Ruangan itu besar dan nampak dipersiapkan dengan baik. Kursi-kursi berwarna biru berderet di tiga sisi lokasi dengan jumlah tidak kurang dari 500. Gedung konferensi itu berukuran besar dengan mimbar pembicara berdiri megah di bagian depan. Ukiran-ukiran di mimbar nampak mentereng, berpadu cantik dengan rangkaian taman yang dipenuhi bunga. Indah dan sejuk di mata.
Di mimbar itu saya duduk dan berusaha tenang, memandang ratusan pasang mata yang mengamati seksama di sisi kiri, kanan dan depan. Mereka menunggu-nunggu dengan penuh harap dan bahkan cemas. Di samping saya duduk tenang seorang pakar dari Singapura berkebangsaan Vietnam, seorang ahli dari Malaysia dan Seorang Menteri dari Timor Leste. Kami berempat akan berbagi pengetahuan, berusaha dengan baik mencerahkan para khalayak.
Beberapa jam sebelumnya, di meja yang sama duduk Perdana Menteri Timor Leste, Presiden International Tribunal for the Law of the Sea, Profesor Lowe yang adalah barrister terkemuka Kerajaan Inggris, dan seorang Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Batas Maritim Indonesia-Malaysia. Mimbar ini masih terasa hangat. Hangat oleh wibawa orang-orang yang terkemuka pandangannya soal batas maritim dan hukum laut. Kini saya terselip di antara mereka dengan perasaan penuh syukur bercampur cemas dan khawatir. Saya ada di mimbar itu karena undangan Maritime Boundary Office (MBO) Timor Leste yang sebelumnya sempat menikmati presentasi saya di Melbourne tiga bulan silam. Kesempatan yang satu memang mendatangkan kesempatan lain jika kita bekerja sepenuh niat.
Sementara Moderator memperkenalkan kami, saya memandang layar pandu di depan. Padanya tertulis judul acara yang mentereng “Dili International Conference: Maritime Boundaries and the Law of the Sea”. Di depan saya teronggok tenang sebuah penanda nama bertuliskan “I Made Andi Arsana” dan jauh di depan serta kiri kanan terlihat wajah-wajah penuh harap.
Mata saya terantuk satu wajah, yang duduk di sofa berwarna coklat kehitaman, yang tak lain dan tak bukan adalah Ramos Horta, Mantan Presiden Timor Leste yang legendaris itu. Dia adalah satu dari segelintir umat manusia yang pernah menerima Nobel Peace Prize. Di sebelahnya nampak Mari Alkatiri, Perdana Menteri pertama Timor Leste yang konon di masa mudanya adalah seorang surveyor seperti saya. Tak jauh dari situ terlihat Menteri Luar Negeri Timor Leste yang siap menyimak dengan takzim. Tak ada suasana yang lebih menegangkan dari itu bagi seorang penjaja ilmu. Berhadapan langsung dan didengarkan oleh orang-orang nomor satu dalam tampuk pemerintahan sebuah negara adalah kehormatan sekaligus ketegangan.
Bapak menteri memulai presentasinya dan kami semua menyimak dengan seksama. Dalam beberapa menit berikutnya, sahabat saya, perempuan ahli dari Malaysia angkat bicara. Dipaparkannya gagasannya tentang batas maritim dunia. Perempuan lulusan Kerajaan Inggris ini fasih berujar soal hukum laut internasional dan batas maritim. Meski diumumkannya pada semua orang bahwa apa yang meluncur dari mulutnya adalah pandangan pribadi, tetap saja perempuan itu adalah peneliti handal sebuah lembaga pemikir negeri jiran. Dia tak bisa lepas dari ‘belenggu’ yang sudah digariskan negaranya. Maka kata-katanya, menurut saya, adalah wakil dari pemerintah Malaysia. Saya tersenyum-senyum sambil menyimak karena saya tahu pemaparan itu adalah soal batas Malaysia dan Indonesia yang tak kunjung rampung.
Giliran saya tiba. Sepuluh menit saja yang saya punya dan harus tampil dengan gagasan yang layak disimak. Maka lembar tayang menjadi andalan dan gerak animasi memamerkan aksi. Tak urung meluncur kelakar berupa ujar-ujar atau visualisasi negara-negara berbagi yurisdiksi. Ada senyum di tengah ketakziman menyimak dan dan riuh rendah tawa jadi penanda rasa gembira. Saya melompat dari sekat-sekat kerseriusan, berkelakar soal kedaulatan atas pulau atau soal insiden dua negara di laut tanpa tuan. Delapan menit berlalu, moderator memberi peringatan sisa waktu dan saya bergegas merampungkan presentasi. Semua berakhir baik dan latihan sampai jam dua pagi sebelumnya terbayar tuntas, lunas tanpa bekas. Tak lupa, satu dua argumen untuk ‘menyeimbangkan’ klaim dan pernyataan sahabat peneliti Malaysia tentu saya lontarkan. Akademisi tak boleh memilih sisi tapi nasionalisme juga perlu panggung untuk ekspresi.
Pertanyaan pertama muncul dari sahabat warga Timor Leste dan ditujukan pada saya. Mungkinkah Indonesia mengklaim Pulau Christmas yang kini dimiliki Australia? Sangat politis dan nakal, tentu saya tak boleh hilang akal. Maka saya sorotkan prinsip uti posidetis juris pada hadirin dan berusaha cerahkan mereka akan prinsip legendaris bahwa wilayah satu negara mengikuti penjajahnya. Maka Pulau Christmas yang memang milik Inggris, bukan Belanda, sudah selayaknya untuk Australia, bukan Indonesia. Tentu saja kelajar boleh keluar. “But thank you for your idea, I will ask my president to consider it” dan derai tawa membahana.
Berbagai pertanyaan lain bermunculan dan suasana begitu hangat. Di penggal akhir acara, sekelompok penduduk lokal bahkan berteriak dan meminta waktu bicara. Saya tidak paham karena mereka berbahasa Tetun tetapi saya paham ada semangat dalam ucapannya, bahkan kemarahan. Entah apa yang terjadi. Saya duga, mereka adalah orang-orang yang tidak puas dengan interaksi Timor Leste dengan Australia dalam hal batas maritim. Pengalaman konferensi ilmiah yang menarik karena politik jadi pemantik dan saya terpapar pelajaran unik.
Selepas presentasi, tak sedikit yang mendekat. Mereka orang-orang baik dan murah pujian. Mudah-mudahan bukan basa-basi karena itu artinya latihan sampai jam dua pagi benar-benar terbayar lunas dan tuntas. Media berdatangan, wartawan minta wawancara. Metro TV dan Jakarta Post tak mau ketinggalan berebut waktu dengan Radio Timor Leste. Sebentar lagi gagasan ini akan terbang ke luar gedung konferensi, memasuki dapur, restoran, balai desa atau kantor-kantor pemerintah. Semoga mencerahkan.
Malam hari, saat makan malam perpisahan, obrolan hangat terjadi dengan Pak Menlu Timor Leste. Lulusan Malang ini fasih berbahasa Indonesia dan santun bukan buatan. Kepada beliau juga saya titipkan seorang mantan bimbingan skripsi saya, orang Timor Leste yang meneliti batas maritim, untuk diberi kesempatan belajar dan berkarya. Memang demikianlah tugas seorang guru, membuka jalan dan sebanyak mungkin pintu bagi muridnya. Inilah the power of networking. Malam itu menyenangkan. Mungkin juga karena tiba-tiba datang tiga perempuan Timor Leste dengan penampilan yang khas, sekedar untuk mengatakan mereka menyukai presentasi saya. They are too kind.
Dili saya tinggalkan dalam keadaan cerah, secerah wajah-wajah panitia konferensi yang sebagian besar berwarna bule. MBO memang didominasi orang Australia, entah apa pasalnya. Para pakar Timor Leste jelas belum menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Meski demikian, mereka murah senyum. Setidaknya senyum itu diumbar oleh pegawai Hotel Nuvo Turismo yang selalu membungkukkan badan sambil menempelkan tangan di dada begitu bertemu tamu.
Dili saya tinggalkan dengan satu harapan. Harapan agar perhelatan di ruang konferensi megah itu memberi dampak yang nampak. Harapan agar tiket pesawat kelas bisnis yang dibayarkan panitia untuk saya tak hanya berakhir di laporan keuangan bagi pendonor. Harapan agar dia menetes jauh ke bawah, memberi kesejukan pada wajah bocah-bocah Timor Leste yang berlari bertelanjang kaki di panasnya jalanan Dili yang kadang berdebu. Harapan agar kelak, di antara Timor Leste dan Indonesia serta Australia berdiri pagar batas yang membuat hak dan kewajiban menjadi jelas dan tegas. Harapan agar pagar batas itu tidak memisahkan tetapi menghubungkan peradaban yang pada dasarnya bersaudara. Maka saya pulang dengan tenang, bersiap-siap menyeduh kopi Timor Leste, sambil mengenang Mei di Kota Dili.
Dalam pesawat dari Dili ke Denpasar, 20 Mei 2016
Jadi ingat lagu Rita Effendi, “Januari di Kota Dili”
…wah seru sekali konferensinya, saya speechless hehe. Ada video resminya Bli? Pengin nonton jika ada.
Tunggu ya 🙂
Tulisan se-apik ini hanya dicreate di dalam pesawat. Amazing. Luar biasa Pak Andi *twothumbs*
Makasig ya Bro 🙂
Terima Kasih banyak Pak Andi, saya terharu sekali saat membacanya sampai paagraf ke 11. Kata Terima Kasih saja tidak Cukup untuk mengutarakan ke bapak. Semoga Pak Andi menikmati Kopi Timor Lestenya 🙂 .
Terima Kasih pak Andi, saya senang sekali bapak menuliskan artikel se-Indah ini dan Juga terharu saat membacanya sampai di Paragraf ke 11. Terima Kasih, bangga dan bersyukur sekali pernah menjadi anak bimbingan Skripsi bapak. semoga pak Andi menyukai Kopi Timor Lestenya. Ijin Share yah Pak?
Terima kasih Cherli…