Aku pastilah diselimuti subyektivitas stadium tinggi saat berbicara soal film Ada Apa dengan Cinta 2. Aku seorang penggemar. Maka jangan jadikan review ini sebagai satu-satunya kiblat. Engkau mungkin tersesat.

Ketika seorang kawan lama bertanya “mengapa harus nonton AADC2?”, aku katakana padanya “aku adalah pengagum totalitas dalam berkarya. Kamu tahu itu.” AADC2 adalah tentang totalitas, soal kehati-hatian dan soal dedikasi. Mira Lesmana bisa saja menunggu 3 tahun saja setelah AADC 1 untuk membuat AADC 2 jika tidak ingin kehilangan momentum dramatis penggemar yang tengah mabuk kepayang. Toh dia tidak lakukan itu dan bersabar hingga 14 tahun. Dian Sastro dan Nicolas Saputra, dua pemain utama film AADC 1 dan 2, bahkah pernah berpikir bahwa harapan untuk membuat AADC 2 sudah pupus. Ternyata tidak. Mereka adalah orang-orang yang sabar.
AADC 2, harus diakui, adalah film nostalgia. Mira Lesmana dan Riri Riza sadar betul bahwa mereka ingin mempersembahkan film AADC 2 ini kepada penonton AADC 1. Musik yang konsisten dan nyaris tidak berganti serta pemain inti yang hampir sama adalah penanda itu. Menurutku, AADC adalah lagu “Bimbang”. Lagu itu adalah identitas kental AADC. Penonton AADC 1 tidak akan bisa lepas dari ingatan lama ketika mendengar intro dari lagu “Bimbang”. Lagu Bimbang tetap menjadi ciri khas di AADC 2 dan itulah yang menurutku berhasil melambungkan para penggemar AADC 1 ke masa lalu yang tersimpan rapi dalam kenangan masing-masing.
Intro lagu “Bimbang” ini kuduga sanggup membuat penonton meremas jemari pasangannya di gedung bioskop. Jemari itu mungkin kini sedikit lebih keriput, terutama jika 14 tahun lalu dia meremas jemari yang sama, mungkin di gedung bioskop yang berbeda. Keriput yang sama juga nampak pada jari-jemari Cinta dan Genk Cinta yang memang diperankan oleh orang yang sama. Mira Lesmana dan Riri Riza menampilkan ini tanpa sembunyi-sembunyi. Ini memang kisah 14 tahun kemudian dan manusia biasa memang menua.
Yang berbeda dari AADC 1, AADC 2 hadir tanpa Alya, tokoh yang sejatinya sangat penting di AADC 1. Persahabatan Genk Cinta memang begitu kental tetapi ‘pengkhianatan’ Cinta terhadap Alya lah yang secara khusus melahirkan pertanyaan “Ada Apa dengan Cinta?” Kebohongan yang dilakukan Cinta kepada Aliya hanga gara-gara dia mulai tertarik pada Rangga di AADC 1 adalah awal dari konflik dan munculnya pertanyaan tentang kebaikan dan ketulusan Cinta. Bagaimana AADC 2 bisa mempertahankan karakter persahabatan dengan hilangnya tokoh penting? Bagaimana cerita ini menghadirkan fakta kepada penonton akan absennya Alya? Ini adalah bagian yang penting dalam AADC 2 untuk tidak membuatnya terputus dari AADC 1.
Hal lain yang menarik adalah pemberian perhatian yang khusus kepada masing-masing Genk Cinta. Jika di AADC 1 hanya Cinta dan Alya yang memiliki persoalan dalam hidupnya, di AADC 2 lebih realistis. Semua orang punya masalah dan semua orang punya kisah yang layak disimak. Yang relatif tetap adalah Maura. Tokoh ini tidak dikisahkan memiliki persoalan yang penting untuk dibahas, persis seperti di AADC 1. Dia hanya menjadi sahabat baik dengan karakter khasnya yang modis, perfeksionis dan gaul. Sementara itu Karmen yang dulu tidak mewarnai dengan persoalan pribadi, kini hadir dengan persoalan pribadi yang pelik meskipun tetap tidak mendominasi alur cerita. Milly tetap ‘ngga nyambung’ seperti dulu tetapi dikisahkan memiliki kehidupan pribadi yang juga menjadi sorotan. Kisah pribadi Milly juga menjadi bagian penting untuk memuaskan hasrat nostalgia penonton AADC 2 dengan cara yang agak mengejutkan. Yang pasti, Milly lah yang selalu berhasil menghadirkan suasana segar dan penuh kelakar di gedung bioskop.
