
Saya memacu mobil sekencang mungkin. Akhir pekan ini jalanan tidak ramai tetapi batas maksimal kecepatan tetap berlaku. Meskipun tidak ada polisi, rambu lalu lintas di tepi jalan yang dengan tegas memamerkan angka 60 berlaku sama dengan kehadiran seorang polisi. Tidak seorang pun berani melanggarnya. Saya pastikan kecepatan mobil saya hampir 60 kilometer per jam, kecepatan maksimal yang diperbolehkan di Crown Street. Sesekali saya melirik tubuhnya yang lemas di sebelah kiri saya. matanya terpejam, tutuhnya bergerak lemah dan nafasnya turun naik sangat halus. Mulutnya sesekali ternganga, nampak jelas dia sedang sekarat.
Melihat penderitaannya saya semakin panik. Kami hanya berdua di mobil dan tidak ada yang membantu saya. saya tidak sabar segera sampai ke rumah sakit dan membawa tubuhnya ke hadapan dokter untuk ditangani. Saya sangat khawatir dia tidak akan mampu bertahan. Matanya yang tadi masih bergerak-gerak, kini tertutup sempurna. Mulutnya membuka dan menutup lebih sering dan tubuhnya seperti mengejang. Saya terbawa perasaan dan menjadi sulit mengendalikan diri. Saya injak pedal gas semakin kencang dan mulai tidak peduli kalau melanggar kecepatan. Pikiran saya terpusat pada rumah sakit yang ingin saya tuju. Saya harus berjuang sekuat tenaga untuk mengantarkan jiwa malang ini kepada seorang dokter sehingga saya bisa menyelamatkannya.
Masih terbayang saat saya menemukan tubuhnya tergeletak di sebelah unit saya tanpa sanak saudara yang menemani. Tubuhnya lemah, matanya sayu dan nafasnya naik turun sangat perlahan. Dia bahkan tidak bisa merespon saat saya membopong tubuhnya ke dalam unit rumah saya. Dia pasrah. Kini saya berjuang untuk menyelamatkan nyawanya setelah membuat janji dengan dokter di rumah sakit di Crown Street. Entah mengapa perjalanan ini terasa sangat lambat dan saya tidak kunjung sampai ke tempat tujuan. Di lampu sebuah merah, saya mejadi tidak sabar. Kini saya bisa menyaksikan dengan lebih leluasa tubuh itu mengejang, matanya semakin rapat tertutup dan dia bergerak-gerak seakan ingin membebaskan diri dari sebuah himpitan.
Lepas dari lampu merah, saya pacu mobil secepatnya dan akhirnya berbelok ke arah kiri di sebelah rumah sakit itu. Tanpa berpikir panjang sayapun turun dari mobil dan segera membuka pintu sebelah kiri. Saya bopong tubuhnya dan bergerak secepat mungkin. Saya khawatir kami sudah tidak punya banyak waktu. Saya tidak mengunci pintu mobil dan segera bergerak secepat mungkin menuju loket registrasi pasien. Melihat saya membopong tubuh itu, beberapa orang yang sudah ada di rumah sakit tersita perhatiannya. Setiap orang melihat saya dengan wajah cemas dan prihatin. Dari raut muka mereka saya bisa mengetahui simpati dan empati mereka.
Di belakang meja registrasi nampak seseorang yang sepertinya sudah siap. Saya memang sudah menelpon rumah sakit sebelum membawa pasien ini datang kepada mereka. Sayapun menyodorkan tubuh yang sudah lunglai itu. Sepertinya orang itu adalah seorang dokter. Dia menerima tubuh itu dan wajahnya menjadi sedih dan gelisah. Saya bisa membayangkan kesedihan yang dirasakannya melihat tubuh yang mengejang itu. Saya menunggu reaksinya dan berharap akan mendengar kabar baik.
Dia memeriksa tubuh itu dengan seksama dan setelah beberapa saat dia menghentikan apa yang dilakukannya. Ditatapnya mata saya dan berkata dengan penuh perasaan “terima kasih telah membawanya ke sini. Kami sangat menghargai usaha Anda. Sayang sekali, dia tidak akan bisa bertahan. Kami harus segera melakukan prosedur euthanasia. Dia tidak mungkin melanjutkan hidupnya sehingga ini adalah jalan yang terbaik.” Meski sudah menduga bahwa jiwa malang ini pasti sulit bertahan, mendengar kata euthanasia (penghentian hidup karena alasan medis) diungkapkan, saya tetap terperanjat. Rupanya dokter ini mengerti apa yang saya rasakan dan diapun menatap saya berusaha tersenyum menenangkan saya. “I know it’s very sad, but this is the best thing that we should do.”
