Pesan untuk Siswa Nusantara di Mancanegara

Kamu mungkin sedang berjemur menikmati senda gurau musim panas di belahan bumi utara tapi di tanganmu ada setumpuk karya ilmiah yang harus dituntaskan. Aku tahu itu. Atau kamu mungkin sedang melawan gigil musim dingin di dekat Antartika sambil menyantap segelas cokelat panas untuk bertahan tapi di depanmu mungkin berserakan buku-buku yang harus dilahap. Kuliah esok hari tak memberimu waktu senggang karena masuk kelas tanpa membaca ibaratnya meluncur ke medan perang tanpa senjata. Aku tahu apa yang terjadi, percayalah.

Continue reading “Pesan untuk Siswa Nusantara di Mancanegara”

Advertisement

Mas Suripto, Wajah Amerika di Jakarta

Pagi-pagi sekali, di Hari Pancasila 2017, saya sudah berada di Ibukota Jakarta. Berjalan menyusuri Jalan Medan Merdeka Selatan, dari jauh saya sudah melihat orang-orang berbaris di depan Kedutaan Besar Amerika. Ingatan saya melayang ke suatu hari satu dekade silam.

Jakarta, 20 Februari 2007
“Jangan berteduh Pak! Baris yang rapi!” saya terkejut mendengar teriakan itu. Seorang lelaki berseragam kecokelatan berteriak dari jauh memberi perintah kepada seorang lelaki usia 50an tahun yang berpakaian rapi. Lelaki dalam antrian itu hendak berteduh sejenak dan keluar dari antrian yang telah mengular. Matahari yang mulai hangat rupanya membuat lelaki yang telah matang itu merasa kepanasan. Tak ayal, teriakan lelaki yang memasang tampang sangar itu mengurungkan niat lelaki malang itu. Sementara saya yang ada tidak jauh dari lelaki itu merasakan ketidaknyamanan. Amerika memang kejam. Satpam di kedutaannya di Jakarta saja kejam sekali.

Continue reading “Mas Suripto, Wajah Amerika di Jakarta”

Kembali ke Sydney

soh

Di tangga-tangga Sydney Opera House, aku duduk termenung. Sendiri dan merasa sepi di tengah keramaian. Jauh di sisi selatan, nampak gedung-gedung tinggi menjulang, angkuh berebut ruang yang dilatari langit biru, bersih tanpa noda. Sydney Tower nampak khas, mengingatkan orang-orang yang pernah gandrung dengan film animasi “Finding Nemo”. Di pelataran Sydney Opera House, orang berlalu lalang menikmati hari yang cerah dan sejuk. Meskipun matahari menikam bumi, nuansa musim dingin belum sempurna diambil alih musim semi. Bagi penduduk katulistiwa sepertiku, Musim semi masih menyisakan dingin yang menyengat. Matahari yang menikam dan hembusan angin dingin yang bersemangat adalah paduan yang menghadirkan kesejukan. Di sini, di tangga-tangga ini, aku terduduk menikmati. Memandang dan menjadi pengamat, berusaha tidak terlibat.

Continue reading “Kembali ke Sydney”

Pulang ke Tegaljadi

Ibu aku pulang menemuimu. Seperti yang kaurafalkan dalam mantra sederhanamu saat mengantarku menemui Hyang Widhi dalam ritual otonanku, aku pulang menyangkil menyuwun. Memikul di pundakku sebentuk tanggung jawab dan menjunjung di kepalaku selapis pengetahuan yang semoga tidak bereinkarnasi menjadi kesombongan.

Temani aku untuk berbicara dengan sebatang pohon kamboja merah darah yang kini berdiri sabar di samping rumah. Aku ingin bertanya perasaanya saat kita cincang dia menjadi terpotong tiga dan tercerai berai. Adakah pohon kemboja memarahiku, Ibu Jika dia marah, ingatkanlah padanya, akulah yang mengumpulkan bunga bunganya yang berguguran dan terserak setiap pagi. Ingatkanlah dia, aku yang memeluknya setiap sore sambil bergelantungan di dahannya yang kokoh dan sabar. Aku yang membantu kawannya, tanduk menjangan, untuk melepaskan hahaga dengan segayung air kali yang aku pikul dari sungai sebelah rumah. Ingatkanlah dia.

Continue reading “Pulang ke Tegaljadi”

Takut

Di negeri Belanda, di misim gugur yang mulai menggigil, seorang kawan Indonesia bertanya perihal Amerika. Kawan ini ingin sekali berkunjung ke Amerika dan bahkan tertarik untuk melanjutkan pendidikan. “Di Amerika serem ya Bro?” tanyanya penuh selidik. Aku hanya melihatnya tanpa menjawab. Menyadari kebingunganku, dia menambahkan “Ya, di sana sepertinya serem banget ya. Hidup tidak aman, banyak kejahatan. Penembakan di mana-mana dan mahasiswa tidak aman di kampusnya sendiri. Ngeri sekali membayangkan Amerika”. Aku yang baru saja menyelesaikan tugas di New York, hanya bisa tersenyum tertahan. Dalam jawaban setengah berkelakar, aku berkata “kamu terlalu banyak nonton film Hollywood”. Dia tidak paham, menatapku dengan sorot mata yang bingung.

Continue reading “Takut”

Ingin Bekerja di Luar Negeri

singapuraBeberapa saat lalu saya mendapat undangan untuk hadir di acara pameran karir di Singapura yang diselenggarakan oleh Osaka University. Undangan itu ditujukan kepada Rektor UGM dan beliau menugaskan saya untuk menghadirinya karena juga terkait penjajagan kerjasama dengan mitra luar negeri. Osaka University adalah mitra potensial UGM dan berkenan menanggung semua biaya yang timbul karena partisipasi UGM. Atas instruksi itu, saya berada di Singapura pada tanggal 13 hingga 14 Februari 2015.

Dari sekian banyak pembicaraan, ada satu yang begitu menarik perhatian saya yaitu terkait kesempatan kerja di luar negeri. Seorang praktisi Pengembangan Sumberdaya Manusia dari Mitsubishi menceritakan kisah pengalamannya dalam melakukan rekruitmen di Asia Tenggara. Ada bayak fakta yang membut dahi berkerut.

Continue reading “Ingin Bekerja di Luar Negeri”

Di sebuah toilet di Perancis

Brest, Prancis, 4 Juni 2o14,

Dingin menyengat meskipun bukan winter. Kota Brest sudah sepi karena malam telah larut. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di depan hotel. Saya berdiri gelisah, menunggu penjemput yang tak kunjung datang. Saya lirik jam tangan, hampir jam 12 malam. Berdiri sendiri di depan sebuah hotel yang sepi di Kota Brest saat subuh menjelang dan dingin yang menyengat bukan hal yang saya cita citakan. Apa daya, rencana tidak semulus yang saya kira. Penjemput tidak kunjung datang. Roaming HP tidak saya aktifkan, sinyal wifi tidak ada. Lengkap.

Di tengah kekalutan itu saya merasa ada gangguan pada perut. Rupanya hidangan makan malam yang baru saja saya nikmati bersama delegasi Conferensi CARIS 2O14 di Oceanopilis mulai menunjukkan reasinya. Perut kampung, tak selalu mudah menerima hidangan ala barat. Saya tersiksa dan harus menemukan toilet. Tanpa berpikir lama saya buka pintu hotel yang terbuat dari kaca besar. Di dalamnya tidak ada banyak orang karena sudah malam. Bergegas saya mencari toilet di bangunan yang sudah cukup tua itu. Tak lama saya menemukannya dan segera masuk untuk menunaikan segala yang harus ditunaikan.

Gelisah tak kunjung pergi, sepi mencekam dan saya berada sekitar sepuluh ribu kilometer dari tanah air. Sambil berpikir saya diam tak bergerak sedikitpun, terpengaruh oleh suasana gedung yang mencekam dan sepi. Saya mereka reka rencana, memutar otak mencari solusi dalam keterdiaman. Tiba tiba lampu mati. Gelap dan saya  masih di ruangan kecil itu. Terjebak. Bersambung di Buku Anak Dusun Keliling Dunia 2.O

Dari Solo hingga Oslo

Aku tatap koper yang masih belum dikemasi dengan baik, tergeletak di lantai. Sebagian baju dan celana sudah di dalam, sebagian lain berserakan. Aku masih di depan komputer, mengetikkan kalimat-kalimat yang harus dituangkan. Sekali waktu jendela Twitter dan Facebook mengganti Ms Word di layar laptop. Pagi berjalan malas. Saat kulihat koper yang tergeletak itu, melambung ingatanku ke masa lalu.

Terminal Ubung, Januari 1995,
Aku bergegas menjinjing sebuah tas besar. Di dalamnya berupa-rupa pakaian dan peralatan mandi. Ada makanan beragam jenis. Tas berukuran cukup besar itu berat dan merepotkan. Di sebuah bangku aku lihat Mbak Eva, kakak kelasku yang duduk tenang tersenyum ramah. Dia santai, pakaiannya tidak seperti pakaianku yang rapi dan cenderung formal: kaos berkerah di masukkan ke dalam celana kain yang licin disetrika. Rapi atau ndeso? Mungkin yang kedua. Di belakangku menyusul Meme’ dan Bapak yang melangkah ragu menyusul tanpa tahu apa yang akan terjadi pada anaknya.

