Bercermin pada [kejayusan] Dilan: Sebuah Resensi Film


Sebuah twit dari seorang public figure yang saya ikuti pemikiran dan karyanya berbunyi “Dilan is officially the new AADC”. Dalam hati saya bertanya “apa ya?” Saya pengagum AADC dan selama ini belum menemukan tandinganya, meskipun memang harus diakui bahwa film Indonesia sepertinya sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Saya tahu, pendapat public figure ini subyektif tetapi saya penasaran. Hanya ada satu cara untuk mengetahui kebenarannya: nonton.

Pertanyaan terbesar saya sebelum menonton adalah “mampukah film ini menghadirkan nuansa 1990an di film yang diperankan milennials dan dibuat tahun 2017?” Ketakutan terbesar adalah ketika nanti saya harus menyaksikan pemakaian bahasa gaul kekinian oleh anak SMA yang ‘dipaksa’ di setting di ruang kelas yang ‘dipoles’ menjadi nuansa 1990an. Ngeri sekali kalau harus melihat ruang kelasnya kelihatan baru dicat dan bangkunya dipas-paskan nuansanya. Detil ini semoga sudah dipikirkan. Saya berdoa.

Menyaksikan Dilan 1990, bagi generasi 1990an seperti saya, sebenarnya penuh risiko. Usaha membandingkan dan mengkritisi nuansa, masa dan budaya, mau tidak mau akan terjadi dan itu bisa jadi gangguan serius jika ternyata film itu tidak berhasil menunaikan tugasnya. Maka dari itu, saya kendorkan tensi dan buat harapan menjadi luluh sirna karena saya tahu, kekecewaan berakar dari satu perhal: harapan. Saya menonton, sedapat mungkin, dengan kertas putih kosong tanpa prasangka, tanpa harapan. Tidak ada satupun review yang saya baca sebelum menonton.

Yang paling menyita perhatian saya adalah kekuatan dialog di Dilan 1990. Mendengar tokoh Dilan seperti mendengar teman sendiri di tahun 1990an dan sering sekali bahkan seperti melihat diri sendiri. Dilan laksana cermin jernih bagi generasi 1990an. Pemilihan kata-kata yang meluncur dari mulut Dilan serta kelihaiannya dalam menempatkan setiap kata dalam suasana dan situasi yang akurat adalah daya pikat film ini. Bagi saya, konflik yang dihadirkan sebenarnya merupakan keseharian anak-anak muda di zaman itu. Tidak ada yang ekstrim atau luar biasa. Kemasan yang baik dalam bingkai dialog yang kerap absurd atau ‘jayus’ tapi cerdas membuat film ini seakan tidak perlu konflik serius untuk menjadi baik dan menyita perhatian.

Bagi saya sendiri, potongan-potongan dialog di film ini berhasil memancing senyum. Senyum yang melambungkan saya ke suatu masa dua hingga tiga dekade silam. Melihat Dilan seperti melihat kenakalan diri sendiri atau teman-teman saya di masa lalu yang sedikit banyak terpancar dari pola pikir, kata dan laku Dilan. Mereka yang pernah naksir seseorang atau berpacaran di tahun 1990an mungkin seperti diingatkan akan banyak hal besar dan kecil yang mengundang tawa atau kegelian. Adegan berbicara berlama-lama di telepon umum, jenis motor yang dipakai, gaya berpakaian sekolah, jaket yang dikenakan, serta bentuk telepon rumah yang khas sanggup menghadirkan nuansa suatu masa. Bagi sebagian orang, masa itu bisa jadi adalah kenangan romansa yang dalam, atau keseharian yang lewat begitu saja dan baru disadari, atau sekedar ingatan tentang himpitan masa silam yang dilalui dengan kesulitan perjuangan.

Saya menulis puisi sejak lama dan percaya pada kekuatan kata-kata. Tahun 1990an, bagi saya, adalah ladang subur bagi lahirnya kata-kata yang kemudian menemukan peran pentingnya dalam mewakili perasaan atau bahkan gagasan besar tentang cinta, politik, pemerintahan dan gerak peradaban. Baiklah, saya mengakui ini berlebihan tetapi ini adalah bukti nyata, setiap generasi akan secara egois dan arogan mengklaim generasinya memang lebih hebat dibandingkan generasi lainnya.

