Gedung Pusat UGM, 9 Desember 2014

Beberapa senior dan pejabat UGM nampak berbaris rapi di sisi kiri dan kanan pintu masuk ruang Rektor. Saya terselip di antara kerumunan itu, beruntung mendapat kesempatan menyambut tamu kehormatan. Bapak Presiden Joko Widodo berkenan berkunjung ke UGM dan memberi kuliah umum. Kunjungan itu dalam rangka Festival Antikorupsi yang diselenggarakan oleh KPK dengan menggandeng UGM.
Wajah-wajah di ruangan itu nampak sedikit tegang sampai akhirnya dua personil Paspampres masuk ruangan dan meminta kami untuk membentuk barisan di satu sisi saja. Masuk akal, Presiden Jokowi tentu akan kerepotan menyalami ‘pagar betis’ itu jika kami berdiri di dua sisi. Akan repot jika Pak Presiden harus membolak-balikkan badanya. Hal kecil seperti inipun rupanya sudah diantispasi. Maka bergegaslan sekelompok orang di ruangan itu membentuk satu baris ‘pagar betis’. Suasana menjadi sedikit cair karena orang-orang mulai tertawa berkelakar, menertawakan diri sendiri.
Nampak di barisan itu ada beberapa Profesor, dan banyak lagi orang-orang lain yang namanya hanya saya lihat di website UGM atau di koran. Siang itu, ruang rektor bertabur bintang UGM. Tak ketinggalan, beberapa dekan terutama Fakultas Kehutanan. Konon di antara mereka ada dosen wali Pak Jokowi ketika menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM ti tahun 1980an silam.
Beberapa menit kemudian muncullah rombongan presiden. Hadirin terdiam dan menjadi sedikit lebih tegang. Beberapa wajah yang sudan akrab saya simak di TV mulai masuk dan menyalami kami, anggota ‘pagar betis’. Tanpa basa-basi, mereka langsung menuju ruang tamu rektor yang tadinya sudah disterilkan oleh Paspampres. Di antara rombongan itu nampak Mas Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dari semuanya, beliau yang nampak paling santai. Wajahnya ramah dan hangat menebar senyum yang bersahabat. Khas seorang Anies Baswedan yang selalu hadir dengan sentuhan personal. “Wah urusan internasional UGM dipegang orang yang tepat nih” katanya saat menyalami saya. Saya terkejut mendengar pilihan topik itu. Mungkin Mas Anies masih ingat percakapan kami di pesawat beberapa saat lalu. Saya hanya tersenyum sambil mengatakan “makasih mas, mohon doanya”.
Pak Jokowi berjalan mendekat dan saya segera menyambut dengan menyalaminya. Wajah beliau nampak sedikit lelah dan banyak pikiran. Pak Jokowi agak berbeda dengan yang saya saksikan di TV saat blusukan di tempat-tempat kumuh. Tentu saja di ruang Rektor UGM beliau tidak berlu banyak basa-basi mendengarkan keluh kesah warga. Salaman itu bagian dari formalitas sopan santun dan protokoler. Di belakang beliau lewat Ibu Rektor Dwikorita dan menyalami saya sambil berbisik “siapkan pertanyaan yang baik”. Rupanya beliau meminta saya berpartisipasi dalam diskusi dengan presiden jika nanti ada kesempatan.
Dalam sekejap, pintu ruang tamu rektor sudah ditutup dan paspampres dengan sigap mengamankan ruangan dan sekitar. Di saat seperti itulah terjadi kegaduhan kecil karena kami menginginkan agar dosen wali Pak Jokowi ikut masuk ke ruang tamu rektor. Di situlah sisi humanis Paspampres terlihat. Sang Profesor diizinkan masuk untuk menemui mantan muridnya. Nampak wajah-wajah di sekitar situ menjadi lega dan senang karena harapan mereka terkabul. Entahlah apa yang terjadi di dalam karena saya tidak ikut masuk. Tidak ada lagi yang boleh masuk setelah itu. Pintu ditutup dan Paspampres menjaga dengan sangat ketat.
Puluhan orang yang tidak masuk ke ruang tamu rektor segera bergerak ke ruang makan di sebelah. Kami menikmati hidangan yang sudah disediakan. Di situ juga nampak para wakil rektor, pejabat lain dan wartawan. Pejabat daerah seperti bupati Kulon Progo juga duduk semeja dengan saya dan bercerita banyak hal tentang perkembangan pembangunan di Kulon Progo. Di saat demikian, muncul sesosok wajah di antara kami dan disambut oleh semua orang yang ada di ruangan. Bapak Menteri Sekretaris Negara, Prof. Pratikno, yang tidak lain adalah mantan Rektor UGM, memilih untuk keluar dari ruang tamu rektor dan bergabung bersama kami di ruang makan sebelah. “Wah ada yang lebih seru di sini” kelakar beliau dan disambut riuh tawa hadirin. Pak Pratikno tentu saja merasa kembali ke rumah sendiri. Ruang itu adalah ruangan yang akrab dengan beliau dan bahkan beliau berkelakar “aku ikut merancang ruang ini tapi gak sempat menikmatinya je”. Ruang Rektor memang baru saja direnovasi. Maka suasana di ruang makan itu menjadi sedemikian seru, ada Pak Mensesneg makan bersama kami.
***
Sore itu, ruangan Balai Senat UGM penuh. Ratusan orang siap menyimak Kuliah Umum Presiden Jokowi. Saya yang masuk agak terlambat hampir tidak mendapat tempat duduk. Seorang staf protocol menghampiri saya “maaf Pak Andi, tempat duduk di depan sudah penuh. Agak di belakang tidak apa-apa ya Pak” katanya sambil melayangkan pandangan mencari kursi yang masih kosong. Tidak mudah mencari kursi kosong karena rupanya peminat Kuliah Umum Pak Jokowi memang sangat banyak. Saya menelusuri lorong di antara deretan kursi dan melihat sebuah kursi kosong di dekat seseorang yang wajahnya begitu Akrab. Pak Erwan, Dekan Fisipol, tersenyum memberi kode. Beliau melambaikan tangan tanda bahwa kursi itu memang kosong dan saya diperkenankan duduk di situ. Terima kasih Pak Dekan, you saved my live.
Menunggu sang presiden datang, saya bercakap-cakap dengan Pak Dekan dan ada banyak pelajaran yang saya simak dalam waktu singkat itu. Entah bagaimana awal mulanya, kami terlibat percakapan yang sangat seru dan sedikit dalam. Pak Dekan dengan cerdas berkisah tentang kesempatan, tentang perbedaan kelas, tentang membela kaum yang terpinggirkan dan tentang harapan. Tak luput beliau bercerita tentang kehidupan inspiratif orang-orang seperti Jokowi dan Pratikno karena mereka berasal dari kelas bawah lalu meraih bintang karena kerja keras dan kesempatan pendidikan. Ada semacam kekhawatiran kalau cerita seperti kisah Jokowi dan Pratikno tidak akan bisa terulang lagi jika pendidikan tidak berpihak kepada kaum yang terpinggirkan. Percakapan kami mamang acak tetapi saya menangkap banyak pelajaran darinya.
Lagu Indonesia Raya berkumandang memulai Kuliah umum itu, dilantungkan dengan Panduan Suara Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Pak Suryo Baskoro yang menjdi MC sempat berkelakar bahwa hari itu Paduan Suara Mahasiswa UGM menyanyikan lagu Indonesia Raya sebanyak tiga kali dan ketiganya di depan Presiden Jokowi. Hari itu Presiden Jokowi memang menghadiri tiga acara berbeda di Jogja dan secara kebetulan Lagu Indonesia Raya selalu dipandu oleh Paduan Suara Mahasiswa UGM. Hadirin tergelak dan tepuk tangan mendengar kelakar cerdas itu.
Hymne Gadjah Mada menyusul lagu Indonesia Raya, menghadirkan nilai-nilai Gadjah Mada di ruangan yang sakral itu. Mungkin Pak Jokowi masih hafal dengan lirik Hymne Gadjah Mada sebagai seorang alumni UGM. Ruangan menjadi penuh semangat dengan lantunan Hymne Gadjah Mada. Cerita saya dengan Pak Dekan Fisipol tentang pembelaan terhadap kelas dan kesempatan pendidikan bagi kaum terpinggirkan seperti mendapat ‘soundtrack’ yang tepat dengan berkumandangnya lagu Hymne Gadjah Mada itu.
