Denpasar dinobatkan menjadi kota paling Islami di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maarif Institute (MI). Berita ini menggelitik saya dan ternyata juga menarik bagi banyak orang lainnya. Seorang sahabat bahkan secara khusus mention saya di Twitter terkait berita ini.
Berita ini menarik karena setidaknya dua hal. Pertama, Denpasar adalah kota dengan penduduk mayoritas beragama Hindu, bukan Islam. Kedua, Padang, sebagai kota yang mayoritas penduduknya Islam, menempati urutan nomor dua dari bawah. Yang ini tentu mengejutkan banyak orang karena kesimpulan kasarnya menjadi terdengar ‘aneh’: Kota yang non Islam justru lebih Islami dibandingkan kota yang Islam. Ada apa dengan Islam? Atau, ada apa dengan penelitian MI?
Di media sosial, saya sudah menemukan banyak komentar yang mempertanyakan dan bahkan mencibir hasil penelitian MI ini. Tidak sedikit yang berkomentar miring, misalnya “kok bisa kota yang banyak diskotiknya, banyak cewek telanjangnya, banyak minuman kerasnya, menyandang gelar kota paling Islami?” Kalau dipikir, pertanyaan seperti itu cukup beralasan. Mari kita lihat.
Saya beragama Hindu dan tidak pernah membaca Alquran sehingga tidak tahu persis isi dan ajarannya. Meski begitu dari pergaulan dengan teman-teman Islam dan hasil menyimak ceramah di berbagai media yang didengar dengan sengaja maupun tanpa sengaja, saya tahu bahwa keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan adalah tiga keadaan yang ingin dicapai oleh Islam. Sederhananya, dengan beragama Islam, orang pasti ingin hidupnya aman, sejahtera dan bahagia, selain memiliki keinginan lain tentunya. Jadi, tanpa melihat perilaku dan ritual agama, ketiga nilai itu juga merupakan indikator keislamian. Tentu saja ada indikator lain.
Nampaknya, MI menggunakan ketiga indikator itu (keamanan, kesejahteraan, kebahagian) untuk menilai keislaman sebuah kota. Sederhananya, karena ketiga hal itu diyakini sebagai hal yang ingin dituju oleh umat Islam maka kota yang penduduknya merasakan ketiganya disebut sebagai kota Islami. Logikanya bisa diterima. Yang menarik dan membuat orang terkaget-kaget, Denpasar menempati peringkat pertama (bersama Jogja dan Bandung) dan Padang di urutan yang nyaris bontot. Secara tidak langsung, ada pemahaman bahwa proporsi jumlah penduduk beragama Islam ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat keislamian suatu kota, jika keislamian itu dinilai dari ketiga indikator tadi.
Seandainya saja keislamian dalam penelitian MI itu dinilai dari indikator lain seperti ketertutupan pakaian perempuan, rajin tidaknya sholat, hafal tidaknya akan Alquran, konsumsi minuman beralkhohol, tentu hasilnya akan berbeda. Denpasar sepertinya tidak akan ada di peringkat pertama. Di sisi lain, penggunaan ketiga indikator ini oleh MI dalam penelitiannya, menurut saya, sangat bisa diterima. Keislamian dinilai dari hilir atau hasil, bukan dari hulu atau proses. Tentu saja ini tidak untuk mengatakan bahwa proses itu tidak penting. Rupanya MI memandang bahwa keislamian seseorang pada akhirnya harus mewujud menjadi keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang hadir dalam kehidupan pemeluknya.
Saya rasa, pandangan serupa juga dianut oleh agama lain di dunia. Hindu jelas punya tujuan agar pemeluknya merasakan keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Kristen, Katholik, Budha, Kong Hu Chu rasanya tidak jauh berbeda. Jika ingin dikembangkan lebih jauh, orang yang Atheis sekalipun pasti senang kalau merasakan ketiga hal itu. Kaum Agnostik kemungkinan juga demikian. Dalam hal ini, ritual, perilaku keagamaan, tradisi, bisa saja berbeda tetapi ada hal-hal yang berlaku universal dan sifatnya memang lintas iman.
Yang menarik untuk didiskusikan, menurut saya, adalah klaim bahwa “aman, sejahtera dan bahagia” itu disebut “Islami”. Mengingat ini adalah nilai-nilai universal yang tentu ada juga di agama lain, tentu saja agama lain bisa mengatakan bahwa kota yang penduduknya demikian itu adalah “sangat Hindu” atau “amat Nasrani” atau “sesuai nilai-nilai Budhisme” atau “katholik banget” atau sebutan lainnya. Menyebut itu “Islami” jelas tidak salah, tentu saja.
Terkait dengan status kota Islami yang disematkan pada Denpasar, tentu banyak orang Denpasar juga bertanya-tanya. Orang-orang Hindu dan non Muslim lainnya di Denpasar yang bahkan tidak tahu menahu tentang ajaran Islam tentu bisa ‘terkejut’ karena tiba-tiba mendapat predikan Islami. Boro-boro Islami Bro, pegang Alquran saja tidak pernah, kata mereka sambil meringis, terutama jika belum memahami dasar pemikiran MI dalam penelitiannya.
Membaca hasil penelitian itu, saya membayangkan Wayan Koplar, sahabat saya di Denpasar. Terbayang, dia mendapat telepon dari Genjo, sahabatnya di Jogja pagi-pagi buta ketika dia masih setengah terlelap.
“Plar, selamat ya, Denpasar memang keren!”
“Hm.. keren kenapa?” jawab koplar malas-malasan sambil terpejam
“Lho, gimana sih. Denpasar menjadi kota paling Islami di Indonesia”
“Hah? Gimana? Apanya?” Koplar belum konek.
“Ya, penelitiannya dari Maarif Institute. Keren pokoknya!”
“Bagaimana ceritanya Njo?”
“Kamu merasa aman nggak hidup di Denpasar?”
“Ya”
“Merasa sejahtera?”
“Ya”
“Merasa bahagia?”
“Ya”
“Nah, itu! Itu namanya Islami, menurut Maarif Institute”
“Kok bisa gitu?”
“Ya bisa lah. Itu memang nilai atau keadaan yang ingin dituju oleh Islam. Jadi kalau kamu merasakannya, berarti kehidupanmu Islami.”
“Oh gitu. Baru tahu aku. Aku pikir itu Hindu”
“Maksudmu?”
“Selama ini aku menjalankan ajaran Hindu, sembahyang ke Merajan baca Bagavadgita, ngayah di Pura. Tujuannya biar hidup jadi aman, sejahtera dan bahagia. Aku pikir aku merasakan ketiga hal itu karena menjalankan ajaran Hindu. Ternyata itu Islam ya?”
“Hmm…” Genjo terdiam sesaat, mulutnya mendesis.
“Tapi aku ga pernah baca Alquran, Njo. Kok bisa jadi Islami?”
“Ini bukan soal tahu atau soal menjalankan ajaran Islam atau tidak. Ini soal kondisi hidup yang sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Itu namanya Islami.”
“Oh jadi kita bisa disebut Islami jika aman, sejahtera dan bahagia, meskipun itu dicapai dengan menjalankan ajaran Hindu?”
“Ya, kira-kira begitu.”
“Hmm… baru tahu…”
Percakapan di atas bersifat imajiner tetapi sangat mungkin terjadi. Orang-orang Denpasar yang tidak beragama Islam, bisa jadi terkejut-kejut saat diberi label “Islami” padahal mereka bahkan tidak paham (apalagi menjalankan) ajaran Islam. Sebagian bahkan ada yang merasa menjalankan ajaran agama tertentu selain Islam untuk bisa merasakan keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan dan ‘shocked’ karena tiba-tiba mendapat predikat “Islami”.
Lepas dari itu semua, mendapat predikat sebagai kota yang paling aman, sejahtera dan bahagia tentu menyenangkan. Bahwa label “Islami” akan menimbulkan diskusi atau bahkan perdebatan, itu adalah perkara lain. Selamat untuk Kota Denpasar sebagai kota paling aman, sejahtera dan bahagia di Indonesia menurut Maarif Institute.
Artikel yang bagus sekali. Saya setuju jika indikatornya demikian. Izin share link di twitter ya, Pak 🙂
mantaaapppppppppp
idenya bukan baru lagi Bli. boleh dibilang ini ‘nyontek’ penelitian sebuah universitas di Amerika yang melakukan hal yang sama untuk mengukur kadar keislami-an negara-negara di dunia sekitar dua tahun lalu.
pemenangnya juga cukup ‘mengejutkan’ seperti halnya Denpasar, Irlandia dinobatkan sebagai negara paling islami meski notabene Irlandia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen. yang menarik lagi, cuma ada dua negara ‘Islam’ yang masuk top 50! Malaysia dan Kuwait. bahkan Arab Saudi sekalipun ternyata kurang cukup Islami menurut hasil penelitian tersebut hehe. apalagi kalau negara isis dimasukkan ya, bisa paling bontot tuh :-p
membaca hasil penelitian ini memang harus dengan nalar waras dan sehat, jangan pakai sumbu pendek hehe. karena indikator yang dipakai juga kurang lebih serupa dengan yang dipakai MI di atas. lebih ke ‘Islamic values’ daripada ritual keagamaannya.
