Di negeri Belanda, di misim gugur yang mulai menggigil, seorang kawan Indonesia bertanya perihal Amerika. Kawan ini ingin sekali berkunjung ke Amerika dan bahkan tertarik untuk melanjutkan pendidikan. “Di Amerika serem ya Bro?” tanyanya penuh selidik. Aku hanya melihatnya tanpa menjawab. Menyadari kebingunganku, dia menambahkan “Ya, di sana sepertinya serem banget ya. Hidup tidak aman, banyak kejahatan. Penembakan di mana-mana dan mahasiswa tidak aman di kampusnya sendiri. Ngeri sekali membayangkan Amerika”. Aku yang baru saja menyelesaikan tugas di New York, hanya bisa tersenyum tertahan. Dalam jawaban setengah berkelakar, aku berkata “kamu terlalu banyak nonton film Hollywood”. Dia tidak paham, menatapku dengan sorot mata yang bingung.
Di Boston, rumahnya perguruan tinggi ternama sekelas Harvard dan MIT, aku bertemu seorang lelaki sangar dan garang. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya hitam legam dan bahasa tubuhnya percaya diri dan cenderung angkuh. Logatnya khas African American yang slenge’an dan terdengar seperti seorang rapper ketika berbicara. Karena keperluan, aku bercakap-cakap agak lama hingga keintiman diskusi terjadi. “Have you been to Indonesia?” tanyaku di suatu penggal percakapan. “No, man. Not yet!” katanya menjawab dengan intonasi yang khas. “You should go! Different world, different experience. You might like it” lanjutku berpromosi. Dia diam sesaat, tidak cepat menjawab. Sekilas ada keraguan di wajahnya. “Man, I am not sure. If I go out from this country, do you think it will be safe?” katanya mengejutkanku. Saya tatap dia dengan raut wajah yang setengah tidak percaya namun tak berkata apa-apa. Tubuh sebesar itu, bahasa tubuh sesombong itu, ternyata nyali tak seberapa, pikirku. Menyadari keraguanku, dia melanjutkan “I mean, is Indonesia safe for me? I am a little worried.” Aku ingat kawanku di Negeri Belanda. Dalam hati aku berkata “kebanyakan nonton berita Amerika sih Lo!!”. Jika memang demikian, tentu saja baginya dunia di luar Amerika adalah soal terorisme, bencana alam, kudeta, penyakit parah, demonstrasi berdarah, pemimpin anti demokrasi dan segala yang tragis lainnya.”
Seperti juga kawan yang aku temui di Negeri Belanda, wajar jika lelaki berkulit legam ini takut. Ketakutan memang mudah berjangkit pada banyak orang, terutama mereka yang tidak meluangkan waktu dan hatinya untuk memahami perihal di luar egonya.
Bandara Boston, 30 Mei 15
http://www.themalaymailonline.com/malaysia/article/malaysian-professor-sues-us-government-over-terror-blacklist
suruh nonton pilem borat, om …
Hehhe
🙂
sama-sama takut ya..?
Sepertinya demikian 🙂