Tapi belum tau mengenai biaya hidup dan sekolah..
Anak sekolah mulai 5 tahun ke atas gratis. Kalai anaknya masih kecil, biasanya dititipkan di Childcare dan memang harus bayar. Tapi ada diskon kok. Good luck 🙂
pakai visa apa?
Visa student…
maaf mas andi mau tanya,kalau bawa suami dan anak apakah beasiswa akan menanggung biaya hidup mereka?
terima kasih atas jawabannya
Salam kenal dari Palu 🙂
Tidak secara khusus. Intinya ada sejumlah uang beasiswa yg kita terima. Kalau dikelola dg baik, itu cukup untuk keluarga.
Halo Mas Andi, terima kasih sharingnya! Suami jg berencana brgkt thn ini untuk master degree nya ke sydney lewat jalur lpdp. Sy mau tanya, istri awardee akan dikasih visa apa ya? Sy berencana bantu2 suami kerja disana, maklum allowance nya sangat tight hehe. Makasih sebelumnya
Visa spouse… bisa kerja full time kok
Salam kenal dan silaturrahim Pak Andi
Tulisan bapak menarik sekali bagi saya. In Sya Allah, akan menjadi masukan buat saya nantinya ini. Boleh bertanya Pak, bagaimana pendapat bapak atau sharing pengalaman (jika ada) suami yang terpaksa berhenti bekerja karena mengikuti istrinya yang kuliah S2? Ditambah lagi bawa anak juga. Terimakasih banyak ya Pak atas masukannya.
Salam kenal Pak Andi, istri saya rencana lanjutkan S3 di UNSW dengan AAS, kalau suami ikut pakai visa apa ya? Bisa kerja full time ? Terima kasih
1. Visa dependent
2. Bisa kerja full time
Halo pak andi. Sy mau tanya.
Jika istri saya kuliah di australi terus saya juga ikut ke australia, apakah saya bisa kerja??
Jika bisa apakah kerja saya itu termasuk dibatasi alias tdk fultime 8 jam..
Terima kasih
Bisa kerja full time. Informasi ini sdh ada di tulisan di atas. Dan ini adalah salah satu info utama di tulisan ini. Matur nuwun.