Cerita dari Berlin


berlinEntahlah apa yang Anda pikirkan ketika membaca ini. Berlin bisa mengingatkan banyak hal berbeda pada masing-masing orang. Dulu, di awal tahun 1990an, saya teringat mendiang Farid Hardja ketika mendengar kata Berlin. Pasalnya, dia meyanyikan lagu tentang runtuhnya Tembok Berlin. Di Belakang hari saya mengingat Berlin sebagai suatu tempat yang pernah menunjukkan bentuk paling nyata sebuah perbatasan antarnegara. Berlin juga mengingatkan saya pada seorang kawan di Jakarta yang bernama Berlina karena lahir di Berlin ketika ayahnya menjadi diplomat. Anda boleh mengingat apa saja soal Berlin tetapi kali ini saya akan mengingat sebuah perjalanan.

Jerman adalah kunjungan luar negeri pertama saya tahun 2013 ini. Kunjungan ke Berlin istimewa karena saya berbicara di sebuah acara yang penting, setidaknya menurut saya: Simposium Ketahan Bumi atau Earth Resilience. Tidak hanya itu, ini adalah kunjungan saya yang pertama ke ibukota Jerman itu, meskipun sebelumnya sudah pernah ke Heidelberg, Munich dan Frankfurt.

Saya mencoba mencatat hal-hal yang memberi pelajaran. Saya bercerita soal undangan dan perjuangan mendapatkan visa yang akhirnya mengantarkan saya ke Berlin. Ada juga kisah tentang rumitnya mendapatkan dana untuk perjalanan itu sampai-sampai saya harus memohon atau mengancam banyak pihak. Akhirnya saya menempuh perjalanan panjang hingga 30an jam dari pintu ke pintu karena Berlin memang sangat jauh dari Sydney. Saya juga berkisah tentang presentasi saya di depan Duta Besar Indonesia di Berlin dan animasinya yang selalu jadi andalan untuk menyampaikan gagasan saya. Saat itu saya berbicara tentang dampak perubahan iklim pada kedaulatan dan hak berdaulat. Saya menyaksikan banyak presentasi di Berlin yang tidak semuanya memukau. Ada beberapa hal yang menjadi catatan dan pelajaran, termasuk presentasi saya sendiri yang akhirnya saya tahu kelemahannya lewat rekaman.

Yang sangat berkesan selain simposium dan presentasi adalah soal kebersamaan dengan teman lama dan baru. Kami sempat menghabiskan malam di sebuah restoran halal sambil berkelakar akrab dan bersahabat. Setelah acara resmi, tentu saja saya juga menjelajah Kota Berlin untuk napak tilas kisah perbatasan yang diwakili oleh Tembok Berlin yang tersohor itu. Selama di Berlin saya juga bertemu dengan Ibu Ani Yudhoyono secara tidak sengaja dan Presiden SBY saat jamuan makan siang. Ada banyak hal yang saya simak dari pertemuan itu.

Di Berlin saya tinggal bersama Ayu, seorang sahabat lama, yang tinggal di rumah seorang perempuan berumur bernama Anna. Pertemuan singkat saya dengan Anna berkesan baik dan penuh pelajaran. Demikian pula Ayu, sosok perempuan muda yang inspiratif. Perjuangan hidupnya belajar dan bekerja di Jerman adalah lembar-lembar buku yang menawarkan pelajaran tanpa menggurui. Kisahnya tentang telur setengah matang begitu menawan. Perjalanan saya menjelajahi Berlin memang berkesan. Ada begitu banyak pelajaran yang tercecer dan pastilah tidak mampu terekam dalam catatan ini. Selamat membaca.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

5 thoughts on “Cerita dari Berlin”

  1. Selalu penuh inspirasi. Suksma Bli Andi atas tulisan-tulisan tentang Berlin kali ini. Semoga banyak anak muda Indonesia bisa termotivasi untuk maju, termasuk tiang. Salut dan bangga!

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: