Parkir

Seorang lelaki datang mendekat, raut wajahnya tidak begitu bahagia. “Mobilnya pindah seberang aja Mas” katanya tanpa basa basi. Saya yang sedang duduk menunggu giliran potong rambut agak kaget. Saya melihatnya dengan agak ragu tapi tetap bergerak untuk melakukan apa yang dimintanya. Mobil saya memang diparkir di depan toko lelaki itu dan rupanya menghalangi pengunjung yang hendak datang. Tanpa pikir panjang saya pun memindahkan mobil saya ke seberang jalan. Sejurus kemudian kembali duduk menunggu giliran potong rambut. Tidak terjadi apa apa.

Jika Anda membaca tulisan ini dan mencoba mencari cari kisah dramatis dari kejadian ini atau berharap menuai inspirasi, mungkin Anda gagal. Hidup tidak selalu dramatis. Kejadian yang kita alami sehari hari memang lebih banyak yang biasa dibandingkan yang luar biasa. Membaca blog sesorang atau melihat posting foto di Facebook kadang membuat kita tertipu seakan akan ada orang yang hidupnya selalu dramatis dan hebat.

Advertisement

Birahi

http://desamenyali.blogspot.com.

Made Kondang diam saja ketika Klian Banjar memberi perintah. Ada pertanyaan dalam hatinya tetapi tidak diungkapkannya karena alasan etika. Tidak elok mempertanyakan, apalagi membantah perintah Klian Banjar.

“Pastikan semua petani yang membajak sawah, mulai hari ini, tidak menggunakan sapi betina.” Klian Banjar mengulangi sekali lagi perintah yang sebenarnya sudah cukup jelas bagi Kondang.
“Ya, Pak Klian” jawab Kondang lirih.
“Saya tidak mau lagi melihat ada yang menggunakan sapi betina seperti yang sudah-sudah. Sangat tidak elok!” sambung Pak Klian seperti gusar.

Continue reading “Birahi”

15 November di Mandara Giri

Kadang kita lupa, kita pernah jatuh cinta seperti dua remaja tanggung yang hari ini sering kita tertawakan tingkah polahnya. Kadang kita lupa, kita pernah bertingkah begitu rupa yang hari ini kita tuduh memalukan. Begitulah waktu, dialah yang paling kejam memporandakan ingatan kita, bahkan tentang cinta. Mari kita tolak. Kita tolak keangkuhannya yang membuat kita lupa. Mari sejenak membuka catatan kita di masa muda.

Continue reading “15 November di Mandara Giri”

Prosa Sembilan tahun

Family in the 21st century

Kucoba menulis puisi saat terjaga dari kelelahan. Semalam, aku serahkan diri pada kuasa kegelapan. Aku ingin seperti dulu saat muda, ketika lirikan mata, senyum dan amarahmu bermuara pada sastra. Di masa muda, aku adalah pujangga karenamu. Kujelmakan tetas air, pagi yang jinak, udara yang panas dan matahari yang menikam menjadi puisi. Mantra-mantra menjadi kidung cinta. Perjalanan di ladang tandus menjadi serangkai kata-kata yang membuat para pejalan kaki tergiur iri. Tidak ada yang lebih hebat dari cinta saat aku mencari alasan untuk berkarya.

Continue reading “Prosa Sembilan tahun”

Buku untuk Elin

Reading while baby sitting - Elin

Saya mendapat kiriman sebuah foto dari Asti, istri saya, lewat email. Di foto itu nampak seorang anak perempuan membaca komik dengan tekun. Di sampingnya duduk dua bayi yang nampaknya anteng untuk ukuran bayi seusia mereka. Saya tahu, anak perempuan ini Bernama Elin, dia tetangga kami di kampung di Bali. Dari foto itu saya merasakan kesenangannya membaca, seperti menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin lama dirindukan tetapi tidak diketahuinya. Saya amati foto itu lekat-lekat, sebuah kombinasi yang ganjil dan mengharukan. Seorang anak kecil dengan pakaian sederhana, duduk takzim membaca buku sambil memastikan dua orang adik bayinya baik-baik saja.

