Sore masih muda, jalanan Jogja mulai memadat. Jika Kisanak ke Jogja di pertengahan tahun 90an dan datang lagi di tahun-tahun sekarang, Kisanak akan tahu bedanya. Kemacetan sudah bukan hanya milik Jakarta saja. Kami melaju mengendarai motor. Seperti banyak hari lainnya, Asti menjemput saya di kantor dan kami berkendara meliuk-liuk di antara mobil yang berderet dan bergerak lambat. Ini adalah hari biasa sepulag kerja. Hari yang tidak istimewa.
Di perempatan Sagan, kami mampir di warung kaki lima yang menjual batagor dan siomay. Warung ini sudah menjadi langganan kami sejak tahun 1997. Tujuh belas tahun berlalu, kami masih datang ke warung yang sama, dengan gaya yang sama. Saya mengendari motor dengan jaket hitam yang masih lusuh, Asti di belakang dengan penampilan yang juga tidak jauh berbeda. Jikapun ada yang berubah, di dalam jaket itu ada kemeja yang sedikit lebih rapi dibandingkan 17 tahun lalu. Itu saja.
Pemilik warung yang sama, pelayan yang sama. Mbak pelayan masih ingat wajah kami dengan jelas meskipun tidak pernah secara formal mengenalkan nama sejak dulu. “Awet nom je” kata perempuan itu menggoda Asti. Entah serius entah basa basi, tentu itu tidak begitu penting. Yang penting kami segera menikmati sepiring batagor bermandikan saos kacang dan cipratan kecap manis. Persis seperti 17 tahun lalu.
Kami makan sambil bercerita, tidak jauh beda dengan belasan tahun silam. Jika pun ada bedanya, tentu topik pembicaraan dan nama orang-orang yang disebut dalam percakapan itu. Kalau dulu kami membicarakan tugas tugas Kuliah atau kelakar teman teman kampus yang lucu, kini berganti tentang topik lain. Suasana dan gaya menuturkannya tidak jauh berbeda. Kisan tentang teman kos di pertengahan tahun 90an bisa sama menariknya dengan cerita tentang seorang duta besar. Jika keduanya dibicarakan di warung batagor di perempatan Sagan maka sensasi yang dimbulkannya bisa sama.
Di sebelah kami duduk berpasang-pasang anak muda yang makan batagor atau siomay. Bedanya dengan masa lalu yang dipenuhi kelakar atau sekedar cengkrama, anak muda sekarang memilih ngobrol dengan kawannya yang jauh lewat media sosial dibandingkan pasangan di depan matanya. Setiap generasi memang bercakap-cakap. Bedanya, generasi dulu bercakap-cakap dengan teman yang dekat secara geografis, anak muda sekarang bercakap cakap dengan teman yang jauh. Jangan buru-buru menuduh mereka mengabaikan teman di dekatnya karena teman di dekatnya itupun sedang senyum-senyum dengan teman lain di seberang benua. Makna ruang dan waktu begitu berbeda di lintas generasi.
Kelar menyantap batagor, kami melaju lagi menyusuri Jalan Solo sambil santai bercakap-cakap. Helem yang menutup kepala kadang membuat suara tak terdengar sehingga harus mendekatkan kepala. Kenangan masa lalu hadir kembali Tidak juga. Kami menyebutnya kenangan yang muncul kembali kalau peristiwanya pernah dilupakan atau tidak dilakukan dalam waktu lama. Bagaimana mungkin sesuatu yang dilakukan sejak dulu dan tetap dilakukan hingga kini menjadi kenangan yang dramatis Kalau dia dialami setiap hari maka dia tidak mengejutkan. Naik sepeda motor bukan nostalgia. Dia adalah keseharian yang biasa.
Bercerita sambil bekendara membuat saya teringat novel terbaru Andrea Hirata. Entah mengapa, keduanya sesungguhnya tidak berhubungan satu sama lain. Ingatan memang kadang muncul tiba-tiba. Kamipun berbelok ke Gramedia di Plaza Ambarukmo untuk membeli novel itu. Kami bukan ‘orang mall’ sehingga kadang ada perasaan canggung melintasi lorong-lorong licin mengkilat itu. Baju kantoran dan jaket hitam lusuh juga mungkin bukan ‘seragam’ yang tepat untuk menjelajah mall. Tapi sudahlah, itu bukan masalah besar . Tidak ada apa-apanya dibandingkan masalah yang dihadapi presiden dan anggota DPR kita.
Sebuah novel berjudul “Ayah” sudah di tangan dan kamipun melaju pulang. Masih dengan motor yang sama, di Jalan yang sama dan kepadatan lalu lintas yang sama. Kami nikmati klakson yang terdengar sekali waktu, pedagang kaki lima yang sudah mulai sibuk di pinggir Jalan menyambut rejeki malam mereka, dan para pengamen yang mengais rejeki di perempatan Jalan. Semua masih ada. Seperti kami, mereka juga sedang menjalani sebuah hari biasa dari ribuan hari lainnya yang juga biasa. Bahwa apa yang ada di media sosial sesungguhnya tak menggambarkan secara utuh kehidupan seseorang.
Orang yang sederhana dengan kisah hidup yang luarbiasa itulah yang saya pikirkan tentang bapak. Saya terkesan dengan tulisan-tulisan dan informasi yang bapak bagikan. Terimakasih buat tulisannya Pak Andi 🙂
Matur nuwun sanget…