Ibu Rektor, Profesor Dwikorita Karnawati, membuka Kuliah umum dengan pidato yang inspiratif. Beliau menggarisbawahi dukungan UGM terhadap pemerintah dan menceritakan beberapa hal yang sudah UGM lakukan dalam rangka memberikan dukungan itu. Selanjutnya Ibu Rektor mempersilakan Bapak Presiden Jokowi untuk memberikan Kuliah umum yang sudah ditunggu-tunggu semua orang.
Dengan baju kemeja putih lengan panjang dilinting khas Jokowi, Bapak Presiden melangkah ke panggung. Saya tegang menunggu apa yang akan dikatakan oleh Presiden RI di ruang sakral itu. Sosok presiden ini penuh kejutan, media tak henti memberitakannya dan sangat banyak hal kontroversial yang terjadi. Ada rasa penasaran menyimak pidatonya secara langsung dan nampaknya semua orang merasakan hal serupa. Pak Jokowi sudah berdiri di depan microphone dan siap beraksi.
Ada rasa kecewa mendengar ucapan Pak Jokowi di awal pidatonya. Sebagai orang yang diliputi semangat primordial konvensional, saya berharap Jokowi akan mulai dengan kelakar atau basa-basi betapa senangnya dia kembali ke UGM. Saya membayangkan beliau akan menyapa beberap orang yang dikenalnya lalu memberikan cerita kecil nostalgia tentang masa-masa mudanya di kampus biru ini. Saya membayangkan suasana akan cair dan kami semua akan dimanja dengan nostalgia, dibuat sumringah dengan mengatakan bahwa UGM adalah rumahnya dan UGM yang telah menjadikannya seperti sekarang ini. Saya kecewa karena Jokowi sama sekali tidak mengungkapkan apa yang ingin saya dengar tentang UGM dan tentang nostalgia dari seorang alumni UGM.
Saya biarkan kekecewaan itu berlalu dan merelakan diri menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan Pak Jokowi. Gaya bicaranya memang blak-blakan, jauh dari formal dan seperti tanpa aturan protokoler. Beliau katakan apa saja yang ingin dikatakannya. Kesannya demikian yang saya tangkap. Ceplas-ceplos dan tanpa kata “ulangi” seperti yang sering dikemukakan oleh Pak SBY kalau melakukan kesalahan dalam berbicara. Tidak ada kata “ulangi” dalam pidato Jokowi. Semuanya mengalir begitu saja, tanpa naskah, tanpa skenario. setidaknya demikian yang terlihat.
Narkoba adalah persoalan bangsa yang begitu parah. Itu hal pertama yang dikemukakan beliau. Sejujurnya saya tidak menduga Jokowi akan membuka pidatonya dengan topik narkoba. Rasanya saya ingin mendengar soal laut, soal nelayan, soal kapal pencuri ikan yang ditenggelamkan. Tidak pernah terbayang, Pak Presiden akan membawa topik lama “narkoba” ke hadapan kami. Semua orang tercenung, seperti terkejut dengan pilihan topiknya. Pak Jokowi dengan fasih menggambarkan betapa parahnya urusan narkoba di tanah air. “Yang terakhir, ada kasus yang melibatkan professor di Sulawesi” katanya dan disambut tepuk tangan hadiri, terutama ketika beliau mengatakan “jangan sampai kasus itu menimpa salah satu dari hadirin di sini.” Narkoba memang pelik dan dia bisa menyerang siapa saja tanpa ampun.
Topik yang saya tunggu-tunggu akhirnya muncul juga, Pak Jokowi berbicara soal kedaulatan negara. Perihal kelautan yang belakangan menjadi sorotan media tak luput dari isi pidatonya. Penenggelaman kapal pencuri ikan adalah yang menyita perhatian hadirin paling besar. Berkali-kali tepuk tangan bergemuruh ketika Sang Presiden mengungkapkan ketegasan sikapnya terhadap pencuri ikan. Bukan saja soal pencurian ikan, ini adalah soal kedaulatan dan kehormatan negara. Hari itu, Pak Jokowi menegaskan sikapnya yang tidak kompromi kepada pencuri ikan. “Aturan sudah ada, semua sudah jelas, kita tunggu apa lagi” demikian katanya bersemangat, ketika berbicara soal penenggelaman kapal pencuri ikan. Yang membuat saya senang, beliau menegaskan bahwa penenggelaman kapal itu tentu saja harus mengikuti prosesdur dan tahapan yang benar. Kita memang tidak bisa serta merta menenggelamkan kapal asing sebelum jelas duduk perkaranya. “Nelayannya tentu harus kita ambil dulu, jangan ditenggelamkan bersama nelayangnya. Bisa rame nanti” kata Pak Presiden yang disambut tepuk tangan hadirin. Dalam pidato itu, Jokowi menunjukkan nyalinya, mengatakan apa yang ingin didengar sebagian besar rakyat, meskipun dalam implementasi tentu perlu mendapat pertimbangan yang lebih matang lagi.
