Pulang ke Tegaljadi


Ibu aku pulang menemuimu. Seperti yang kaurafalkan dalam mantra sederhanamu saat mengantarku menemui Hyang Widhi dalam ritual otonanku, aku pulang menyangkil menyuwun. Memikul di pundakku sebentuk tanggung jawab dan menjunjung di kepalaku selapis pengetahuan yang semoga tidak bereinkarnasi menjadi kesombongan.

Temani aku untuk berbicara dengan sebatang pohon kamboja merah darah yang kini berdiri sabar di samping rumah. Aku ingin bertanya perasaanya saat kita cincang dia menjadi terpotong tiga dan tercerai berai. Adakah pohon kemboja memarahiku, Ibu Jika dia marah, ingatkanlah padanya, akulah yang mengumpulkan bunga bunganya yang berguguran dan terserak setiap pagi. Ingatkanlah dia, aku yang memeluknya setiap sore sambil bergelantungan di dahannya yang kokoh dan sabar. Aku yang membantu kawannya, tanduk menjangan, untuk melepaskan hahaga dengan segayung air kali yang aku pikul dari sungai sebelah rumah. Ingatkanlah dia.

tegaljadi

Antarlah aku menemui sebatang pohon mangga yang sedang berbunga. Lihatlah, dia masih berdiri seperti puluhan purnama silam. Dia masih di tempat yang sama, berebut ruang dengan tiang listrik yang angkuh dan tak rela menyapa. Aku ingin melanjutkan debat dengan pohon mangga itu tentang rasa manis dan tentang penampilan yang kadang menipu. Mungkin keluarga semut yang berbaris rapi meniti jalan di dahannya sebelah tenggara bisa bercerita tentang apa yang telah aku lewatkan. Atau lebah yang suka bertandang dan melumuri tubuhnya dengan tepung sari bisa memediasi perdebatan kami. Dan biarlah burung-burung emprit yang bersarang di pohon rambutan menyaksikan perdebatan kami yang kerap berakhir tanpa arah.

Jika seperti dulu, Ibu bisa berbicara dengan tetumbuhan dan mengerti keluh kesah dan riang gembira mereka, katakanlah pada pohon mangga bahwa aku sudah bertobat. Aku tidak akan pernah lagi membidikkan anak panah bambu yang matanya berhias paku besi yang aku curi dari rumah Pan Kocong ke arah batangnya. Aku tahu kini bahwa getah yang meluncur jatuh dari batangnya adalah air mata yang memilukan, bukan tanda kegembiraan seperti yang aku duga dulu. Sampaikanlah padanya, kini aku bertobat.

Telah kutemui pohon nangka di belakang rumah. Dia kini tua namun nampak berwibawa. Aku tidak lupa, dulu sering melukai batangnya untuk memanen engket, getahnya yang menjadi senjata buatku menangkap segerombolan capung yang membuat langit rumah bising dan hingar bingar setiap sore. Capung gantung, capung Bangkok, entah ke mana mereka kini. Aku rindu. Ke mana capong gobogan, sang raja yang menjadi misteri bagiku sampai kini? Aku tak menemukannya lagi. Aku telah mohon ampun pada pohon nangka atas kekejamanku dulu. Namun mengejutkan, Ibu. Dia justru menikmati siksaan itu karena dengan begitu, katanya, dia lebih bergairah untuk berbuah. Tak heran jika pohon nangka memamerkan buahnya di masa lalu hingga batangnya paling bawah. Manis dan ranum.

Jika malam telah datang, aku ingin menyelinap di bawah selimutmu seperti yang aku lakukan di masa lalu, lalu terlelap memelukmu dan tak ingin terjaga. Pelukan yang membuatku lupa bahwa aku sesungguhnya tak sabar menunggu pagi untuk membentangkan layangan dan menikmati terbangnya yang mempesona bersama Dek Pung.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Pulang ke Tegaljadi”

  1. selalu suka baca tulisannya bli andi (mantan ketua osis saya yg senyumnya jaman itu mahal…hehe), memaknai hal-hal sederhana dan membuat berpikir bahwa hal-hal sederhana bisa dimaknai luar biasa…inspiratif.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: