
Saya mendapat kiriman sebuah foto dari Asti, istri saya, lewat email. Di foto itu nampak seorang anak perempuan membaca komik dengan tekun. Di sampingnya duduk dua bayi yang nampaknya anteng untuk ukuran bayi seusia mereka. Saya tahu, anak perempuan ini Bernama Elin, dia tetangga kami di kampung di Bali. Dari foto itu saya merasakan kesenangannya membaca, seperti menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin lama dirindukan tetapi tidak diketahuinya. Saya amati foto itu lekat-lekat, sebuah kombinasi yang ganjil dan mengharukan. Seorang anak kecil dengan pakaian sederhana, duduk takzim membaca buku sambil memastikan dua orang adik bayinya baik-baik saja.
Elin adalah satu dari banyak sekali anak di Indonesia yang harus bekerja di usianya yang masih sangat belia. Saya jadi teringat ramainya Twitter dan Facebook karena celoteh para ibu yang ditinggal pembantunya dan stress karena harus mengurus rumah tangga dan terutama anak. Ibunya Elin yang anaknya enam bahkan tidak tahu bagaimana rasanya punya pembantu. Elin, yang sebenarnya bukan baby sitter itu, bahkan tidak merasakan bedanya mengurus dua atau tiga anak yang masih kecil. Elin tidak tahu artinya hak azasi seorang anak yang memiliki hak bermain dan menikmati dunia. Baginya, menikmati dunia adalah bermain di sekitar kampung dengan tidak pernah meninggalkan dua adiknya yang masih bayi. Tugasnya tidak sedikit: memandikan, menyuapi, mengajak mereka bermain, meninabobo’kan saat ngantuk, menghibur mereka di kala sedih dan mendiamkannya di saat menangis. Teman-teman saya yang berceloteh di Twitter dan Facebook, mungkin harus mendengar kisah Elin. Sayang, Elin tidak punya akun Twitter sehingga tidak bisa narsis di timeline.
Siapa yang harus menolong Elin? Atau perlukah Elin ditolong? Mungkin saya tidak boleh arogan dengan menuduh Elin tidak bahagia. Bisa jadi dia sangat amat bahagia menjalani hari-harinya, terutama karena dia tidak tahu hak azasi seorang anak, tidak juga tahu bedanya X-Box, PS3 dan Wii. Yang pasti, Elin dan ibunya yang sederhana tidak pernah ikut emosi gara-gara sekelompok orang pintar bersitegang dalam menentukan saat yang paling tepat untuk berhari raya. Tapi saya tetap yakin, ada hal lebih yang bisa dinikmati oleh Elin. Dan hal lain itu tentu saja bukan X-Box, PS3, atau Wii. Hal lebih itu adalah kesempatan memperolah pengetahuan melalui bacaan. Elin dan teman-temannya perlu membaca dan menyediakan buku adalah hal kecil yang bisa dilakukan.
Suatu saat saya diskusi dengan Asti tentang keinginan membuat perpustakaan di desa dan Asti langsung setuju. Ketika dibicarakan dengan Lita, dia semangat dan langsung mau berangkat membeli buku di Shopping, Jogja. Kebetulan beberapa hari kemudian Lita akan ke Bali untuk liburan sekolah. Inilah saat yang tepat. Bermodalkan sekitar 700 ribu rupiah, Asti dan Lita berhasil mengumpulkan sekitar 60 judul buku yang sebagian besar bekas. Dalam waktu beberapa hari, buku itu sudah tiba di kampung kami di Bali, tepatnya di Tempek Pagutan di Banjar Pengembungan, Desa Tegaljadi. Kampung saya berada di sebuah tempat agak terpencil di Kecamatan Marga di Tabanan. Kalau diminta menjelaskan, saya akan asosiasikan dia dengan Alas Kedaton, tempat wisata hutan yang banyak monyetnya, atau Taman Makam Pahlawan Margarana. Jika keduanya tidak mampu menjelaskan, saya akan sebut Tanah Lot, meskipun kenyataannya kampung saya jauh dari Tanah Lot, tetapi keduanya masih satu kabupaten. Kepada mereka yang melek geospasial, saya merasa lebih nyaman memberikan peta lokasi kampung saya.
Saya tidak punya ilmu tinggi urusan perpustakaan. Pendekatannya sederhana sekali. Saya membayangkan ada sejumlah buku dan anak-anak kampung bisa datang membaca. Jika mungkin, mereka boleh meminjam untuk dibawa pulang. Maka dari itu keanggotaan menjadi penting. Untuk mengelola perpustakaan ini, dua ponakan saya yang rajin siap membantu: Diah dan Wulan. Keduanya pintar, rapi, rajin belajar dan gemar membaca. Pekerjaan ini tepat untuk mereka. Ketika saya bicarakan ini lewat Yahoo Messenger, Diah menjawab “serahkan sama Diah, pasti beres Oom.” Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bekerja dengan anak-anak belia yang bersemangat seperti mereka.
Itulah awal mulanya mengapa foto Elin dan adiknya itu begitu mengesankan saya. Elin perlu dibantu. Namun jangan salah menilai, tidak semua dari mereka perlu dibantu karena tidak mampu membeli buku. Mereka hanya tidak tahu bahwa membaca itu perlu. Kadang-kadang orang tua mereka sama sekali tidak miskin. Mereka hanya tidak punya kosakata ‘membaca’ dalam kamus mereka. Peran itulah yang bisa dilakukan Lita, Diah dan Wulan. Perlu ada orang yang mengisi kekosongan itu dan semoga langkah kecil ini berarti. Saat saya ceritakan pengalaman sederhana ini lewat Twitter dan Facebook, ada yang menawarkan bantuan sumbangan buku. Ini tidak pernah saya duga sebelumnya bahwa kebaikan itu seperti bola salju yang membesar seiring gelindingannya. Saya senang sekali. Benar apa yang dikatakan Mas Anies Baswedan yang optimis dengan gerakan Indonesia Mengajarnya bahwa “Ibu kita [di Indonesia] masih melahirkan pahlawan”.
Saya tidak berani muluk-muluk dan memang tidak mau berlebihan. Yang pasti, melihat foto Elin dan adiknya ini saya merasa bahagia sekali. Ini yang saya maknai sebagai think big, start small, act now! Indonesia memang menyimpan banyak masalah tetapi kini saatnya berhenti mengeluh dan menghujat. Let’s stop cursing darkness and start lighting candles. Kegelapan itu tidak untuk dikutuk, tetapi untuk diterangi. Mari menyalakan lilin untuk Indonesia. Mari berbagi buku untuk Elin.
Kesan pertama saya, anak-anak haus bacaan. Kegiatan selama 4 hari disana saya sempatkan untuk mengeksplor minat dan kemampuan anak-anak. Ada sekitar 10 anak anggota perpustakaan mini “Sukma Sari”. Masing-masing meminjam 2 buku untuk dibaca dirumah. Walau demikian, hampir tiap sore anak-anak datang berkumpul di bale untuk membaca atau sekedar bermain puzzle. Ibu juga sempatkan mengadakan lomba memasang puzzle, lomba cerdas cermat, acara “membaca dan bertanya” sampai bermain drama. Mereka sangat menikmati…. Semoga kegiatan ini terus berjalan.
Berdayakan yang muda untuk mencerdaskan sesama, bukan begitu Bli :).
Siap, Cahya 🙂
Woow