
Mejanya terlihat biasa saja. Di atas meja itu tergeletak sebuah piring kertas yang padanya terkapar pisau dan sendok plastik berlumuran saos. Kotor, tidak rapi dan mengenaskan. Di sebelahnya terhampar selembar kertas tisu, melambai-lambai terpapar desiran angin yang halus. Aku memandanginya dengan tatapan penuh selidit. Barang-barang itu tentu tidak istimewa.
Mataku menerawang, melihat lelaki dan perempuan muda yang bergerak cekatan, lincah dan trengginas. Beberapa dari mereka nampak berjingkat bergegas, sementara yang lainnya memegang segepok makanan dan menggigitnya sambil berlalu tergesa. Aku menyaksikannya saja. Di pojok yang agak jauh, ada sekelompok lelaki dan perempuan, membuka kotak pizza dengan antusias dan menyantapnya dengan penuh semangat. Di sebelahnya, duduk seorang lelaki yang tubuhnya ada di sana tetapi jiwanya entah ke mana. Sepotong sandwich yang digenggamnya, lenyap potong demi potong menyelinap ke dalam mulutnya bahkan mungkin tanpa dia sadari. Jiwanya sedang tenggelam bersama bacaannya yang memendarkan cahaya redup dari sebuah tablet yang nangkring di atas meja. Mungkin pikirannya telah tersandera kisah misteri cerdas sekelas karya John Grisham, atau melayang-layang bersama percikan rumus-rumus Kimia atau Fisika yang seakan beterbangan di sekitar kepalanya, atau hanyut bersama kasus-kasus hukum internasional yang diputuskan di gedung mentereng Mahkamah Internasional di The Hague. Entahlah, apa isi bacaan lelaki itu. Dia tenggelam sempurna dan tidak terusik oleh apa yang terjadi di sekitarnya.
Seandainya saja aku tidak tahu aku duduk di mana, aku tak akan merasakan semua itu istimewa. Aku tidak akan bercerita tentang sepotong sendok plastik yang tergeletak berlumuran saos, atau tentang kibasan tisu yang terpapar angin semilir. Aku tak akan akan menulis tentang lelaki yang jiwanya terseret sebuah tablet yang berisi bacaan atau berkisah tentang segerombolan pemuda yang menyantap pizza. Aku tidak akan berkisah tetang itu, jika saja ini tidak terjadi di Universitas Harvard. Suasana yang sama, gaya bicara yang sama, geliat anak muda yang sama, mendadak menjadi perlu dikisahkan karena mereka berumah di Harvard.
Aku melihat langit, memperhatikan rerumputan, mengamati sebuah tanda bertuliskan nama toko dan cafe yang bertengger di atas sebuah tempat duduk batu. Aku melihat anak-anak kecil yang terpesona melihat gedung gedung yang sesungguhnya biasa. Aku tiba-tiba merasakan nuansa brilian dan kecemerlangan dari siapa saja yang berlalu, diam ataupun membuka mulutnya dengan sekeping argument atau sekedar menghiasi bibirnya dengan senyum. Semua itu karena Harvard.
Mengapa semua hal biasa itu menjadi istimewa? Bukankah segerombolan pemuda menikmati pizaa bisa disaksikan dengan mudah di tepi jalanan ramai Jogja? Bukankah lumuran saos yang membalut pisau plastik itu bisa dilihat di mana saja di sudut-sudut peradaban di Nusantara? Keistimewaan itu lahir dari kisah-kisah yang besar dan turut menentukan arah perjalanan manusia.
Gedung bertembok bata merah itu tentu saja tak istimewa, jika saja aku tidak tahu bahwa di situlah tempat kelahiran intelektual delapan presiden Amerika Serikat yang turut menentukan peradaban dunia. Hamparan rumput itu tentu saja tidak istimwa jika saja aku tidak tahu bahwa di situlah pernah terbaring orang-orang yang hidupknya kelak menentukan perilaku hidup masyarakat planet Bumi. Kantin yang sederhana ini tentu saja tidak istimewa jika saja aku tidak tahu bahwa seorang yang memilih drop out dari kampus inipun akhirnya bisa mendikte penggunaan personal komputer dengan Microsoft-nya hingga berwindu kemudian. Meja itu tentu saja tidak istimewa kalau saja aku tidak tahu bahwa di situlah seorang lelaki muda pernah menikmati makan siangnya dan kelak ‘menjadi Tuhan’ bagi dunia besar yang dinamakan Facebook. Lorong-lorong di antara gedung ini tentu saja tak ubahnya sudut peradaban lain kalau saja aku tidak tahu bahwa di sinilah pernah bejalan dengan penuh keringat, seorang presiden kuliat hitam pertama Amerika Serikat. Keistimewaan itu tidak hadir lewat bentuk bentuk fisik tetapi dari kisah panjang peran alumni yang hidupnya menyentuh dan turut menopang tiang-tiang peradaban.
Tiba tiba aku ingin terpejam, merafalkan mantera-mantera dan berharap aku ada di tanah air, menikmati gudeg di depan Balirung Universitas Gadjah Mada. Lalu tersenyum kepada Sekjen PBB masa depan yang sedang praktikum di bawah pohon bodi. Aku ingin berkelakar dengan calon CEO perusahaan pesawat terbang Indonesia yang produknya dielu elukan di Britania Raya. Aku ingin menyapa seorang perekayasa pesawat tempur yang kehadirannya membuat lulusan Harvard bergetar hatinya. Aku ingin menyalami seorang anak muda yang kelak akan memperkenalkan mesin yang membuat perjalanan waktu menjadi perihal biasa. Terutama, aku ingin memeluk seorang anak muda yang membuat orang sepertiku, tidak lagi perlu menulis sepotong kisah pisau plastik berlumuran saos yang tergelak di sebuah piring di kantin Universitas Harvard.
29 Mei 2015, Suatu sore di Cafe Au Bon Pain, Universitas Harvard
Terima kasih bli, tulisannya sangat menyentuh 😀
Sama2 Mas Bahrul 🙂
Bapak Andi, bapak selalu memberi inspirasi untuk saya.
Banyak tulisan bapak yg sudah membantu sy untuk percaya diri dan open my mind.. 🙂
terutama ttg tips presentasi yg bapak share di web bapak ini..
berkat tips tersebut sy merasa presentasi formal pertama yg saya laksanakan cukup berhasil.
Terima kasih bapak 🙂
Oh Ya? Syukurlah 🙂 thanks …
Bagus pak Andi, saya suka dengan tulisannya. Sukses ya pak.
Terima kasih Daniel 🙂
Simple but meaningful Pak…
I like it…
Saya sangat terinspirasi dengan cerita2 Bapak, kemarin saya baca cerita #AndiGagal di twitter Bapak, ternyata kegagalan2 saya selama ini belum ada apa2nya dengan yang bapak alami, saya jadi malu selama ini belum apa2 sudah merasa ‘jatuh’.
Pak Andi, saya sedang berusaha meningkatkan kemampuan bhs Inggris saya, karena saya merasa kok sudah mentok, mungkin bapak bisa sharing tips2 untuk meningkatkan kemampuan bhs Inggris karena saya masih ingin lebih baik lagi 🙂 Terimakasih Bapak
Salam
Terima kasih atas sanjungannya Rio. Ada bebrapa tips saya belajar Bhs Inggris di blog 🙂 Good luck ya.
Tiba2 merinding di potongan kalimat terakhir .
🙂