Ada janji bertemu dengan seorang kawan di Jakarta. Ana, namanya. sebenarnya sudah cukup lama direncanakan tetapi selalu ada alasan untuk membuat rencana tinggal rencana. Suatu hari saya menghubunginya, mengatakan saya ada di Jakarta dan kami bersepakat bertemu. “Aku latihan nari dulu” katanya membalas pesan di Whatsapp. Kawan saya ini seorang ilmuwan handal. Dia satu dari sangat sedikit manusia Indonesia yang pernah hidup beberapa lama di Antartika untuk penelitian. Beberapa hari terakhir dia menjadi artis top karena diliput hidup kesehariannya oleh sebuah stasiun TV di China karena dianggap sebagai orang Indonesia lulusan China yang kiprahnya penting dalam ilmu pengetahuan dan menjaga hubungan baik kedua negara. Singkat kata, dia orang hebat. Mengetahui bahwa dia juga menari, adalah sebuah kejutan yang menggelitik.
Ilmuwan yang membaca buku atau menulis paper itu bagus tetapi ilmuwan yang juga penari itu tidak banyak. “Iya nih, hidup berasa ngga balance kalau nggak nari” katanya dalam sebuah pesan. Dia adalah ilmuwan yang memperhatikan keseimbangan hidup. Menjaga peran otak kiri dan kanan secara seimbang dengan menggabungkan rumitnya rumus, angka dan ribetnya analisis dengan gerak tari yang membebaskan. Seorang cendikia kian menarik karena melakoni perihal yang orang-orang awam anggap tak lazim. Yang paling penting, kawan ini mengajarkan bahwa kita harus menikmati hak kita untuk menjadi diri sendiri, untuk menikmati waktu sebagai pribadi yang terbebas dari bingkai yang dirangkai, kadang dengan kejam, oleh lingkungan kita. Me time itu perlu.
Dalam nuansa yang lebih pragmatis, pertemuan dengan ilmuwan penari ini mengingatkan saya pada marketing in venus ala Hermawan Kertajaya. Bahwa sebuah produk itu laku bukan lagi karena fungsi utamanya. Tak ada yang mengiklankan sebuah smart phone dan mengatakan “benda ini bisa untuk menelpon”. Tak ada yang memamerkan HP dan mengatakan “Ini bisa untuk SMS”. Sebuah smart phone laku karena resolusi kameranya tinggi, karena bisa digunakan mengakses media sosial, karena memuat organizer yang canggih sehingga memastikan pemiliknya tidak melupakan sebuah acara. Itu semua bukanlah fungsi utama sebuah telepon genggam.
Seorang lulusan geodesi bisa menggunakan GPS tentu tak membuat orang berdecak kagum tapi dia bisa mencuri perhatian dengan kemampuannya menjadi perias pengantin atau menjadi MC manten Jawa, misalnya. Kisanak tidak akan mencoba menawan seorang pewawancara dengan mengatakan “Saya seorang surveyor dan saya bisa mengoperasikan Total Station”. Kisanak akan mempesona jika mengatakan “Saya seorang surveyor yang akrab dengan GPS dan terlatih menghibur anak-anak yatim piatu karena setiap minggu menjadi relawan di Panti Asuhan Sayap Ibu”
Jika enam tahun lagi Kisanak bertemu kawan yang juga seorang blogger, apa judul posting blog yang kisanak inginkan dari dia tentang diri Kisanak? Maka bayangkanlah diri Kisanak sedang membalas sebuah pesan dengan iPhone 12.5. Apa yang akan Kisanak tulis, maka pikirkanlah baik-baik dari sekarang.