Kartini telah lama tiada ketika perempuan usia hampir tigapuluh tahun itu bergegas di suatu sore, menyusuri Tukad Sekartaji di pedalaman Tabanan. Kartini pastilah tidak tahu, kaumnya sedang berkejaran dengan gelap dan tak ingin terjebak dalam perjalanan panjang tanpa cahaya. Digendongnya seorang bocah belia yang belum paham akan keberadaan dan bahkan belum cakap membedakan tangan kiri dan kanan. Disusurinya senja yang temaram itu, berpacu dengan laju air di Tukad Sekartaji yang berlalu tak peduli.
Era delapanpuluhan masih belia dalam usia, perempuan itu hidup berjauhan dengan kemewahan dan bahkan tidak akrab dengan kecukupan. Desa Piling di Penebel dan Tegaljadi di Marga kerap ditempuhnya dengan lebih banyak berjalan kaki. Senja itu tiada istimewa karena perjalanan itu tidak terlalu jauh urusannya dari menggali atau membayar hutang atau menuai belas kasihan yang ditukar dengan sarapan pagi keluarga.
Air yang berlalu itu memang tidak peduli, derasnya tidak beranjak jinak, pun ketika perempuan itu harus menyebrang. Dipegangnya kuat-kuat bocah kecil itu lalu menghitung langkah satu dan dua melintasi sungai. Air yang deras dan hari yang mulai gelap adalah paduan sempurna yang menawarkan kegagalan. Di tengah keraguan itu, kakinya terpeleset dan jatuhlah si kecil terbawa oleh arus sungai yang tidak kenal kompromi. Semua terjadi begitu cepat. Entah darimana asalnya, naluri keibuannya muncul dan insting bertahannya mengemuka, semangat juangnya merasuk mendesak.
Dilemparkannya tubuhnya mengejar bocah belia itu. Dia berpacu dengan arus yang liar dan gelap yang seakan mempercepat takdirnya. Deru air itu menambah kekalutan, berpadu dan bersilangan dengan semangatnya yang meletup-letup. Riak-riak air itu seperti penjelmaan gemuruh hatinya yang ketakutan kehilangan buah hatinya. Di puncak kekalutan itu sebuah keajaiban terjadi, tangannya berhasil meraih si kecil untuk diangkatnya. Pakaian yang kuyup, hati yang berdebar, adrenalin yang mendesak permukaan dan gemuruh suara air yang menyempurnakan kepanikan berpadu jadi satu.
Diamatinya bocah kecil itu terdiam, wajahnya pucat pasi tidak sadarkan diri. Perempuan itu tidak kenal dengan pertolongan pertama atau nafas buatan. Kepanikannya saja yang menjadi dasar naluri untuk menyelamatkan nyawa si buat hati. Tidak mudah dituliskan apa yang dilakukannya saat itu, karena memang tidak ada satu halpun yang sistematis. Beruntunglah mereka, segerombolan burung punai berarak menuju sekumpulan enau. Sang perempuanpun berteriak “Gus kedis Gus?!” katanya memberitahu si kecil akan keberadaan burung itu. Keajaiban mengejawantah, sang anak menolehkan wajahnya disambut tangis haru yang tidak terkira. Perempuan itu adalah ibu saya. Bagi saya beliaulah Kartini yang jika gagal menyelamatkan anaknya di senja itu, tulisan ini tidak akan pernah ada. Kartini mungkin tidak pernah memperkirakan insiden di senja itu. Namun semangatnya tentu saja hadir di sana ketika seorang perempuan menyelamatkan anaknya. Seorang anak yang mudah terpesona dengan alam yang hadir lewat kepak sayap burung-burung punai yang hinggap di pelepah enau. Selamat Hari Kartini.
Pak Andi….
Sungguh mengharukan kisahnya.
Saya terharu..
Salam hormat saya untuk ibunda bapak.. 🙂
Salam hormat untuk Ibundanya…
Saya sampaikan 🙂 makasih.