Jokowi tentu saja menyinggung kenaikan harga BBM. Tanpa tedeng aling-aling beliau menjelaskan betapa keuangan negara kita telah terbebani oleh sumbsidi BBM dan itu tidak bisa kita biarkan berjalan terus. Harus ada tindak penyelematan, tegasnnya. “Jadi yang benar adalah pengalihan subsidi BBM, bukan kenaikan harga BBM. Kalau ada yang protes soal kenaikan BBP, ya keliru” katanya dan disambut gelak tawa hadirin yang berpadu dengan riuh tepuk tangan. Presiden ini memang blak-blakan, tanpa basa-basi dan tanpa tedeng aling-aling. Dalam pidatonya Jokowi dengan lugas mengatakan besaran subsidi yang salama ini menguap tidak menjadi apa-apa dan hangus terbakar. “Bayangkan kalau uang sebesar itu bisa kita alihkan untuk membangun infrasturktur” katanya mantap. Intinya, saya memahami bahwa harga BBM yang kita nikmati selama ini sebenarnya di bawah harga yang seharusnya. Pemerintah telah berbaik hati membayari selisih harga itu dengan memberi subsidi. Masalahnya, kebaikan hati dalam bentuk subsidi itu dilakukan dengan menggerogoti APBN sehingga APBN kita nyaris habis dan menjadi tidak sehat. Kini saatnya pemerintah tidak lagi membayar selisih itu dan semua orang harus membayar BBM sesuai harga yang seharusnya. Artinya, subsidi atau bantuan yang tadinya diberikan pemerintah dan membuat harga BBM relatif murah, kini tidak ada lagi.
Subsidi yang tadinya untuk membayar BBM kini akan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan rel kereta. Selain itu, petani lebih layak disubsidi sehingga harapannya uang itu bisa digunakan untuk membeli benih dan merawat padi. Dengan demikian, petani lah yang menikmati subsidi sehingga hidupnya bisa lebih baik meskipun menjual hasil pertanian dengan harga yang terjangkau. “Jika dalam waktu tiga tahun belum bisa swasembada pangan, saya ganti menterinya”, ujar Jokowi yang mengundang gelak tawa hadirin.
Saat bercerita tentang APEC, Jokowi mengungkap satu fakta menarik. “Saya memang pesan jauh-jauh hari sebelum APEC, bahwa saya mau datang dan harus ditempatkan ‘jejer’ dengan Obama, Putin dan Xi Jinping. Ketiganya adalah pemimpin besar dunia dan Pak Jokowi ingin duduk dan berdiri sejajar dengan mereka. “Ini bukan soal Jokowi, tetapi soal Indonesia. Kita bangsa besar, dan harus mendapat perlakukan terhormat sebagai bangsa besar. Saya nggak mau kalau hanya datang lalu duduk di pojok dan tidak berperan apa-apa” katanya disambut tepuk tangan hadirin. “Kita bangsa besar, kita harus turut menentukan. Tidak hanya jadi penonton” demikian beliau menegaskan. Saya lihat, rupanya Pak Jokowi tahu betul apa yang ingin didengar oleh sebagian besar orang Indonesia. Indonesia, disadari atau tidak, masih memerlukan symbol dan ekspresi verbal untuk menunjukkan posisi terhormat. Rakyat masih ingin mendengar pemimpinnya mengatakan bahwa “Indonesia tidak takut kepada bangsa lain”. Bahwa Indonesia tidak mau didikte oleh bangsa manapun. Sebagian besar dari kita masih ingin mendengar kalimat itu diucapkan oleh pemimpin negara dan itulah yang dilakukan oleh Jokowi.
Jokowi hadir dengan pidato tanpa teks. Santai dan sponstan. Beliau juga menayangkan beberapa slide yang mendukung ucapannya. Slide itu sepertinya cuplikan dari slide pidatonya saat di APEC dan memang sangat bagus. Paduan apik antara teks yang sederhana, grafik yang kaya dan penyampaian verbal yang lugas dan apa adanya. Tanpa terasa, pidato itupun berakhir meninggalkan pecerahan yang dikemas dalam kesederhanaan bahasa dan ekspresi. Kuliah Perdana Presiden RI, Jokowi, di Universitas Gadjah Mada usai sudah.