Cinta yang tinggal di Jakarta dan Rangga yang tinggal di New York bertemu di Jogja. Aku dari awal meragukan kemampuan Mira Lesmana dan Riri Riza untuk membuat kisah yang sealami mungkin agar pertemuan keduanya tidak terkesan dibuat-buat atau dipaksa. Memang tidak mudah tetapi keduanya mengusahakan dengan sangat baik. Hal ini diperkuat dengan adegan pembuka AADC 2 tentang Cinta yang siap menikah dengan seseorang yang bukan Rangga. Adegan ini dimaksudkan untuk menghadirkan kompleksitas dalam imajinasi penonton bahwa cerita ini akan rumit dan tidak terlalu mudah ditebak.
Pertemuan Cinta dan Rangga di Jogja sebenarnya memang bisa ditebak tetapi yang berhasil menghadirkan kejutan adalah petualangan mereka. Sebagai orang Jogja, aku sendiri dibuat merasa ‘kurang piknik’. Terlalu banyak tempat bagus yang ternyata belum aku kunjungi. AADC 2 menjadi duta wisata bagi Jogja yang nampaknya akan atau sudah berhasil.
AADC 2 tetap adalah soal bahasa dan puisi. Dialog menjadi penting dan ini dihadirkan dengan baik oleh penulis skenarionya. Kenakalan mereka menyentuh politik, meskipun sekilas, menjadi hiburan tersendiri ketika Rangga berkisah soal pemilu. Hingar bingar pemilihan presiden yang membuat bangsa Indonesia pernah terpolarisasi dihadirkan lagi lewat sebuah dialog ringan yang menggantung dan tidak konklusif khas AADC. Tawa renyah keduanya seakan membiarkan penonton mengingat lagi pilihannya dan berefleksi tentang situasi politik tanah air.
Rangga tetap dingin, misterius dan reflektif. Meski demikian, dia dihadirkan sebagai orang yang secara natural lebih dewasa dibandingkan di AADC 1. Sinisme masih menjadi ciri khasnya tetapi kedewasaan dan pengalaman membuat dia hadir lebih rasional dalam mengelola konflik dengan Cinta. Konflik di antara keduanya muncul dalam berbagai penggal adegan dan ini seperti ‘memuaskan’ penonton lama yang masih menyimpan kenangan atas pribadi Cinta dan Rangga dalam benak mereka. Meski begitu, kedewasaan keduanya hadir secara alami untuk kemudian menyelamatkan dialog dan interaksi mereka menuju akhir cerita.
Perlu dingat, durasi kisah dalam film ini begitu singkat. Inti cerita adalah tentang interaksi sehari semalam di Jogja. AADC 2 dituntut mampu mengemas kisah yang padat dan padu. Dia harus mampu menggabungkan usaha mengingatkan penonton lama akan nostalgia, menghadirkan AADC yang utuh kepada penonton baru tanpa menjadi terlalu bertele-tele dan terlalu banyak mengulang kisah AADC 1, dan menawarkan sebuah potongan kisah yang mengerucut pada penyelesaian yang tidak terlalu mudah ditebak. Sebuah tugas yang tidak mudah, tentunya.
Nostalgia dan romansa dihadirkan dalam interaksi intim Cinta dan Rangga tanpa sama sekali menyentuh tema cinta secara eksplisit. Ini yang membuat kisah ini terasa rapi dan digarap dengan serius. Sekali waktu aku teringat Before Sunrise, Before Sunset dan Before Midnight yang legendaris itu. Dua tokoh di ketiga film itu menghadirkan romantisme lewat percakapan bermutu dengan tema-tema yang kadang berat. Rangga dan Cinta menghadirkan nuansa yang mirip dengan percakapan yang berkualitas, misalnya saat mereka membahas traveling dan liburan. Hal ini dipertegas dengan kenyataan bahwa Nicolas Saputra memang seorang traveler sehingga kata-katanya dalam dialog itu seperti bertaksu, lebih dari sekedar menghafalkan skenario. Senyum sembunyi Cinta tetap menjadi daya pikat untuk menghadirkan perasaannya yang tidak disampaikan secara eksplisit. AADC 2 berhasil menjalankan prinsip pertama sebuah karya cerita “show, don’t tell”.
Aku tinggal di Jogja dan pernah tinggal beberapa lama di New York. Fakta ini yang agak mengganggu karena aku jadi tahu persis beberapa ketidaklogisan yang terjadi di film. Misalnya, waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain yang seharusnya jauh lebih lama dari yang dikisahkan di film menghadirkan ganguan tersendiri. Selain itu, aku tidak pernah bisa lepas dari rasa penasaran akan proses Cinta mendapatkan visa ketika harus ke New York. Bagi orang lain, ini mungkin tidak penting tetapi bagiku ini bagian yang tak bisa diabaikan. Mendapatkan visa ke Amerika bukan pekerjaan mudah dan penting untuk dikisahkan agar anak-anak muda mendapat tambahan pengetahuan. Naluri kepala KUI UGM muncul di saat nonton film dan ini jeas sangat mengganggu dan tidak sehat.
Puisi tetap menjadi bagian yang aku suka dari AADC 2. Hal ini sebenarnya cukup ‘berbahaya’ dan ‘berisiko’ karena penonton generasi baru mungkin tidak menikmati puisi seperti halnya generasiku menikmatinya. Meski demikian, puisi tetap dihadirkan dan dipadu dengan bahasa gaul yang dihadirkan tegas di film ini. Cinta menggunakan istilah “bokis”, bukan “bohong” untuk menuduh Rangga berbohong soal hadiah. Selain itu, penggunaan gadget, messenger apps, dan kebiasaan berfoto selfie menjadi pemuas generasi baru dan menjadikan AADC 2 sebagai bagian dari generasi mereka.
Akting natural para pemainnya menjadi jaminan mutu AADC 2. Hadirnya kembali adegan dan dialog AADC 1 di AADC 2 dalam kesan berbeda merupakan usaha serius untuk menghadirkan nostalgia dan membangun koneksi. Adegan legendaris saat Cinta tidak terima karena teman-temannya disalahkan dengan potongan dialog “Salah gue, salah teman-teman gue” di AADC 1 sebenarnya hadir lagi di AADC 2 namun dalam kemasan dan konteks berbeda. Intinya persahabatan dan kesetiakawanan tetap hadir di AADC 2 dan itu menjadi fragmen positif dengan keberadaan Rangga yang kini lebih dewasa dan hadir dengan pemahaman yang lebih baik akan persahabatan Genk Cinta.
Bagaimana akhir cerita ini? Mungkin bukan sebuah kejutan tetapi perjalanan dan rincian kisah menuju akhir itu yang cukup mampu menghadirkan kejutan. AADC 2, seperti yang aku sampaikan pada kawanku di Jakarta, tetap merupakan sebuah simbol bagi totalitas, kehati-hatian dan dedikasi. Meski begitu, keputusan untuk menonton ternyata bukan hanya soal tawaran kualitas. Pertimbangan pragmatis lain kadang muncul seperti “nontonn dengan siapa?” terutama ketika jemari yang diremas 14 tahun lalu di bioskop, berbeda dengan yang boleh diremas saat ini. Selamat melawan bimbang.
Reblogged this on ruang menulis khairani and commented:
“AADC 2 adalah tetap soal bahasa dan puisi.”
Setuju!
Review yang menarik Pak. Entah kenapa saya punya feeling Bapak akan menulis Review AADC2. Saya setuju ini adalah kisah semalam di Jogja, menjadi luar biasa krn ada background masa lalu dan lompatan harapan ending kisah nya. Film yg sangat bermutu penuh pemaknaan dan mampu bikin Baper. Tapi bberapa kekecewaan telah membuat ‘ketidaksempurnaan’ kisah ini. Terburu2nya ‘mematikan’ Alya sangat menyesakkan. Mengapa tidak diberi ruang bagi Alya utk muncul kembali kelak? Dan yg paling disesalkan adalah ending kisah ini. Entah mengapa terasa sekali romance ala Hollywood nya. Seharusny kisah ini terakhir ketika Mobil Cinta yg menuju bandara kecelakaan. Biarlah Rangga Dan Cinta tetap menjadi ‘musteri’, drpd memaksakan bertemu kembali di New York.
Wah .. Bang Freddy ini termasuk penggemar AADC garis keras nih hehe.
