Chief Executive Office General Electric Indonesia, Dr. Handry Satriago, akan memberi kuliah umum di UGM. Saya sudah tahu agak lama. Yang merekomendasikan ini juga tidak main-main: Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ambassador Blake. Bersiap sebagai moderator kuliah umum itu adalah orang yang tepat dan selevel: Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM, Dr. Hargo Utomo, seorang pakar dan praktisi bisnis mumpuni. Semua cocok dan klop. Ibarat panci ketemu tutupnya.
Waktu berlalu, perkembangan sangat dinamis dan naas tak bisa ditolak. Pak Hargo mengalami radang tenggorokan dan ada kemungkinan tidak bisa bertugas. Beliau meminta saya menggantikan. Entahlah apa alasannya. Tentu merasa terhormat tetapi tetap berharap Pak Hargo tidak jadi sakit sehingga tetap bisa bertugas. Berita ini saya dengar sehari sebelumnya dan masih tentatif sifatnya. Sejujurnya saya tidak bersiap apa-apa. Pertama karena kemungkinan Pak Hargo menjadi moderator masih atas, kedua karena saya ada beberapa tugas lain yang tidak bisa ditinggalkan. Singkat kata, tidak ada persiapan dan masih berharap tidak jadi bertugas.
Keputusan penting itu datang pagi hari di hari H. Saya harus menjadi moderator tokoh hebat itu dan tidak ada pilihan lain. Di sisi lain saya juga harus melakukan tugas mengawal hospitality terkait kedatangan Dr. Satriago sehinga tidak bisa fokus bersiap menjadi moderator. Waktu terasa cepat berlalu, tiba-tiba saja Dr. Satriago sudah ada di UGM dan siap-siap melakukan courtesy meeting dengan Rektor UGM. Sementara itu, saya masih belum bersiap sama sekali. CV beliau pun belum sempat saya baca secara serius. Urusan menjadi runyam.
Di ruang tamu Rektor UGM, ketika para petinggi menyambut Pak Handry Satriago, saya duduk di pojok penuh kecemasan. Saya tidak bisa mengandalkan improvisasi untuk menjadi moderator orang sekelas CEO GE Indonesia. Ini bukan perkara main-main. Ini urusan serius dan ini urusan reputasi universitas tertua di Indonesia.
Bermodal laptop saya takzim menyimak percakapan Rektor dengan Pak Handry ditimpali oleh akademisi dan pejabat lainnya. Percakapan itulah yang saya ‘rekam’ dengan baik dan jadikan bahan menjadi moderator nanti. Laptop dengan setia merekam semuanya menjadi poin-poin penting untuk disampaikan nanti.
Tiba-tiba saya ingat sebuah inovasi, saya harus menggunakan slides untuk memperkenalkan Pak Handry nanti. Segeralah saya berselancar mengarungi gelombang Google dan mencari berita tentang beliau, terutama gambarnya. Urutan slides akan disesuaikan dengan CV beliau yang saya terima dari staff KUI UGM dan diperoleh dari sumber resmi. Maka saya mencari gambar-gambar yang sesuai sambil terus mendengarkan percakapan dan merekam poin-poin penting untuk disampaikan nanti. Adrenalin mengemuka, debaran jantung menjadi jauh lebih cepat dan detik-detik jam dinding seperti terdengar di tengah riuh rendah percakapan yang kadang serius dan juga penuh kelakar. Saya kesepian penuh cemas dalam keramaian.
Ketika harus menyusun slides di Power Point, saya merasa perlu waktu menyendiri dan segera keluar dari ruang tamu Rektor dan mencari tempat duduk yang lebih tenang. Kebetulan, Pak Handry dijamu makan siang singkat sebelum memulai kuliah umum. Di situlah saya lihat layar komputer saya berkelebat-kelebat berganti dari satu layar ke layar lainnya dan gambar-gambar berpindah menuju halaman-halaman power point. Meski sebenarnya cepat, terasa begitu lambat dan semakin menegangkan karena samar-samar terdengar bahwa Dr. Satriago telah siap melakukan kuliah umum.
Beberapa menit sebelum rombongan bergerak dari ruang tamu rektor menuju Balai Senat, tempat kuliah umum, saya berkelebat mendahului dan menyerahkan file Power Point yang sudah siap. Delapan slides saja, tidak lebih tidak kurang. Saya tahu, moderator tidak punya banyak waktu dan tidak boleh mendominasi panggung. Semua harus singkat, padat dan memantik diskusi. Itulah yang coba saya siapkan dalam waktu yang begitu singkat.
Tidak lupa saya coba slides tersebut di komputer panitia. Kadang, memindahkan file Power Point dari satu komputer ke komputer lain menyebabkan kekacauan dalam tata letak dan saya ingin memastikan itu tidak terjadi. Tepat saat saya memastikan semuanya baik-baik saja, saya lihat rombongan Dr. Satriago masuk Balai Senat UGM diiringi oleh Wakil Rektor Kerjasama dan Alumni, Bapak Paripurna. Hah… saya lega, setidaknya saya telah menyiapkan segala sesuatunya beberapa detik sebelum acara dimulai. Saya bisa bernafas leluasa dan duduk dengan agak tenang.
Sambil menunggu pembukaan dimulai, saya sampaikan ke Pak Wakil Rektor bahwa saya akan menjadi moderator menggantikan Pak Hargo. Saya yakin beliau belum tahu hal ini. Pak Parip selalu penuh dukungan dan mengatakan “Okay Mas. Sip!” dan itu menenangkan, meskipun mungkin beliau punya kekhawatiran tersendiri. Saya tidak tahu.