Segera setelah Kuliah umum itu, Pak Jokowi diberi beberapa cindera mata. Di antara cindera mata itu ada batik, ada buku putih pemikiran UGM tentang berbagai tema dan yang paling menarik adalah sebuah kartu anggota Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) untuk Sang Presiden. Hadiah terakhir ini yang paling berkesan dan semua orang bertepuk tangan. Kartu istimewa berwarna oranye itu menegaskan sesuatu. Lelaki bershaja yang baru saja berpidato dengan bahasa yang lugas dan berani itu adalah didikan kampus Bulaksumur. Pak Jokowi mungkin tidak memuaskan saya dengan ujar-ujar nostalgia tentang UGM di awal pidatonya, tetapi pada akhirnya tak ada yang bisa menyangkal bahwa laki-laki bersahaja itu adalah alumni kampus kerakyatan ini. Sebagai alumni, Pak Jokowi telah dengan sukses melompat lebih tinggi dari kungkungan almamater. Dia bahkan tidak merasa perlu berbasabasi menyampaikan nostalgianya sebagai alumni UGM. Sebagai presiden, Jokowi telah melambung tinggi, berada di atas sekat-sekat etnis, golongan dan tentu saja alamamater.
Maka saya urung kecewa. Kami memang tidak perlu mendengar seorang Presiden Indonesia bercerita tentang nostalgia yang membuatnya berada di lahan sempit. Kami tidak perlu mendengar dari bibirnya betapa Bulaksumur telah menempanya menjadi seperti sekarang ini. Pikir, kata dan lakunya yang akan menjadi pertanda bahwa Jokowi memang layak mengantongi sebuah kartu oranye bertuliskan Kagama. Mengutip kata-kata Bapak Mensesneg di suatu malam sebelumnya, ini bukan soal alumni mana yang menjadi apa, tetapi soal nilai-nilai Gadjah Mada yang memang seharusnya memberi warna indah pada bangsa ini.
PS. Tulisan ini adalah pandangan subyektif pribadi. Kesalahan rincian informasi adalah tanggung jawab saya selaku penulis. Pembaca tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh tulisan ini tanpa izin dari penulis: I Made Andi Arsana.
Saya menyimak yang Pak Made tulis. Saya tertarik atau agak tergelitik sedikit soal BBM.
Saya termasuk orang yang berpikir, sudah seharusnya juga BBM naik. Hanya saja, bagi saya, sungguh sangat lucu karena tahun kemaren PDIP sangat mati2an menentang rencana pemerintah menaikkan BBM, padahal saat itu harga dunia tinggi. Atas nama rakyat mereka demo menolak kenaikan BBM dan walk out dari sidang.
Kenapa pemahaman tentang alasan kenaikan BBM seperti yang dijelaskan Jokowi di atas tidak ada pada orang PDIP tahun kemarin, saat menentang kebijakan SBY?
Sekarang Jokowi melakukan apa yang dulu ditentang partainya.
Dan satu lagi yang menggelitik bagi saya adalah, soal penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Berita tentang penenggelaman kapal asing begitu heboh. Tetapi saya termasuk orang yang bertanya2, yang ditenggelamkan itu kampal atau perahu nelayan?
Dalam politik, adakah yang mengejutkan? Adakah inkonsistensi oleh partai politik yg harus membuat kita heran? Saya tidak heran 🙂
Benar sih Pak… Tapi saya kan berpikir sebagai rakya biasa saja Pak… Yang bukan terlibat di dalam politik. Dan sebagai rakyat yang capek liat dagelan politik yang bersilewean tiap saat…
Saya juga sama 🙂 tapi untuk terheran2 karena ulah partai politik, saya memilih tidak …
Menyimak tulisan Mas Andi, ternyata Presiden Jokowi tak hanya seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, namun juga seorang orator atau presenter yang memukau dan membuat audiensnya enggan beranjak dari tempat duduknya. 🙂
sayang kmaren saya tidak sempatt ikut sesi utama ini, karena tahu diri bakal susah untuk mengikutinya, untunglah ada tulisan yg keren ini. makasih mas 🙂