Bercermin pada [kejayusan] Dilan: Sebuah Resensi Film

Sebuah twit dari seorang public figure yang saya ikuti pemikiran dan karyanya berbunyi “Dilan is officially the new AADC”. Dalam hati saya bertanya “apa ya?” Saya pengagum AADC dan selama ini belum menemukan tandinganya, meskipun memang harus diakui bahwa film Indonesia sepertinya sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Saya tahu, pendapat public figure ini subyektif tetapi saya penasaran. Hanya ada satu cara untuk mengetahui kebenarannya: nonton.

Continue reading “Bercermin pada [kejayusan] Dilan: Sebuah Resensi Film”

Advertisement

Wajah, Paspor dan Warga Negara

Dalam satu adegan film “The Karate Kid”, Dre Parker (Jaden Smith) dipaksa ibunya untuk bercakap-cakap dengan ‘orang China’ yang duduk di bangku seberang. Mereka duduk di satu pesawat dan akan berangkat ke China. Ibu dan anak itu pindah ke China dari Detroit karena alasan pekerjaan. Menurut ibunya, itulah saatnya Dre melatih Bahasa Mandarinnya dan berlatih langsung dengan orang China adalah kesempatan baik. Dari wajahnya, lelaki yang duduk di bangku seberang memang nampak ‘sangat China’. Wajahnya tidak menipu.

Dengan perasaan sedikit dongkol karena dipaksa Ibunya, Dre menyapa lelaki itu dalam Bahasa Mandarin yang terbata. Inti pertanyaanya adalah “siapa nama Anda dan apa kabar?”. Dre bersusah payah mengucapkan kalimat itu karena belum fasih lalu menunggu jawaban ‘orang China’ itu. Jawaban lelaki itu menyentak dan di luar dugaan Dre dan Ibunya. Lelaki itu berkata “Dude I am from Detroit” untuk menegaskan bahwa dia adalah orang Amerika dan bahkan mungkin tidak bisa Bahasa Mandarin sama sekali. Wajahnya ternyata menipu.

Apa yang dilakukan ibu Dre dalam film itu mewakili jutaan umat manusia di muka bumi. Kita mudah sekali menuduh dan menduga kewarganegaraan seseorang dari kenampakan wajahnya. Ketika datang ke Australia untuk pertama kali tahun 2004 saya terkejut melihat sebagian besar mahasiswa UNSW adalah ‘orang China’. Selidik punya selidik, sebagian besar dari mereka adalah keturunan orang China yang sudah puluhan tahun di Australia. Sangat banyak dari mereka yang merupakan kelahiran Australia bahkan termasuk generasi ketiga. Artinya, mahasiswa yang nampak berwajah ‘China’ itu lahir dari orang tua yang juga lahir di Australia. Yang membuat mereka tetap ‘berwajah China’ adalah fakta bahwa orang tua mereka menikah dengan sesama keturunan China.

Seorang kawan Indonesia bahkan pernah menegaskan bahwa “kuliah di UNSW serasa kuliah di Beijing” karena kebanyakan orang China. Pernyataan ini sempat menimbulkan kontroversi karena orang China yang dimaksud ternyata bukanlah warga negara China tetapi keturunan bangsa China yang telah menetap di Australia. Hal ini sempat menimbulkan rasa kurang nyaman bagi teman-teman warga negara Indonesiaa yang juga keturunan China yang bersekolah di UNSW. Menuduh kewarganegaraan dari tampilan wajah adalah kekeliruan serius.

Obama adalah orang non-kulit putih pertama yang menjadi Presiden Amerika. Ke-Amerika-an Obama bahkan pernah diragukan dan sekelompok orang kulit putih pernah menjadikan itu sebagai isu politik untuk mengalahkannya saat pemilu. Sangat menarik sesungguhnya ketika orang kulit putih yang mempersoalkan hal itu karena orang kulit putih juga pendatang di Amerika. Orang kulit putih yang meragukan kewarganegaraan seorang kulit hitam di Amerika Serikat adalah sebuah kelucuan tingkat tinggi karena keduanya adalah ‘tamu’ di tanah Amerika. Ini mirip dengan orang kulit putih di Australia yang merasa tidak nyaman dengan kedatangan orang Asia dan menuduh orang Asia telah merebut kesempatan kerja mereka sebagai ‘tuan rumah’ di Australia. Orang kulit putih dan Asia sama-sama ‘tamu’ di tanah Australia.

Jika Anda berkunjung ke New York dan naik kereta dari Queens ke Manhattan di pagi hari, Anda akan menemukan sebuah dunia yang mungkin berbeda dibandingkan yang Anda bayangkan. Jika Anda rajin menonton film Hollywood yang konvensional, mungkin Anda membayangkan orang Amerika seperti Aston Kutcher atau Taylor Swift. Anda mungkin akan terkejut karena orang Amerika di kereta itu ternyata sebagian besar berkulit hitam atau nampak seperti orang Jawa. Mereka adalah orang Amerika yang mungkin bahkan sudah merupakan keturunan kedua atau ketiga yang lahir di Amerika.

