
Akhirnya saya berhasil menyaksikan film Laskar Pelangi (LP) sedikit lebih cepat dari yang dibayangkan semula. November lalu ada kesempatan pulang ke tanah air dan menonton film adalah salah satu agenda penting diantara agenda lain yang cukup padat.
Sudah sangat banyak ulasan tentang film LP di media massa, saya tidak akan mengulang-ulang ulasan itu di sini. Saya berkisah tentang kekhawatiran saya yang saya sampaikan beberapa saat lalu. Betul memang, bahwa sebuah film tidak akan pernah secara utuh dapat menampilkan isi buku/novel yang menjadi basis film tersebut. Orang kecewa dengan Harry Potter, terutama mereka yang maniak membaca novelnya. Bagi saya yang tidak membaca Harry Potter, tidak terlalu kecewa dengan filmnya, walaupun tidak pernah bisa menjadi fans-nya.
Laskar Pelangi secara umum dapat menghadirkan semangat perjuangan pendidikan dan persahabatan. Ini saya tidak akan bantah. Sempat di dalam bioskop saya terbawa oleh kisah perjuangan Ibu Mus, terutama ketika beliau berkata “kita masih bisa bertahan kan Pak?!” dengan pandangan mata lembut namun penuh kekuatan. Ada rasa haru yang menyelimuti perasaan saya sebagai seorang guru.
Satu hal yang saya sukai adalah ditampilkannya “pelajaran moral nomor satu” ala Ikal. Ketika diceritai tentang Nabi Nuh yang selamat oleh kapal saat terjadi air bah dia mengambil pelajaran nakal yang kreatif: “Kalau kamu tidak rajin sholat, belajarlah berenang” Pelajaran moral ini selalu saya sampaikan di depan mahasiswa setiap kali mengajar. Seorang guru boleh saja bersusah payah membangun cerita atau ilmu yang baginya luar biasa, tetap saja tergantung bagaimana murid memaknainya. Alih-alih rajin sholat seperti harapan cerita Pak Arfan, Ikal justru berkesimpulan bahwa tidak harus rajin sholat, yang penting bisa berenang. Keberhasilan sebuah pembelajaran memang tidak saja tergantung guru tetapi juga murid.
Satu hal yang sedikit mengganjal adalah kecemerlangan Lintang yang sedikit ternoda dalam film itu. Ketika Ibu Mus bertanya “duabelas ditambah empat dikali mines lima” Lintang menjawab “mines delapan puluh”. Saya kira tidak perlu perdebatan panjang di blog ini untuk mengatakan bahwa jawaban itu salah dan seharusnya “mines delapan”. Saya tahu, Anda akan mengetahui alasannya.
Lintang yang dalam bayangan saya begitu cemerlang, sedikit ternoda di mata saya malam itu. Banyak teman saya yang mengatakan, itu hanya detil kecil yang tidak terlalu kelihatan. Menurut saya, justru Lintang tidak boleh salah dalam hitungan matematika. Lintang boleh tidak berperan banyak dalam proyek seninya Mahar atau kisah cintanya Ikal yang terpesona oleh A Ling, tetapi dia tidak boleh salah dalam urusan matematika karena Lintang, dalam Laskar Pelangi, adalah memang tentang kecerdasan itu sendiri.
Namun begitu, saya tidak kecewa. Film ini secara umum berhasil menghadirkan nilai-nilai yang bangsa ini perlu renungkan dan bangun kembali: Perjuangan di tengah ketidakadilan dan melawan keterbatasan.
Mantappp contoh resensi novel laskar pelangi 🙂