Menarik sekali Pak Andi ulasannya tentang AADC ini. Apalagi bagian terakhirnya yg membuat tersenyum, 14 tahun lalu tangan diremas siapa, 14 tahun kemudian apakah tangan yg sama yg menemani nonton AADC 😁 saya menunggu di Youtube saja karena tinggal jauh dari Indonesia, dan cukup berbahagia dengan membaca review bahkan spoiler yg bertebaran di media sosial.
Semoga AADC segera ke Belanda ya 🙂 Sabar..
Pak Andi… Ulasannya luar biasa bagus. pak Andi ingat dengan detail tentang karakter masing2 tokohnya… Aku hampir ngga ingat karakter lain selain Rangga dan Cinta, selain milly yang kocak dan rada2ngga nyambung… hebaaat Pak Andi…
Mungkin ini karena penulis yang dosen atau dosen yang penulis kali ya pak Andi… 🙂
Btw, soal visa si Cinta, aku ngga berpikir sampai segitunya. Iya tau visa US palin susah sedua, tp aku mikirnya, berhubung dia udah pernah ke US, dulu bersama orangtuanya, anggapa aja kemudian dia pernah ngurus visa lagi setelah itu… 🙂
Bravo ulasan Pak Andi… 🙂
Makasih Firsty 🙂 Hehe ya saya saja yg iseng, pengen lihat adegan ngurus visa agar anak2 muda dapet ilmu lbh banyak 🙂
Mas andi ulasannya keren…saya yg blm sempat nonton jd penasaran…mungkin asik kali ya klo saya juga mengulang moment nonton aadc 2 bersama sahabat2 saya spt ketika kami nonton aadc 1…sayangnya kami skrg tinggal di 3 kota yg berbeda.
Mungkin kedutaan amerika bisa membuat video instruksi pengurusan visa amerika dgn rangga dan cinta sebagai modelnya hehe…
Saatnya reuni mbak Wenny 🙂
Hmmm, kapan ya bisa nonton. Jadi penasaran setelah baca ulasan di atas 😃
Ayo pulang ke Jogja mbak..
Maunya begitu, Jogja kota sejuta kenangan hehe. Mudah-mudahan mudik berikutnya Bli, bisa mampir 🙂
Di luar negeri ga ada film AADC di bioskop. Jadi tambah baper..
TUnggu ya Mas.
belum nonton, hiks
Review yang menarik , saya setuju dengan ulasan mengenai terburu2 nya rangga dan cinta dari satu tempat ke tempat lain dalam satu malam sampai shubuh. Perasaaan Sekarang Jogja makin macet dech :). Alasan saya nonton AADC2 karena sudah nonton AADC1. Tidak se ikonik yang pertama, tetapi cukup lah untuk penggemar yang pertama menanti selama 14 Tahun. Yang pasti setelah nonton, jadi pengen ke Yogja lagi.
Mas Andi, koq sampe ke Visa ya? hahahaha.. I mean walaupun memang susah tapi kan gak seru juga kalo ditaro di film 😀
Saya nonton pake acara terlambat 15 menit karena nunggu Istri yg masih ngajar 😀 pas liburan di Indo kemarin.
Setuju sekali, filmnya sederhana tapi dalem dan dikemas dengan apik. Dan tentu saja sebagai penyuka puisi, saya suka puisi2nya 😀 Pengen beli buku kumpulan puisinya pas pulang,
Hehe itulah tantangan karya seni. Memuat informasi penting dg cara yg menarik.
Iseng cari review tentang AADC 2 dan akhirnya terdampar di blog yang tidak asing ini ;).
Btw, dengan tidak berkesempatannya ‘saya’ – kata ganti orang pertama yang dipakai Rangga – menonton film ini di tanah air, dengan ‘terpaksa’ harus menunggu unggahan film di situs streaming tidak halal ;). Berbagai harapan disematkan – setelah menonton trailer yang disponsori ‘Line’ tersebut. SIngkat kata – saya amat kecewa!!!.
Sebagai orang yang tahu kualitas Riri Reza di Laskar Pelangi (hingga sempat menjadi moderator pada Tour De Australia cabang Adelaide), film ini sangat jauh dari harapan – paling tidak, harapan dilambungkan oleh trailer hingga film yang disuguhkan di laman streaming tersebut, mulai dari pemilihan backsound music yang tidak pas, teknik handheld cameramen, screenplay yang tidak menggigit, hingga alur cerita yang datar. Saya masih berharap jika yang saya tonton adalah versi ‘dibuang sayang’.