Dalam tugas saya di Kantor Urusan Internasional UGM, saya sering sekali menerima tamu dari universitas di luar negeri, baik itu professor, peneliti atau pejabat universitas. Pada awalnya saya agak terkejut melihat wajah yang muncul. Pejabat tinggi sebuah universitas di Australia ternyata berwajah China. Professor senior yang disegani di sebuah perguruan tinggi Inggris ternyata mirip Shahrukh Khan. Kepala Kantor Urusan Internasional di sebuah perguruan tinggi di ASEAN ternyata dari Jawa. Peneliti handal dari universitas terkemuka di Amerika ternyata keturunan Kenya. Ini mirip dengan pengalaman kawan-kawan Indonesia yang bersekolah di Australia yang ternyata dibimbing oleh orang China, Korea atau Bangladesh. Sejumlah kawan dari Malang yang sekolah di Wollongong, Australia, bahkan dibimbing oleh professor yang berasal dari Surabaya. Demikianlah dunia. Kekurangpahaman akan menimbulkan keterkejutan.

Kita hidup di satu tempat yang oleh Konichi Omahe disebut sebagai dunia tanpa batas alias “borderless world”. Kenampakan wajah bukan lagi penentu kewarganegaraan. Kebangsaan, suku dan etnis tidak lagi didikte oleh wilayah geografis. Kefasihan seseorang akan suatu bahasa tidak lagi mencerminkan paspor yang dipegangnya. Mereka yang tidak memahami dunia dengan baik mungkin akan terkejut ketika seorang berwajah Sunda mengaku warga negara Jerman tetapi mereka yang luas wawasannya tidak akan terkejut. Kenampakan wajah, bahasa, kegemaran akan makanan bukan penenda kewarganegaraan. Kewarganegaraan ditentukan dengan paspor. Wajah Melayu yang berselera masakan Padang bisa saja berpaspor Amerika. Kita tidak pernah tahu sebelum melihat paspornya.

Ada apa dengan Cinta 2: Sebuah Review

Aku pastilah diselimuti subyektivitas stadium tinggi saat berbicara soal film Ada Apa dengan Cinta 2. Aku seorang penggemar. Maka jangan jadikan review ini sebagai satu-satunya kiblat. Engkau mungkin tersesat.

Continue reading “Ada apa dengan Cinta 2: Sebuah Review”

Adegan Geospasial dalam Film Taken 2

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=Xi_Pwau-cl0]

Banyak review yang mengatakan film Taken 2 terlalu mengada-ada. Harus diakui beberapa adegan memang tidak masuk akal. Yang paling menonjol adalah keterlibatan Kim dalam operasi penyelamatan korban penculikan orang tuanya. Kim adalah seorang gadis usia belasan yang tidak pernah mendapat pelatihan operasi sejenis. Mengejutkan jika dia begitu terampil dan berani. Meski begitu, demikianlah film. Film memang menampilkan hal-hal menipu, bukan? Jika saja dia menyajikan hal-hal yang sama dengan kejadian sehari-hari mungkin kita tidak semangat menontonnya. Tulisan ini tidak akan membahas kualitas film Taken 2 secara umum tetapi menyoroti adegan geospasial di dalamnya. Adegan yang melibatkan peta.

Continue reading “Adegan Geospasial dalam Film Taken 2”

Did he have passion?

Di ulang tahun saya yang ke-30, saya membuat sebuah obituari, tulisan ucapan selamat jalan bagi orang yang meninggal. Itu sekedar ide iseng saja, mungkin karena saya suka film drama berjudul Serendipity yang dibintangi John Cusack bersetting di New York itu. Jonathan Trager (Cusack), diingatkan oleh sahabatnya tetang sebuat filosofi hidup dengan menuliskan sebuah obituari untuknya. Tentu saja aneh, karena obituari biasanya ditulis untuk orang yang sudah meninggal. Meskipun itu bukan obituari yang sebenarnya dan Jonathan memang masih hidup, tulisan itu menginspirasinya dan menyadarkannya tentang sesuatu yang akhirnya mempertemukannya dengan apa yang dicarinya sekian lama.

Continue reading “Did he have passion?”

Laskar Pelangi

http://i102.photobucket.com/
http://i102.photobucket.com/

Akhirnya saya berhasil menyaksikan film Laskar Pelangi (LP) sedikit lebih cepat dari yang dibayangkan semula. November lalu ada kesempatan pulang ke tanah air dan menonton film adalah salah satu agenda penting diantara agenda lain yang cukup padat.

Sudah sangat banyak ulasan tentang film LP di media massa, saya tidak akan mengulang-ulang ulasan itu di sini. Saya berkisah tentang kekhawatiran saya yang saya sampaikan beberapa saat lalu. Betul memang, bahwa sebuah film tidak akan pernah secara utuh dapat menampilkan isi buku/novel yang menjadi basis film tersebut. Orang kecewa dengan Harry Potter, terutama mereka yang maniak membaca novelnya. Bagi saya yang tidak membaca Harry Potter, tidak terlalu kecewa dengan filmnya, walaupun tidak pernah bisa menjadi fans-nya.

Continue reading “Laskar Pelangi”

Laskar Pelangi – The Movie

Jujur saja, saya mungkin termasuk satu dari sedikit orang yang takut saat mendengar kabar novel Laskar Pelangi akan difilm-kan. Setengah hati saya mengatakan jangan, setengah lainnya berharap-harap seperti apa jadinya jika difilmkan.

Continue reading “Laskar Pelangi – The Movie”

%d bloggers like this: