Cerita ini bagian dari Berlin 2013
[youtube http://youtu.be/43TDXoXITgU]
Pagi itu, tanggal 4 Maret saya sudah termangu-mangu di kereta yang membawa saya ke Posdamer Platz. Hari itu kami, beberapa peserta Earth Resilience Simposium sepakat untuk jalan-jalan menjelajahi Berlin. Dian dan Faisal bertindak sebagai tour guide, sementara pesertanya adalah saya, Kang Ade, Vivi, Wiene, Adhitya dan Tiara. Sementara yang lain sepertinya punya agenda penjelajahan sendiri. Sebagai orang yang mempelajari perbatasan, target utama saya adalah Tembok Berlin sebagai wujud paling nyata perbatasan yang memisahkan Jerman Barat dan Timur di masa lalu. Sudah lama saya jadikan Tembok Berlin sebagai ilustrasi awal saat mengajar perbatasan. Saya jadikan ilustrasi bahwa batas antarnegara bisa saja lenyap karena bersatunya dua negara menjadi satu. Saat itulah, untuk pertama kalinya, Kenichi Omahe mempopulerkan istilah baru “borderless world”.
Saat melamun di kereta, tiba-tiba ada SMS dari Wiene mengatakan dia akan telat. Sayapun sebenarnya telat karena masih di kereta. Berikutnya sms masuk dari Faisal, ternyata telat juga. Setidaknya saya tidak merasa bersalah karena ada juga yang terlambat. Begitulah, kita sering lupa kesalahan, hanga gara-gara banyak orang lain melakukan kesalahan yang sama. Beberapa menit kemudian saya sudah tiba di Postdammer Platz. Saya menyentuh bagian Tembok Berlin yang sengaja disisakan di sana. Padanya terdapat berbagai bentuk graffiti yang sepertinya ditulis sejak zaman dulu. Di lantai saya lihat ubin yang disusun sedemikian rupa mewakili Tembok Berlin yang kini sudah tiada. Meskipun tembok pemisah itu sudah lenyap, di sana masih bisa disaksikan bekasnya. Pastilah ini disengaja untuk menjadi bukti sejarah pada peradaban Jerman pernah dipisahkan oleh sebuah tembok. Saya sempatkan mengamati garis itu dan membayangkan bagaimana suasana zaman dulu ketika tembok itu masih berdiri.
Dua puluh empat tahun setelah runtuhnya tembok itu, nuansa sejarah masih terasa dan dipertahankan. Saat seperti itu saya ingat tulisan Goenawan Mohammad di awal tahun 1990an ketika dia menulis tentang peta. Menurutnya, peta yang dibuat manusia itu rupanya tidak direstui oleh Tuhan maka peta itu senantiasa berubah. Yang dimaksud adalah muncul dan hilangnya garis batas di atas peta kerena adanya negara baru atau penggabungan dua negara menjadi satu. Hari itu, saya menyaksikan apa yang ditulis oleh Goenawan Muhammad sekitar dua puluh tahun itu. Obama juga menyebut Berlin Wall dalam pidato kemenangan pertamanya tahun 2008 silam. Dia menjadikan contoh runtuhnya Tembok Berlin sebagai tanda masih mungkinnya perubahan jika memang diniatkan dan diperjuangkan.
Saya sempatkan mengabadikan bagian tembok yang masih berdiri dan membuat video mengabadikan kunjungan bersejarah itu. Kami juga sempat berfoto bersama dengan berbagai gaya. Beranjak dari Postammer Platz, kami berjalan menuju bagian lain di Kota Berlin. Perjalanan yang ditempuh dengan jalan kaki itu terasa menyenangkan. Dingin winter yang tidak begitu ganas dan sinar matahari yang yang memberi kehangatan membuat perjalanan terasa nikmat. Yang terpenting sesungguhnya adalah percakapan dan kelakar diantara kami. Betul rupanya kata orang-orang bijak, bukan tempat dan waktu yang penting tetapi orang-orang yang kita ajak menikmatinya yang akan menentukan kualitas sebuah pengalaman. Dian dan Kang ade menyampaikan cerita tentang pemahaman mereka terhadap sejarah Jerman, sementara itu saya hanya menyimak. Adhitya yang tinggal lama di Jerman juga menyampaikan banyak informasi penting.
Kami lalu bergerak ke sebuah lokasi monumen yang konon merupakan tempat pembantaian orang-orang Jerman di masa lalu. Di lapangan itu, tersebar ratusan atau ribuan balok yang mewakili jiwa-jiwa yang menjadi korban. Monumennya dibuat dengan bentuk balok yang sederhana, disusun berbaris seperti candi pahlawan di Indonesia. Bedanya, monumen di Indonesia pasti dibuat indah berukir rumit, monumen di Berlin hanya berupa balok. Meski demikian, rancangan monumen seperti itu berhasil menghadirkan suasana menyejarah. Berjalan di lorong-lorong menumen itu membuat hati resah, terutama ketika berada di tengah-tengah saat monumen menjulang tinggi, jauh lebih tinggi dari tubuh manusia. Kami seperti tenggelam dan tersesat diantara jiwa-jiwa yang sekarat dan berteriak mengumandangkan kesedihan. Entah mengapa, ada rasa tidak enak pada diri saya dan ingin segera keluar dari kepungan balok-balok monumen itu. Demikianlah kekuatan karya seni. Tidak harus bentuknya aneh dan rumit, paduan bentuk sederhana yang berlatar sejarah penting bisa menghadirkan nuansa mistis yang menyentuh atau merisaukan hati. Kami segera meninggalkan monumen itu.
One thought on “Berlin 2013: Napak Tilas Kisah Tembok Berlin”