
Pemilu masih sangat jauh, tapi desas-desus soal partai mulai terdengar. Made Kondang yang sebenarnya apolitis tidak terhindar dari deru politik yang mulai menggeliat. Meski tidak begitu paham akan ideologi, Kondang memiliki pilihan politik sendiri. Dipilihnya sebuah partai bukan karena telah dipahami segala ideology, visi, misi dan programnya tetapi semata-mata karena nenek moyangnya telah menunjukkan kesetiaan pada partai yang sama sejak waktu yang tidak bisa diingat lagi. Singkat kata, Kondang berpartai karena keturunan. Kondang tidak pernah mempertanyakan pilihan partainya hingga suatu hari:
“Kamu pikirkanlah masak-masak Kondang. Kalau kamu berubah pikiran, beritahu aku.”
“Tapi aku tidak pernah berpikir untuk pindah Partai, Plar.”
“Tidak usah buru-buru memutuskan. Biarkan dulu beberapa saat, baru kamu jawab.”
“Rasanya tidak mungkin Plar. Ini soal pilihan nenek moyang.”
“Kondang, kita ini generasi milenum ketiga. Kita merdeka untuk memilih. Jangan terikat oleh apa yang dilakukan nenek moyang di masa lalu. Tentukan sikap sendiri dong. Generasi kita juga berhak membuat sejarah.”
Koplar berapi-api menasihati Kondang. Dia yakin seyakin-yakinnya, Kondang akan lebih baik jika pindah partai. Mendengar penjelasan Koplar, Kondang tercenung. Dia mencoba menaik-naikkan kapasitas otaknya yang tak seberapa untuk memahami penjelasan Koplar. Meski tidak pintar, dia bisa menduga-duga ada kecerdasan dalam pendapat Koplar terakhir, terutama terkait millennium ketiga. Sementara itu, Koplar melihat perubahan air muka Kondang yang sepertinya mulai menunjukkan ketertarikan. Dia tidak sabar menunggu jawaban Kondang.
“Plar…”
“Ya, gimana? Apa kamu sudah tertarik untuk pindah partai?”
“Aku boleh tanya sesuatu?” Kondang menunjukkan wajah serius.
“Ya, tentu saja. Tugasku memang untuk meyakinkamu, menjelaskan apa yang bagimu tidak jelas.”
Kondang terlihat serius mempertimbangkan masak-masak pertanyaan penting yang akan disampaikannya. Sementara itu Koplar siap-siap menerima pertanyaan berbobot yang sebentar lagi akan meluncur dari mulut Kondang. Diam-diam dia merasa gentar melihat keseriusan Kondang dalam menyiapkan diri. Tiba-tiba dia merasa khawatir kalau pertanyaan Kondang sedemikian kritis sehingga sulit baginya untuk menjawab.
“Millennium itu artinya apa sih?” tanya Kondang kalem, penuh rasa penasaran bukan buatan.
Koplar bengong sejenak lalu mengumpat. Dia, seperti biasa, lepas kendali saat menyatakan betapa bodohnya Kondang dan betapa tidak inteleknya pertanyaan itu. Sementara itu Kondang hanya terbengong, mengapa pertanyaan berkelas itu bisa membuat Koplar marah dan mengungkit-ungkit ketidakterdidikannya. Tidak mendapat jawaban semestinya, Kondang kembali bertanya.
“Apa yang dijamin oleh partaimu?”
“Kemenangan saat pemilu.” Kata Koplar mantap.
“Bukankah itu janji semua partai?”
“Ya, tapi partaiku ini lain dari yang lain. Kalau berjanji pasti dipenuhi. Partaiku adalah yang terbaik.”
“Kamu sudah mempelajari semua partai?”
“Belum.”
“Kenapa kamu yakin partaimu yang terbaik, kalau belum tahu partai lain?”
“Ini soal keyakinan Bung! Aku yakin partaiku yang terbaik dan akan menang. Dalam buku petunjuknya dikatakan demikian. Kondang, partaiku adalah partai baru, partai termuda dan terbesar. Dia adalah penyempurnaan dari partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Partaiku memperbaiki segala kelemahan yang ada pada partai pendahulunya. Aku yakin itu.”
“Selain janji kemenangan, apalagi yang menjadi ciri khas partaimu?”
“Para pengikutnya punya sikap hidup yang baik.”
“Kocong itu dari partaimu bukan?”
“Ya, kenapa?”
“Kamu tahu dia mencuri jagung di sawah Nang Kompiang minggu lalu?”
“Kocong itu oknum. Dia pasti tidak paham apa yang tertulis dalam buku panduan partai dan tidak mendengarkan nasihat para tokoh partai.”
“Oh oknum? …”
“Ya, oknum. Kocong itu bertindak atas nama sendiri dan itu tidak mewakili partai.”
“Masih ingat dengan Bagleg yang memukuli Bagong saat kampanye dua tahun lalu?”
“Ya, kenapa?”
“Bagleg dari partaimu kan?”
“Ya, tapi dia salah memahami apa yang tertulis dalam buku petunjuk partai. Itu tidak pernah diajarkan oleh partai dan tidak pernah disarankan oleh para petinggi kami. Dia itu tersesat. Dia tidak mencerminkan seorang anggota partai kami.”
“Waktu ditanyai oleh Kelihan Banjar, dia bilang, apa yang dilakukannya itu sesuai dengan perintah buku panduan partai.”
“Itulah Kondang, dia itu salah memahami. Buku panduan partai hanya mengatakan ‘lawanlah mereka yang menghalangimu menjalankan tugas yang diamanatkan oleh partai’. Itu kan tidak harus dilakukan dengan memukul mereka yang berasal dari partai lain, hanya gara-gara rebutan tempat masang spanduk.”
“Jadi, oknum juga?”
“Ya, dia itu oknum.”
Kondang merenung dalam, dia mulai memahami penjelasan Koplar.
“Eh, tumben kamu pakai baju yang agak bersih. Dikasih siapa?” Koplar memperhatikan baju Kondang yang tidak lusuh seperti biasa.
“Oh, aku dikasi oleh Pak Wayan Suka. Baik sekali orang itu.”
“Aha! Kamu tahu?! Pak Wayan itu anggota partaiku. Itu adalah anggota partai yang benar, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh buku petunjuk partai. Kami bangga memiliki anggota seperti Pak Wayan Suka.”
“Tapi Plar..” Kondang memotong kalimat Koplar yang memanjang.
“kenapa?”
“Bukannya Pak Suka memang sudah baik sebelum dia masuk partai kamu. Dia memang baik dari sananya, meskipun saat itu tidak berpartai.”
“Justru itu Kondang. Dia mendapat alasan yang lebih kuat untuk berbuat baik setelah masuk partai kami. Pak Wayan Suka adalah contoh anggota partai yang ideal.”
“Oh begitu, jadi dia bukan oknum?
“Bukan. Dia bukan oknum. Kamu lihat saja buku petunjuk partaiku. Apa yang dilakukan oleh Pak Wayan Suka itu persis seperti yang diajarkan di sana. Kita harus menolong mereka yang tidak mampu.”
Kondang mendapat pemahaman yang lebih baik lagi. Dia kini mengerti bahwa oknum adalah seseorang yang berbuat kurang baik. Jika ada yang berbuat baik, itu bukan oknum tetapi wakil. Dalam bahasa orang pintar, para orang baik itu representasi dari partai. Kondang merasa bahwa tugas pendiri partainya Koplar sangat menarik yaitu membuat buku petunjuk yang bagus sebagai pedoman bagi anggota. Jika ada anggota yang tidak sesuai buku petunjuk, maka mereka adalah oknum dan jika anggota menjalankan petunjuk itu dengan baik, mereka dibanggakan. Sebuah tugas yang cukup mudah, tidak repot, dan aman tanpa risiko dituduh jahat. Ini adalah kesimpulan Kondang yang volume otaknya di bawah rata-rata orang di sekelilingnya.
“Koplar…” Kondang membuka percakapan setelah lama terdiam.
“Ya”
“Mengapa kamu semangat sekali mengajakku pindah partai?”
“Aku lihat kamu orang baik Kondang, meskipun kamu tidak pintar. Kebaikanmu itu sesuai dengan ajaran partaiku. Kamu sangat tepat berada di dalam partaiku, seperti halnya Pak Wayan Suka. Orang-orang baik sepertimu harus berada dalam partai yang tepat. Orang baik sepertimu jangan sampai menyesal nanti karena telah memilih partai yang salah.”
Kondang merenung mendengar ucapan kawannya ini. Penjelasan ini memberinya pemahaman baru tentang pandangan seorang Koplar terhadap diri dan partainya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Koplar, Kondang selalu yakin bahwa dirinya seperti sekarang ini, yang menurut Koplar baik, justru karena dia belajar nilai-nilai dari partainya sendiri.
“Jadi, aku sebaiknya pindah partai?”
“Betul! Tepat sekali!”
“Akan jadi seperti apa aku jika masuk partaimu?”
“Kamu akan jadi seperti Pak Wayan Suka.”
“Adakah yang bisa menjamin aku tidak menjadi seperti Bagleg atau Kocong yang salah memahami buku petunjuk partai?”
“Tidak Kondang! Kamu adalah orang baik. Kamu tidak akan salah memahami.”
“Kalau aku sudah baik tanpa menjadi anggota partaimu, mengapa aku harus pindah partai?”
“Karena dengan bertahan dalam partai kecilmu sekarang ini, kamu tidak akan menjadi pemenang pemilu.”
“Itu saja alasannya?”
“Kalau nanti terjadi sesuatu di negeri ini, yang selamat adalah mereka yang dari partaiku”
“Kok bisa begitu?”
“Ya, karena itu memang janji dewan pembina partai. Hanya anggota partai yang akan diselamatkan, yang lainnya tidak akan diselamatkan.”
“Berarti partaimu pilih kasih dong?”
“Bukan begitu, yang diselamatkan adalah mereka-mereka yang jalannya benar. Yang jalannya benar adalah yang menjadi anggota dan memilih partaiku.”
“Kalau dia tidak memilih partaimu, tetapi jalannya benar sesuai dengan yang diamanatkan partaimu, diselamatkan nggak?”
“Kalau dia masih belum masuk partaiku, artinya dia tidak sesuai dengan yang diamanatkan partaiku. Dan semua partai lain itu tidak sebaik partaiku. Jadi tidak akan diselamatkan.”
Kondang tercenung mendengar jawaban cerdas Koplar. Ada pemahaman baru dalam dirinya tentang partai yang diusung Koplar. Kondang tetap tidak merasa partainya yang terbaik tetapi penjelasan Koplar membuatnya tersenyum simpul, bahwa ide pindah partai ini cukup menggelikan.