Puisi? Secara umum bagus – hanya memang ada banyak kata yang terkesan dipaksakan. “Cinta…membuat panas dikening dingin dikenang” :(.
Setelah menontonnya, terus terang saya jadi melirik kembali Mas Rudy Sudjarwo – yang sinarnya ‘redup’ oleh Kambing Jantannya Raditya Dika 😦
Atau ada baiknya komentar ini saya pending dulu hingga menonton versi layar lebarnya.
All in all, harusnya saya tidak banyak mengeluh mengingat situs yang saya tonton tidaklah halal ;).
Btw, kapan-kapan kita japri De. Lama nda tidak bertegur sapa.
Wah ini komentar dari beliau yang paham sekali “technicality” pembuatan film hehe. Suksma Bli 🙂
Terima kasih reveiwnya mas. Dengan tanpa mengurangi rasa terima kasih dan penghargaan saya pada pemilik website ini, saya kok memiliki kesan yang agak beda terhadap film AADC 2. Saya kok setuju dengan nariratih.
Saya penggemar berat AADC 1. Menurut saya itu film Indonesia yang “sempurna” meski ada cacat kecil di endingnya. Harapan saya really sangat2 tinggi ketika mendengar akan dibuatkan sequelnya. Namun setelah menonton film AADC 2, jujur saya kecewa berat. Film menurut saya sangat jauh kualitasnya dibanding AADC 1, bahkan jika dibanding film2 mas riri reza lainnya, semisal laskar pelangi, sang pemimpi. Ada beberapa poin yg saya catat yang menjadikan filem ini (sekali lagi menurut saya) “produk gagal”, diantaranya:
1. skenario dan ceritanya sangat lemah (kalau tidak ingin dikatakan jelek). Banyak adegan yang dipaksakan, seperti misalnya ketika adiknya rangga tiba2 nongol di kafenya rangga di NY, demikian juga ketika tiba2 cinta juga nongol di NY. Seakan ini hanya memanfaatkan mumpung lagi shoot di NY. Jadi terkesan cerita AADC 2 ini tidak utuh. Termasuk dialog2 nya Mily, yang ditujukan untuk membuat kelucuan dari karakter milly yang agak lemot, juga terasa garing.
2. Film ini kehilangan detail seperti di AADC 1. Banyak adegan yang sebenarnya bisa dibuat lebih detail, seperti saat cinta ngaku pada trian bahwa dia ketemu rangga. SAngat beda misalnya dng AADC 1. Misalnya saat karmen lagi mbeneri tali sepatunya, dan dia liat pak wardiman sedang berpelukan dng rangga. Di AADC 1 semua adegan ada sebab dan latar belakangnya, di AADC 2, terasa banget beberapa adegan dipaksakan banget.
3. Banyak momen adegan yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Seperti misalnya pertemuan rangga dan cinta di NY. Visual bersalju sebenarnya bisa diperkuat dengan misalnya monolog rangga atau cinta berupa kata2 puisi, akan sangat lebih menyentuh.
4. AADC 2 kayak sinetron, dengan adegan yang dipaksakan dan nggak tuntas. Seperti saat cinta nongol di kafe rangga, dan rangga pas lagi dipeluk karyawannya. Ini dipaksakan banget, dengan solusi hanya sebaris kata penjelasan oleh rangga. Ngapain di akhir cerita masih nambah konflik, dan itu tidak digarap.
Overall, saya kecewa dengan AADC 2. Di film ini saya tidak menemukan sentuhan dingin Mbak Miles dan Mas Riri reza. Nonton film ini seperti nonton FTV, dengan kualitas yang pas2an. Namun demikian, ada yang patut dipuji. akting para pemainnya menurut saya bener2 excellent. Peran rangga, cinta, karmen, maura, dan milly bener2 mantap. Sayangnya tidak dibingkai dengan cerita yang solid. Bagi teman2 yangbelum nonton dan penasaran dengan AADC 2, saya sarankan jangan terlalu berharap banyak. Niatkan saja, nonton film ini hanya untuk mengetahui akhir kisah cinta Cinta dan Rangga. Itu akan mengurangi rasa kecewa pada kualitas filmnya.
Terima kasih Mas Iwan atas review yang menarik. Detil dan kritis 🙂
Saya tidak akan menanggapi apapun terkait konten review ini. Subyektivitas ada pada masing-masing kita. Saya menghormati semuanya 🙂 Salam.