Diraihnya tubuh itu oleh sang dokter dan sebentar kemudian keduanya menghilang di balik tirai. Dalam hitungan menit sang dokter akan melakukan euthanasia terhadap jiwa malang yang saya coba selamatkan. Saya telah gagal dan kegagalan itu mengadirkan perasaan tidak menentu. Sayapun melangkah gontai keluar dari rumah sakit menuju mobil yang tidak diparkir di tempat seharusnya. Kedua pintu depanpun masih terbuka. Saya belum bisa menerima apa yang terjadi, saya telah gagal menyelamatkan sebentuk jiwa yang sekarat. Akhirnya saya masuk ke dalam mobil sambil melirik jok mobil sebelah kiri. Baru saja beberapa menit yang lalu ada tubuh yang tersengal-sengal di situ dan berusaha saya selamatkan. Apa daya, saya gagal menyelamatkan nyawanya dan hidupnya harus diakhir dengan cara euthanasia. Dengan gamang saya melaju pelan menuju rumah.
Hari yang sama, jam 10 pagi
Saya menelopon sebuah nomor sambil berusaha menenangkan tubuh yag gelisah di samping saya.
“So where did you find her?”
“It was in the backyard, close to my laundry room”
“How bad is it?”
“I am not sure, but I think it is pretty bad. I really want to save this poor soul. What can I do?”
“Ok, we have no team ready to do the job at the moment, also because it is a weekend. However we can refer you to a hospital nearby. Where do you live?”
“I am in West Wollongong. Please let me know the closest hospital so I can bring the poor soul with me now.”
“Yes, please bring her to the one in Crown Mall. I will make a call to the doctor and you will be fine.”
“I am sorry to ask but do I need to pay for the treatment? Honestly I do not have much if I have to bear the cost.”
“Oh, no! We are grateful for what you are doing and you do not need to bear the cost. Bring her in as soon as possible, please.”
Saya tatap tubuh lelah dan malang itu. Dia sudah kelihatan melemah meskipun masih bisa bertahan. Saya segera menyiapkan segala sesuatunya sebelum akan membawanya ke rumah sakit.
Hari yang sama, sekitar jam 9 pagi
Saya baru saja selesai mencuci baju dan hendak menjemur di halaman belakang. Saat menggotong cucian yang siap dijemur, pandangan saya terantuk pada satu maklhuk kecil berwarna coklat dan berparuh kuning yang sedang melamun diam. Meskipun banyak burung yang cukup jinak di belakang rumah saya, tidak biasanya ada burung yang sejinak ini. Dia diam tidak beranak terbang saat saya mendekatinya. Ternyata burung malang itu mengalami luka. Matanya dikerubungi semut dan dia tidak bisa terbang. Setelah menjemur pakaian, saya hampiri lagi burung kecil itu, yang ternyata adalah Noisy Miner. Tubuhnya lemah, matanya bisa berkedip sebelah. Saya bertekad untuk menolongnya.
Segera saya berselancar di Google dengan kata kunci bird rescue dan saya sampai pada website Wildlife Information and Rescue Services (WIReS). Tanpa pikir panjang saya segera menelpon nomor yang tertera di situ (02) 8977 3333. Seorang perempuan yang terdengar sudah cukup matang dalam usia menjelaskan apa yang harus saya lakukan.
saya mengira itu manusia (malang) mas, terlepas dari itu…ada sisi yang lain membuatnya menarik…karena sesama mahluk hidup…
menyejukkan tulisan mas andi…
salam
tulisan yang menyentuh pak Andi..
salam kenal,,
nama saya Bernadet pak, salah satu mhsiswa UNDIP.
sewaktu SMA, saya pernah debat tentang euthanasia,,
hal ini tak lepas kaitannya dengan faktor kepercayaan dan agama yang pasti melarang kegiatan itu karena manusia masih punya hak untuk hidup.
Tapi jikalau euthanasia itu diminta sendiri oleh yang sakit, akan menjadi dilema tersendiri. bagaimana tanggapan bapak. terimakasiihh pak Andi.
Pendapat pribadi saya: Hidup adalah hak dan kita mengakuinya. Karena bagi saya hidup dan mati adalah dua hal yang sama, maka mati adalah juga hak sehingga harus diberi dan diakui. Persoalannya muncul pada alasan untuk menuju kematian itu sendiri. Jika kematian itu diinginkan sendiri dengan motivasi keputusasaan dan karena kemalasan dalam menghadapi hidup yang sulit, saya kira ini bukan yang terbaik. Tetapi jika ini adalah sebuah keputusan sadar sesadar-sadarnya karena telah berjuang sampai titik terakhir dan melakukan segala yang mungkin dilakukan manusia, maka saya anggap permintaan seperti ini sah untuk dituruti. Intinya, permintaan untuk mengakhiri kehidupan sangat tergantung dari motivasinya. Secara akal sehat, segala keputusan atau permintaan yang disampaikan karena kemalasan, keengganan berjuang dan sejenisnya adalah sesuatu yang menurut saya tidak baik.