Dalam pada itu, saya menemui Pak Handry secara khusus di dekat tempat duduk beliau dan mengenalkan diri. Memang saya belum pernah bertemu beliau dan tadipun ketika courtesy meeting saya tidak sempat berinteraksi karena menyiapkan diri penuh ketegangan. Rasanya tidak pas kalau saya sama sekali tidak mengenalkan diri ke pembicara padahal nanti bertindak sebagai moderator. Ketika melihat saya mengenalkan diri sebagai moderator kepada Pak Handry, Pak Parip dengan begitu cekatan memberi dukungan. Beliau dengan sedikit ‘berlebihan’ memperkenalkan saya kepada Pak Handry. Meski agak risih, saya paham, ini adalah strategi yang baik karena seorang CEO GE Indonesia perlu tahu bahwa beliau dimoderatori oleh orang yang ‘layak’. Ini soal kehormatan institusi, bukan soal saya. Smart, Pak Parip.
Selama pembukaan oleh MC dan juga sambutan oleh Pak Parip, saya berkomat-kamit sendiri memantapkan penampilan saya nanti. Di depan saya ada laptop yang menayangkan file Power Point untuk pengenalan pembicara yang tadi sudah saya copy-kan ke komputer panitia. Seperti orang yang tidak waras saya mencoba dan memantapkan ucapan saya agar nanti bisa tampil dengan baik. Saya ulangi beberapa kalimat yang saya anggap bisa menjadi pernyataan menarik dan melatih intonasi pengucapannya, meskipun hanya dalam hati. Saya sempat mencoba dua kali dan merasa sudah cukup siap. Saya berdoa semoga bisa menjalankan tugas dengan baik.
Dalam ketegangan dan beberapa detik setelah berlatih di kursi saya, terdengarlah panggilan MC untuk menugaskan saya sebagai moderator. Tepuk tangan hadirin mengantarkan saya maju ke panggung dan bersiap memulai moderasi. Kali ini saya tidak duduk di kursi atau menuju panggung tetapi berdiri di lantai tidak jauh dari kursi hadirin. Ini saya lakukan karena menyadari kondisi pembicara. Pak Handry adalah seorang lelaki berkursi roda dan beliau akan ada di lantai di depan hadirin, bukan di panggung. Saya ingin menyesuaikan itu dan menjadi lebih dekat dengan hadirin.
Prinsip saya, apapun yang dikatakan oleh moderator, tujuannya hanya satu: meninggikan pembicara dan menunjukkan kehebatannya. Ini penting. Kata-kata seorang moderator tidak pernah soal moderator itu sendiri. Kalaupun dia berbicara tentang dirinya, itu dalam rangka, lagi-lagi, meninggikan pembicara. Sayapun menerapkan apa yang sudah saya latih dan persiapkan. Tentu ada guyon, ada juga hal serius.
Saya mulai dengan membahas nama belakang Pak Handry. “Satriago itu berasal dari dua kata”, demikian saya sampaikan, “Satria dan go. Satria itu dari Ksatria yang artinya seorang yang sportif dan memiliki naluri kepahlawanan sedangkan go itu artinya bergerak. Bayangkan, kita sekarang kedatangan seorang kesatria yang siap bergerak dengan cekatan. Tepuk tangan untuk Dr. Handry Satriago!” Demikian kira-kira kalimat saya dan disambut tepuk tangan hadiri. Moderasi berlanjut dan saya mulai merasakan ketertarikan dan perhatian penonton. Not bad lah. Di slide terakhir saya mengatakan “Pak Handry mengingatkan saya pada ucapan masyur peresiden Amerika, FDR ‘Nothing to fear but fear itself’. Bapak Ibu dan hadirin, kita sambut Dr. Handry Satriago” dengan nada yang mengundang emosi dan segera disusul gemuruh tepuk tangan hadirin.
Pembicara yang baik selalu memberikan apresiasi. “Di kantor, saya belum pernah saya dikenalkan dengan cara yang sebaik ini Mas. Ada chart segala” kata beliau dan disambut tawa hadirin. Saya tahu itu bagian dari strategi pembicara kelas kakap tapi sejujurnya saya senang. Beberapa menit kemudian. Dr. Satriago membius kami. Hadirin terpukau dengan pemaparan beliau sampai kemudian ada tanya jawab yang sangat intens karena peserta antusias. Ada yang bertanya ada juga yang ‘sekedar’ menyampaikan kekagumannya.
Saya terbawa emosi positif. Saat menutup, saya kutip puisi Invictus di bait terakhir, semata-mata karena Pak Handry menyebut perhatiannya pada puisi di bagian akhir pemaparan. “Saya tidak akan simpulkan Pak tapi izinkan saya menutup dengan sepenggal puisi yang konon membuat Nelson Mandela bertahan di penjara selama puluhan tahun tidak menyerah. Saya kira puisi ini tepat menggambarkan kisah Bapak. Bait terakhirnya berbunyi begini it matters not how straight the gate. How charged with punishment the scroll. I am the master of my fate. I am the captain of my soul. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah untuk Dr. Handry Satriago sebagai tenda terima kasih.” Ruangan pun riuh rendah oleh tepuk tangan dan saya melangkah pasti menuju kursi. Tugas telah ditunaikan.
Merinding bacanya. Good job, Pak Andi 🙂