Itu kali pertama aku ke Jawa, dipercaya sekolah untuk mengikuti lomba cerdas tangkas dan keterampilan Kimia di Surabaya bersama Mbak Eva, Jimmy dan Sri. Sejak dua minggu sebelumnya seisi rumah gelisah, harap-harap cemas apa yang akan terjadi nanti. Jawa begitu jauh bagi kami, terutama bagi Meme’. Tiga minggu sebelumnya, aku diantar membeli tas besar. Bukan kopor! Tas itu ada tali jinjingnya, bukan juga tas punggung yang bisa digendong. Entah apa yang ada di pikiran kami saat itu. Segala sesuatunya tidak mendukung sebuah perjalanan jauh meskipun perjalanan itu telah membuat resah berminggu-minggu sebelumnya. Berbeda dengan Mbak Eva, Sri dan Jimmy yang santai, aku yang paling ndeso dengan bawaan yang membuatku tergopoh-gopoh dan jauh dari keren.

Seminggu sebelumnya, sebagian warga desa heboh saat aku bersembahyang berpamitan dan mohon restu ke hampir seluruh Pura di desa. Kerabat dekat bertanya tentang perjalananku. Semuanya memberi doa dengan wajah yang gundah tak jelas, sebagian lain mendoakan dengan tetesan air mata. Pergi ke Jawa adalah perjalanan jauh sejauh-jauhnya pikiran mereka bisa menjangkau. Bekal doa dan nasihat adalah hal minimal yang mereka berikan. Aku duduk khusu’ sembahyang memohon keselamatan dan pencerahan bagi perjalananku yang masih penuh misteri itu.

“Ndi, katanya mau ke Prancis, jadi nggak?” teriakan ibu mertua membuyarkan aku dari lamunan. Aku segera melesat ke kamar mandi setelah memasukkan beberapa potong baju dan celana ke dalam koper lalu menutupnya dengan cepat. Berpergian di masa lalu dan kini memang berbeda. Mungkin ini yang namanya globalisasi, ketika pergi ke Paris tidak berbeda dengan pergi ke Pare atau terbang ke Oslo tak ubahnya pergi ke Solo. Diam-diam ada kerinduan pada perasaan was-was dan terutama gembira saat harus bepergian (Cebu, Filipina, 18 Juni 2014, 00.31 dini hari)

Kereta Terakhir

http://adventureamigos.net/

Aku melesat meninggalkan loket tiket di stasiun Pondok Cina, bergegas mendekati kereta yang sebentar lagi berlalu. Hampir setengah sebelas malam, ini adalah kereta terakhir yang akan membawa penumpang ke arah Bogor. Aku tidak punya pilihan lain, aku tidak boleh terlambat jika tidak ingin tertinggal. Hari telah larut, aku tidak begitu paham pilihan transportasi dari kawasan Depok ke Bogor selain kereta.

Kurang dari semenit setelah aku menginjakkan kaki di gerbong paling belakang, kereta perlahan melaju. Aku lega, aku berhasil memasuki kereta terakhir malam itu. Dengan nafas masih terengah, aku meraihh pegangan yang berjuntai di atasku. Tidak ada tempat duduk yang kosong, akupun berdiri. Sambil mengatur nafas, aku perhatikan sekeliling. Di satu sudut, ada seorag perempuan muda yang asyik dengan HPnya, sekali-sekali melirik ke arahku yang baru datang dan masih tersengal. Tidak lama, dia kembali tenggelam di layar HPnya tetapi seperti ada senyum yang tersungging di bibirnya. Ada getaran yang berbeda dari senyum itu. Entahlah.

Continue reading “Kereta Terakhir”

Merawat benih kebaikan

Borobudur - 17 Desember 2013
Borobudur – 17 Desember 2013

Kami sedang ada di kawasan Candi Borobudur, mengantar dua sahabat dari Filipina yang berkunjung ke Indonesia. Dalam perjalanan pulang, kami melewati banyak pedagang asongan yang menjajakan berbagai barang dagangan. Tidak sedikit dari mereka nenek-nenek yang sudah lanjut usia dan mungkin semestinya sudah tidak bekerja lagi. Jika tidak terlalu sering datang ke tempat seperti itu, pemandangan itu kadang membuat terenyuh, meskipun kenyataannya ada saja orang yang dengan sengaja memanfaatkan situasi untuk kepentingan ekonomi.

Continue reading “Merawat benih kebaikan”

%d bloggers like this: