Aku tatap koper yang masih belum dikemasi dengan baik, tergeletak di lantai. Sebagian baju dan celana sudah di dalam, sebagian lain berserakan. Aku masih di depan komputer, mengetikkan kalimat-kalimat yang harus dituangkan. Sekali waktu jendela Twitter dan Facebook mengganti Ms Word di layar laptop. Pagi berjalan malas. Saat kulihat koper yang tergeletak itu, melambung ingatanku ke masa lalu.
Terminal Ubung, Januari 1995,
Aku bergegas menjinjing sebuah tas besar. Di dalamnya berupa-rupa pakaian dan peralatan mandi. Ada makanan beragam jenis. Tas berukuran cukup besar itu berat dan merepotkan. Di sebuah bangku aku lihat Mbak Eva, kakak kelasku yang duduk tenang tersenyum ramah. Dia santai, pakaiannya tidak seperti pakaianku yang rapi dan cenderung formal: kaos berkerah di masukkan ke dalam celana kain yang licin disetrika. Rapi atau ndeso? Mungkin yang kedua. Di belakangku menyusul Meme’ dan Bapak yang melangkah ragu menyusul tanpa tahu apa yang akan terjadi pada anaknya.
Itu kali pertama aku ke Jawa, dipercaya sekolah untuk mengikuti lomba cerdas tangkas dan keterampilan Kimia di Surabaya bersama Mbak Eva, Jimmy dan Sri. Sejak dua minggu sebelumnya seisi rumah gelisah, harap-harap cemas apa yang akan terjadi nanti. Jawa begitu jauh bagi kami, terutama bagi Meme’. Tiga minggu sebelumnya, aku diantar membeli tas besar. Bukan kopor! Tas itu ada tali jinjingnya, bukan juga tas punggung yang bisa digendong. Entah apa yang ada di pikiran kami saat itu. Segala sesuatunya tidak mendukung sebuah perjalanan jauh meskipun perjalanan itu telah membuat resah berminggu-minggu sebelumnya. Berbeda dengan Mbak Eva, Sri dan Jimmy yang santai, aku yang paling ndeso dengan bawaan yang membuatku tergopoh-gopoh dan jauh dari keren.
Seminggu sebelumnya, sebagian warga desa heboh saat aku bersembahyang berpamitan dan mohon restu ke hampir seluruh Pura di desa. Kerabat dekat bertanya tentang perjalananku. Semuanya memberi doa dengan wajah yang gundah tak jelas, sebagian lain mendoakan dengan tetesan air mata. Pergi ke Jawa adalah perjalanan jauh sejauh-jauhnya pikiran mereka bisa menjangkau. Bekal doa dan nasihat adalah hal minimal yang mereka berikan. Aku duduk khusu’ sembahyang memohon keselamatan dan pencerahan bagi perjalananku yang masih penuh misteri itu.
“Ndi, katanya mau ke Prancis, jadi nggak?” teriakan ibu mertua membuyarkan aku dari lamunan. Aku segera melesat ke kamar mandi setelah memasukkan beberapa potong baju dan celana ke dalam koper lalu menutupnya dengan cepat. Berpergian di masa lalu dan kini memang berbeda. Mungkin ini yang namanya globalisasi, ketika pergi ke Paris tidak berbeda dengan pergi ke Pare atau terbang ke Oslo tak ubahnya pergi ke Solo. Diam-diam ada kerinduan pada perasaan was-was dan terutama gembira saat harus bepergian (Cebu, Filipina, 18 Juni 2014, 00.31 dini hari)
Like this:
Like Loading...