Yang pasti, Dilan menghadirkan kekuatan kata-kata itu. Potongan dialognya di kotak telepon umum usang atau di kantin sekolah yang bersahaja seperti memutar ulang apa yang terjadi pada banyak kawan saya di tahun 1990an silam. Romantisme yang dihadirkan lewat dialog-dialog nakal nan ‘jayus’ khas 1990an sebenarnya cukup mudah diduga tetapi dilahirkan dengan rangkaian kata-kata yang seperti hadir tanpa rencana. Pidi Baiq, penulis novelnya, berhasil menghadirkan kecemerlangannya di sini tanpa terkesan pamer dan memaksa.

Dilan 1990 juga mengingatkan bahwa lebay dan absurd memang terjadi di setiap masa. Menariknya, oleh generasi yang menjadi tuan rumah di masa itu, lebay dan absurd itu adalah keniscayaan yang bahkan bisa dipandang membanggakan. Itulah kesan yang timbul ketika mendengar dialog-dialog di film Dilan 1990, terutama yang disampaikan oleh tokoh Dilan, tentu saja. Dilan mengingatkan saya kembali bahwa semua generasi memiliki gayanya sendiri dan hal-hal hebat yang dibanggakan, meskipun jika dilihat dari kacamata generasi lainnya, hal itu mungkin sungguh tak pantas, absurd dan bahkan ‘menjijikkan’. Maka karya yang dicintai adalah yang ‘relatable’, yang mewakili penikmatnya. Baik buruk adalah sebuah relativitas yang tak akan selesai diperdebatkan.

Mereka yang pernah sekolah atau kuliah di Bandung kemungkinan besar akan merasakan keberhasilan film ini membawa suasana masa lalu. Satu yang menarik, anak-anak atau alumni ITB mungkin akan merasa diusik oleh film ini, dengan nuansa ‘kekalahan’ kecil yang tidak kentara. Benarkan separah itu? Tentu saja sangat tergantung dari kacamata penontonya. Saya merasa demikian, mungkin karena saya alumni UGM :). Seperti kata Dilan, perasaan kalah atau cemburu adalah buat mereka yang tidak percaya diri.

Berbagai adegan khas anak sekolah sangat kental di Dilan 1990. Yang mengkhawatirkan adalah beberapa adegan yang menunjukkan kekerasan dan ekspresi emosi seorang siswa kepada gurunya. Beberapa adegan semacam itu memang perlu ditonton dengan kacamata kebijaksaan yang baik sehingga hikmah yang dituai tidak salah dan menjerumuskan. Keberanian seorang siswa membela prinsip dan keyakinan yang dihadirkan dalam beberapa adegan nampaknya harus ditonton dengan kesabaran dan kelapangan hati. Meskipun hadir sebagai idola yang nampaknya sanggup mewakili ‘ego’ dan ekspresi bathin banyak orang, perilaku Dilan disajikan layaknya orang biasa yang istimewa. Kadang emosinya dibiarkan meledak dan keluar tanpa kendali. Maka dari itu, perenungan akan hal yang baik atau buruk untuk ditiru atau dihindari perlu dipastikan oleh siapa saja yang menontonnya.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah Dilan 1990 adalah AADC masa kini? Kalau kita tanya pada Dilan, mungkin dia akan katakan, “jangan membandingkan. Berat. Kamu tidak akan kuat. Nikmati saja. Atau jika kamu melewati masa remaja di dekade 1990an, kamu mungkin perlu mendengar seseorang mengatakan “Dilan reminds me of someone” sebelum memutuskan untuk menontonya.

ps. Tahu artinya jayus? [hmm jawab, jangan?]

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Bercermin pada [kejayusan] Dilan: Sebuah Resensi Film”

  1. Saya baru baca novel nya Pak Andi. Bahasa d novel sangat EYD sekali. Ya lagi2 jgn dibandingkan dgn yg lain krn itu berat😉

  2. “Jika dosen berani menampar mahasiswa, maka mahasiswa juga berhak melakukan hal yang sama. Karena dosen adalah panutan dan contoh bagi mahasiswa”

    = dilan 2018 =

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: