Kuta Bali, tahun 1995
“Ini to Ketua OSISnya? Kok Kecil?” kata lelaki usia empat puluhan tahun itu berkelakar. Dua kawanku tersenyum saja. Aku tidak menjawab, hanya menyalami dengan senyum sopan. Lelaki itu, kalau tidak salah, adalah seorang manajer di hotel ini. Hotel besar yang terkenal di Bali. Aku hanya bisa kagum. Betapa hebatnya lelaki ini, menjadi orang penting di sebuah hotel berbintang. Penampilannya nampak perlente, professional dan elegan. Sementara itu aku gugup luar biasa, tak terbiasa menghadapi situasi seperti itu. Aku Ketua OSIS, terbiasa memimpin pasukan di lapangan atau memimpin rapat dengan sesama pengurus OSIS tetap tidak pernah dilatih berinteraksi dengan seorang professional sekelas manajer hotel dalam suasana yang mewah dan mentereng. Nyaliku ciut.
“Sumbagannya untuk apa sih?” tanya lelaki itu dalam penggal percakapan kami. Kedua temanku menolehku. Sebenarnya satu dari temanku itu adalah anak manajer itu, kawanku beda kelas. Dialah yang berjasa mengenalkanku kepada ayahnya. “Untuk mendanai kegiatan sekolah Pak” kataku bernada ragu. “Ya Om, ini mau ada banyak lomba dan perlu dana” temanku satu lagi menimpali. Caranya memanggil lelaki itu dengan sapaan “Om” menunjukkan kalau dia sudah akrab dengan lelaki itu. Mereka berdua memang kawan karib dan rupanya keluarganyapun saling mengenal. “Kalian kok mau saja disuruh minta-minta uang sama Pak Semar to?!” lelaki itu nyeletuk dan membuatku kurang nyaman. “Sebenarnya ini ide kami sendiri Pak. Bukan ide kepala sekolah” kataku meluruskan. “Oh idemu to hehe” katanya sambil tertawa santai.
Proposal yang aku bawa diperiksanya sekilas. Kadang tersenyum, kadang mengernyitkan dahi. Aku tidak tahu maknanya. “Okay tinggal dulu ya. Nanti saya kasih kabar” kata lelaki itu mantap. “Ajak makan dulu nih ketua OSISmu!” kata lelaki itu memerintah anaknya, temanku itu. Dalam sekejap kami sudah berada di restoran yang bagiku mewah sekali.
“Pesan apa Ndi?” tanya kawanku, anak sang manajer itu. Itu pertanyaan sederhana yang tidak mudah aku jawab. Aku memelototi satu per satu daftar menu yang ada dan tak satupun aku mengerti. Dalam katalog menu yang ada di otakku, daftar itu harusnya berisi “sambel sereh” atau “sambel bonkot” atau “belut goreng bumbu sereh” atau “sambel matah”. Tidak ada. Yang ada adalah bahasa asing yang tidak bisa aku mengerti. Diam-diam aku mengeluh. Mengapa hidup harus dibuat begitu susah dengan menamai makanan dengan kata-kata yang tidak mudah dimengerti. Aku perlu waktu lama sekali untuk memutuskan. Bukan karena ingin memilih tetapi karena tidak paham apa-apa. Ada rasa malu karena tidak tahu harus memilih menu yang mana. Ada rasa khawatir jika harus mengaku. Ego orang desa yang tidak akrab dengan kemewahan membuatku jadi kikuk, kaku dan gelisah. “Spaghetti aja, samain bertiga” kata kawanku satu lagi menyelamatkan suasana.
Datanglah spaghetti itu. Harus jujur diakui, aku belum pernah memakannya sebelumnya. Sulit dipercaya, seorang ketua OSIS salah satu SMA terbaik di Bali belum pernah makan spaghetti di pertengahan tahun 1995. Begitulah, dunia dipenuhi kejutan jika kita peduli. Dengan ragu aku memegang sendok dan garpu. Tak fasih, harus aku akui. Aku biasa makan dengan tangan dengan menu yang jauh berbeda dengan yang kuhadapi saat ini. Aku kagok dan canggung. Sementara itu, kedua kawanku sibuk bercerita tentang pengalaman mereka. Ada banyak kosakata yang aku tidak mengerti. Ada nuansa kemewahan dalam percakapan mereka. Ada produk yang mentereng, ada pengalaman liburan yang mahal, ada majalah, ada film, ada luar negeri juga. Pelan dan ragu aku habiskan spaghetti itu dengan sendok, garpu yang merepotkanku. Itu adalah satu jam terlama dalam hidup. Makan memang bisa menyiksa.
