Saat turun dari pesawat, saya sering mengamati penumpang lain. Umumnya -sekali lagi umumnya dan artinya tidak semua dan tidak selalu- penumpang tidak sabar untuk segera turun. Biasanya mereka berdiri di gang atau di kursi mereka dan menunggu dengan wajah tidak sabar. Faktanya, entah apa penyebabnya, waktu tunggu sampai akhirnya pintu pesawat dibuka memang selalu terasa lebih lama dibandingkan yang dibayangkan. Maka wajah-wajah tidak sabar dan cenderung gelisah mudah dijumpai pada pesawat yang baru saja mendarat.
Saat pintu dibuka arus manusia jadi deras, bergerak ke arah pintu. Biasanya saya belum berdiri di gang tetapi di kursi saya. Kadang malah tetap duduk jika saya ada di kursi dekat jendela atau di kursi yang tidak menghalangi orang yang mau keluar. Saya amati satu per satu orang yang bergerak dari bagian belakang pesawat yang seakan khawatir dilampaui. Saya tatap wajah mereka satu per satu dengan wajah siap tersenyum, dengan harapan ada yang berhenti sejenak dan mempersilakan saya keluar dari kursi dan berjalan mendahuluinya.
Sepemahaman saya, seharusnya orang yang berada di kursi belakang memberi kesempatan kepada orang di kursi di depanya untuk keluar duluan terutama jika orang yang di depannya sudah siap berdiri di kursinya. Sangat amat jarang saya dipersilakan duluan. Yang ada, mereka biasanya mempercepat langkah seakan-akan seperti ketakutan disalip atau takut akan ketinggalan sesuatu. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk keluar dari kursi menuju gang untuk berjalan duluan. Suasananya sangat kompetitif. Kadang saya geli dan tersenyum sendiri. Mungkin kebiasaan ini juga yang membuat sebagian besar orang akan segera berdiri di lorong, tidak duduk di kursinya, sambil menunggu pintu pesawat terbuka. Semua ingin turun lebih dulu dan tidak mau didahului.
Sangat menarik menyimak kejadian kecil seperti ini. Yang lebih menarik, jikapun ada yang mempersilakan saya, tampangnya bukan seperti orang Indonesia kebanyakan. Beberapa kali saya cermati, yang melakukan seperti itu justru orang asing. Sekali lagi, saya tidak menjeneralisir dan sayapun tidak punya data akurat. Ini hanya sepotong ingatan dari pengalaman. Pengalaman ini juga tidak untuk mengatakan orang asing lebih baik dibandingkan orang Indonesia dalam hal antri-mengantri atau turun dari pesawat. Kejadian yang menimpa saya mungkin kebetulan.
Kadang saya berpikir. Mengapa kawan-kawan saya ini begitu tergesa dan seperti berlomba-lomba hanya untuk turun dari pesawat? Seakan-akan, kalau turun belakangan, dunia akan kiamat atau seperti akan kalah undian. Sementara itu, kita semua tahu bahwa turun belakangan dari pesawat sama sekali tidak masalah. Produktivitas kita tidak akan jauh meningkat hanya karena bisa menyalip 15 orang yang sebenarnya justru berhak turun duluan. Sebaliknya, rejeki mungkin tidak akan berkurang drastis jika mempersilakan orang lain untuk turun duluan, apalagi memang posisi orang itu layak untuk turun terlebih dulu.
Berbekal pengalaman di atas, rasanya ingin untuk selalu mempersilakan orang yang sudah berdiri dan siap bergerak untuk turun terlebih dahulu. Jika Anda berjalan di lorong kursi pesawat dan melihat ada orang lain yang masih duduk di kursinya, coba perhatikan wajahnya, mungkin dia sudah siap turun tetapi tidak mendapat kesempatan karena gang selalu penuh. Jika begitu, mengapa tidak berhenti lalu mengatakan “silakan!” sambil menggerakkan tangan mempersilakan? Bayangkanlah ada senyum terima kasih yang tulus dari wajah mereka sambil bergerak bergegas. Ini mungkin tidak serta merta membuat hidup kita beruntung, menang lotre apalagi masuk surga tetapi senyum terima kasih itu mendamaikan. Kepahlawanan itu bisa sederhana. Kadang dia hanya berupa kalimat singkat “silakan” seraya ‘memberi jalan’ kepada orang lain saat turun dari pesawat. Kadang memang sesederhana itu.
Bandara Halim Perdana Kusumah, 11 Juni 2015
hehe… makasih pencerahannya Pak Andi… 🙂
Saya juga seringkali memperhatikan hal yang sama… Ketika duduk anteng tidak ikutan ‘rebutan’ keluar, dan mmeperhatikan orang, aku berpikir, toh nantinya mereka juga bakal nunggu bagasi, antri lagi, atau bahkan ke ruang induk bandara harus pake bis lagi…ngapain rebutan mau keluar duluan, hehe.
tetapi adakalanya saya juga menjadi orang yang berburu ke luar…
Hehe sama2 🙂
Pengamatan saya kalo mendarat di Jakarta turunnya pada rebutan, takut kesalip. Kalo mendarat di London, lebih tertib, suasananya lebih santai jarang yang buru2. Kalo mendarat di Manchester agak tertib, tapi biasanya penumpang2 berwajah Asia pada umumnya yg pengin turun duluan entah kenapa. Mungkin bawaan penduduk negara berkembang lebih kompetitif kalo ga paling depan ga kebagian rejeki, hehe.
Hehe bisa jadi 🙂
Btw, menurut cerita teman, kalau di negara2 Afrika, pesawat belum mendarat pun orang2 sudah siap2 untuk keluar ^_^
🙂
saya selalu turun belakangan pak, bukan karena tidak dipersilahkan. rasanya damai saja turun ketika pesawat sudah kosong :))
Bijaksana …
Kalau lagi buru2 mau ngejer pesawat berikutnya biasanya aku juga termasuk orang yang buru2 heheeh, terutama kalau harus kejar2an dengan Imigrasi. Antrian panjangnya itu loh….
🙂
wah mirip, Pak 😀 Saya sering seperti itu. ketika turun dari kereta/bis, biasanya saya yang paling santai. Simpel saja Pak, males desak-desakan. Dan itu sering berulang. Keluar dari masjid, atau bahkan keluar kelas 😀
Siap! 🙂
sedikit banyak mirip dengan kondisi di jalan raya pada saat macet, dimana umumnya para pengemudi sudah siaga 1 supaya jalurnya tidak didahului oleh yang lainnya 😀
sama pak… saya juga termasuk yang memilih untuk duduk dulu sampai kira-kira agak sepi, apalagi seringnya bawa anak, jadi mendingan ngalah saja. Dan memang beberapa kali kepikiran, apa yang membuat mereka begitu terburu-buru keluar? Atau yang paling sederhana, buru-buru menghidupkan hp.