eh, jadi panjang 😀
dulu pas hal ini rame dibahas oleh sosmed internasional, back in 2014, aku sempet pengin jadiin postingan blog, tapi ragu dan akhirnya ga jadi. karena risiko pembaca bersumbu pendek ngamuk-ngamuk ga terima sangat tinggi haha. aku memang blogger cemen.
silakan yang penasaran dengan berita tentang “the most Islamic country in the world” tautannya ada di sini: http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/ireland/10888707/Ireland-leads-the-world-in-Islamic-values-as-Muslim-states-lag.html
Makasih mb. Saya ingat penelitian serupa ini jg pernah ditulis oleh Qomarudin Hidayat di Kompas. Dan heboh tentunya 🙂
Benar mbak..saya tinggal di Irlandia dan mayoritas penduduk di sini beragama Katolik roman dan saya muslim..dan kalo mengacu ke hasil penelitian itu rasanya kok gak masuk akal wong cari mesjid aja susah .. tp memang tulisan itu harus di pahami dg cara pandang dan nalar yang berbeda..bukan yg ‘bersumbu pendek itu “
Maksih mb Adelina 🙂
hebat ya, salut deh
Menarik sekali Pak Andi ulasannya. Saya ketinggalan berita tentang ini dan sekarang jadi ikutan menelaah. Tapi yang pasti Denpasar dan Bali secara keseluruhan selalu di hati buat saya dan suami 😊
Suksma 🙂
Pak Andi, menurut saya yg keliru adalah pelabelan “Kota Islami” oleh MI. Sebab ke-3 aspek yang menjadi indikator (aman, sejahtera, dan bahagia) bukan saja milik Islam, tapi milik semua agama (nilai universal). Yang paling tepat menurut saya adalah “Kota Paling Aman, Sejahtera, dan Bahagia di Indonesia” dgn Jogja, Bandung, dan Denpasar sbg juaranya.
Kalau MI ingin meneliti Kota Paling Islami di Indonesia, maka indikatornya harus diubah.
Terima kasih…
artikel menarik mas Andi. Analisisnya menggugah 🙂
Artikel yang menarik mas Andi. Analisisnya menggugah 🙂
Matur nuwun Mas Ferry
Terima kasih banyak sudah berbagi Pak Andi…sukses selalu..
salam sejuk dari Bandung 🙂
Siap…
Menarik sekali tulisannya Pak Andi…
Saya kira juga, perlu ada indikator yang lebih khusus lagi untuk menyematkan kata islami jika dilakukan penelitian mengenai hal terkait karena indikator yang digunakan dirasa masih bersifat universal. Hal ini pun bisa menyinggung penganut agama lainnya, saya kira. hehe…
Semoga MI bisa melihat hal ini sebagai bahan evaluasi…
Izin share ya!
Terima kasih Wazifa. Pandangan yg baik 🙂
Terima kasih Pak, tulisannya menarik. Saya juga merasa demikian. Seringkali, kita terpaku pada tampak luar, bukan inti dalam. 🙂
pembahasan ini sudah pernah terjadi 2 tahun lalu kalau tidak salah pak, judul artikelnya : Seberapa Islam Negara Islam. hasilnya sudah dijelaskan oleh mbak Nayarini di atas.
artikel tentang hal tersebut juga sudah pernah dibahas oleh Bapak Din Syamsudin ketika ceramah selepas shalat tarawih di Masjid Kampus UGM waktu itu.
seingat saya, yang menjadi pokok bahasan Bapak Din Syamsudin kala itu bukan ternyata Irlandia negara dengan Islam sebagai minoritas tapi bagaimana Irlandia bisa mengaplikasikan hidup secara Islami seperti tidak ada korupsi, antre yang rapi, dan sejenisnya sehingga menjadikan Irlandia aman dan tentram seperti cita-cita dalam agama Islam. semoga ada yang mau mengoreksi komen saya ini juga 🙂
ya meskipun sebenernya kalau dilihat Negara Islami harusnya Negara yang menerapkan ajaran agama Islam, menggunakan syariat Islam sebagai hukum yang berlaku. tapi saya justru setuju dengan hasil tersebut dan harusnya menjadi tamparan bagi negara negara yang mayoritasnya berpenduduk muslim. 😀