“Kata dia, cara kamu pegang garpunya aneh!” temanku membisikiku saat kami jalan pulang. Mukaku merah padam sepertinya. Yang kutakutkan terjadi. Temanku tahu aku ini udik, tak paham tata adat makan di tempat-tempat mewah. Keterampilanku memadukan sendok dan garpu untuk menyantap spaghetti memang mengenaskan. Ketersiksaanku tadi rupanya dilihat teman-temanku dan mereka setengah mencibir. Atau mungkin tidak mencibir. Tapi bagi orang miskin yang sensitif, gurauan bisa terdengar seperti cibiran. Aku hanya diam. Diam dengan gejolak rasa yang berkecamuk di dalam. Aku ingin membantah, aku tak kuasa. Aku ingin mengatakan bahwa miskin bukan cita-cita dan ketidakterampilan menggunakan sendok dan garpu itu bukanlah dosa untuk diolok-olok. Aku mau marah…
***
Gedung PBB, New York, tahun 2007
“Andi, could you pass me the mayonnaise, please!” samar-samar aku mendengar suara. “pardon me!” kataku setengah tersentak dari lamunan. “the mayonnaise, please. I want the mayonnaise” seorang kawan dari Colombia mengulang permintaannya sambil tersenyum manis. “Oh the mayonnaise, sure! Here you are!” kataku sambil tertawa menyodorkan piring kecil berisi mayonnaise kepadanya.
Kusaksikan teman-temanku dari seluruh dunia di meja itu. Semua mengenakan jas lengkap, siap menyantap berupa-rupa hidanggan di depan mereka. Sorang kawan senior dari Kanada memberi pidato singkat dan aku menyimaknya sambil mengenang masa lalu. Aroma spaghetti tahun 1995 seperti hadir kembali dan cibiran kecil kawanku tentang caraku memegang garpu seperti terngiang kembali. “bon appetite” katanya mempersilahkan kami makan.
Aku layangkan pandangan dari gedung PBB itu. Aku melihat ke luar jendela, melihat lampu-lampu di megahnya Manhattan yang berkelip. Lalu lalang kendaraan tak berhenti. Kota yang tak pernah mati. Aku ingin pergi ke tahun 1995, menemui ketua OSIS yang tengah galau hatinya. Ingin kutepuk pundaknya sambil kubisikkan “Jangan gelisah! Kualitasmu tidak didekte sebilah garpu”.
ps. sebuah dramatisasi dari kejadian sebenarnya
Mantapp ndi, now you are more then only just a hotel manager….congrats bro, we proud of you…eh btw, nyen panak manager to ndi ????? Hehehe
Suksma Bro Bedu… beh terharu rage nok. Raga dadi guru.. amonean gen hehe
Manajer… Beh, ing dadi orang orang hehe
Wow, so inspiring bli..
Seperti kata Anies Baswedan, lokasi lahir boleh dimana saja, tapi lokasi mimpi harus di langit! Tak perduli latar belakang dan status sosial, jika kau yakin dan giat berusaha, bahkan semesta pun akan turut berkonspirasi mewujudkan mimpi-mimpimu.
Trima kasih bli, izin share ya,,
“Kualitasmu tidak didikte sebilah garpu” burns me!!!
Terima kasih Rekan Armijal 🙂 Mas Anies memang benar!
“Dari sebilah garpu yang kau pikir akan mendiktemu itulah, kini kau tahu bahwa ia hanyalah pesan masa depan. Pesan yang berkata bahwa kelak kau akan memimpin beberapa perjamuan dimana semua pemimpin dunia akan khidmat mendengar kisah garpumu.” 🍴
Well done, Bli Andi!
Suksma dahat Bli Dewa for your Nice And always positive Words 🙂
Tulisan yg menginspirasi, Pak. Semoga selalu sehat, ya, Pak. Tetap berbagi pengalaman dengan menulis.
Terima kasih Arian …