Continue reading “Buku untuk Elin”

Euthanasia

Ngaben

Saya memacu mobil sekencang mungkin. Akhir pekan ini jalanan tidak ramai tetapi batas maksimal kecepatan tetap berlaku. Meskipun tidak ada polisi, rambu lalu lintas di tepi jalan yang dengan tegas memamerkan angka 60 berlaku sama dengan kehadiran seorang polisi. Tidak seorang pun berani melanggarnya. Saya pastikan kecepatan mobil saya hampir 60 kilometer per jam, kecepatan maksimal yang diperbolehkan di Crown Street. Sesekali saya melirik tubuhnya yang lemas di sebelah kiri saya. matanya terpejam, tutuhnya bergerak lemah dan nafasnya turun naik sangat halus. Mulutnya sesekali ternganga, nampak jelas dia sedang sekarat.

Continue reading “Euthanasia”

Dari KML ke Ceper – Pergulatan Akademisi Bali

Juni 2011 lalu saya berlibur di Bali di sela menghadiri sebuah konferensi dan kuliah umum. Desa Tegaljadi, tempat kelahiran saya, terletak di bagian yang cukup terpencil di Kabupaten Tabanan. Meski terpencil, tempat itu selalu berkesan dan membuat saya selalu ingin pulang lagi dan lagi. Saya menikmati mandi di pancuran yang kata kakek saya memang tidak pernah surut airnya sejak beliau ingat. Saat selesai membasuh badan, kadang tangan saya reflek mencari-cari keran untuk menghentikan aliran air. Kerabat saya yang tahu ini pasti tergelak.

Continue reading “Dari KML ke Ceper – Pergulatan Akademisi Bali”

Did he have passion?

Di ulang tahun saya yang ke-30, saya membuat sebuah obituari, tulisan ucapan selamat jalan bagi orang yang meninggal. Itu sekedar ide iseng saja, mungkin karena saya suka film drama berjudul Serendipity yang dibintangi John Cusack bersetting di New York itu. Jonathan Trager (Cusack), diingatkan oleh sahabatnya tetang sebuat filosofi hidup dengan menuliskan sebuah obituari untuknya. Tentu saja aneh, karena obituari biasanya ditulis untuk orang yang sudah meninggal. Meskipun itu bukan obituari yang sebenarnya dan Jonathan memang masih hidup, tulisan itu menginspirasinya dan menyadarkannya tentang sesuatu yang akhirnya mempertemukannya dengan apa yang dicarinya sekian lama.

Continue reading “Did he have passion?”

Kartini Sekartaji

Kartini telah lama tiada ketika perempuan usia hampir tigapuluh tahun itu bergegas di suatu sore, menyusuri Tukad Sekartaji di pedalaman Tabanan. Kartini pastilah tidak tahu, kaumnya sedang berkejaran dengan gelap dan tak ingin terjebak dalam perjalanan panjang tanpa cahaya. Digendongnya seorang bocah belia yang belum paham akan keberadaan dan bahkan belum cakap membedakan tangan kiri dan kanan. Disusurinya senja yang temaram itu, berpacu dengan laju air di Tukad Sekartaji yang berlalu tak peduli.

Era delapanpuluhan masih belia dalam usia, perempuan itu hidup berjauhan dengan kemewahan dan bahkan tidak akrab dengan kecukupan. Desa Piling di Penebel dan Tegaljadi di Marga kerap ditempuhnya dengan lebih banyak berjalan kaki. Senja itu tiada istimewa karena perjalanan itu tidak terlalu jauh urusannya dari menggali atau membayar hutang atau menuai belas kasihan yang ditukar dengan sarapan pagi keluarga.
Continue reading “Kartini Sekartaji”

%d bloggers like this: