Cerita ini bagian dari Berlin 2013
Tanggal 3 Maret 2013, acara symposium berlangsung begitu seru. Pembicara bersemangat, pesertapun begitu antusias. Semua tertarik menyatakan pendapatnya dan diskusi berlangsung begitu menarik. Yang mengharukan, para peneliti senior seperti Bapak Sanusi Satar, dr. Tik Tan dan Dr. Desy Irawaty, mengikuti acara dengan sabar dan tekun. Sebagai senior, bahkan merelakan waktunya untuk tetap bersama anak-anak muda yang masih blingsatan mencari jati diri dan meneguhkan perannya di pentas akademik. Hari itu diakhiri dengan penyusunan rekomendasi yang berjalan setengah berkelakar tetapi efektif menelorkan hal-hal penting.
Malam telah gelap saat winter masih segar di Berlin ketika semua acara symposium telah kelar. Sebagian besar peserta masih tidak beranjak karena tidak mau melewatkan kesempatan bercakap-cakap santai dengan teman baru dan lama dari berbagai negara. Beberapa orang akan segera bertolak ke negara masing-masing sehingga sayang jika harus dilewatkan begitu saja. Beberapa orang setengah berkelakar minta diajari cara membuat animasi dengan power point. Wiene, salah seorang kawan dari Wina, Austria salah satu yang tertarik. Sempat juga saya peragakan beberapa tips sederhana membuat animasi dengan power point. Sementara itu, sebagian lain masih tidak percaya bahwa animasi itu dibuat dengan power point. Sebagian lain yakin kalau saya membuatnya dengan flash padahal saya sama sekali tidak bisa flash. Saya tegaskan lagi di sini, semua itu dengan power point saja, tidak lebih tidak kurang.
Tiba-tiba ada ide untuk jalan-jalan menikmati Berlin di malam hari sambil makan malam. Maka bergeraklah kami ke sebuah restoran yang konon menjadi favorit orang-orang Indonesia yang berkunjung ke Berlin. Itu adalah restoran halal dari Iran atau Iraq yang malam itu penuh luar biasa. Karena tidak bisa duduk di dalam, kami akhirnya rela duduk di kursi luar yang hanya dipagari plastik transparan. Tentu saja masih dingin untuk ukuran saya yang masih rindu summer Australia. Tapi keakraban yang terbangun secara perlahan membuat dingin terusir dan berganti kehangatan persahabatan yang terbangun pelan-pelan. Saya masih setia menemani Vivi. Bukan apa-apa, Vivi memerlukan laptop saya untuk membuat press rilis malam itu juga. Begitulah dedikasinya yang tinggi terhadap acara ini. Vivi dudukk di dalam sementara belasan teman lainnya sudah menempati kumpulan kursi di luar. Akhirnya Vivi terpaksa saya tinggalkan karena tidak tahan godaan untuk bergabung dengan teman-teman yang terdengar mulai heboh berkelakar di luar. Untung Vivi baik hati dan tidak sombong (mungkin juga rajin menabung) sehingga saya direlakan pergi meininggalkannya sendiri. Meski demikain saya sudah berjanji makan sepiring berdua nantinya. Bukan sok romantis tetapi demi irit karena besoknya saya akan pergi ke Praha untuk jalan-jalan *senyum*.
Saya mengambil posisi di samping Kang Ade, di sebelah kirinya ada dr. Tik Tan dan Pak Sanusi Satar. Sementara itu, saya lihat di sekitar itu ada Sri, Riswanti, Andiliza, Wiene, Dian, Adhitya, Tiara, Mas Iman, Lucky dan Faisal. Yang berlaku sebagai tuan rumah adalah Dian dan Faisal. Dian sibuk mendata pesanan masing-masing sampai berkeringat, sementara yang lain menikmati malam dan kelakar, tidak sadar kalau telah menyiksa Dian begitu rupa. Sementara itu Faisal yang kata Vivi mirip dengan Antonio Banderas itu sibuk melayani kami dengan membawakan air dan lain-lain. Faisal duduk di sisi paling luar agar mudah bergerak. Sungguh tuan rumah yang baik hati. Btw, Faisal masih single lho. Penelitiannya pun keren, tentang listrik yang dilakukan di Equador. Lelaki mirip Antonio Banderas, single dan melakukan penelitian di Equador, siapa yang berani lawan?
Sementara itu Kang Ade mulai menjalankan kesepakatan kami, sibuk mempromosikan blog dan twitter saya. Sebelumnya saya memang sempat membayar beliau untuk jadi PR saya selama konferensi. Kang Ade menjalankan tugas dengan baik mempromosikan @madeandi dan madeandi.com [yes, this is a joke]. Tapi, sungguh, saya merasa tersanjung dan amat sangat terharu atas apresiasi Kang Ade malam itu. Sementara itu, Mas Iman tidak begitu terpengaruh. Rupanya dalam pikiran beliau berkecemuk satu perihal: bagaiamana cara terbaik memikat Presiden SBY dua hari lagi lewat presentasinya. Sementara di depan saya agak kiri, Wiene senyum-senyum saja, masih terkenang masa-masa kuliahnya di IPB yang hampir tidak lulus pelajaran pemetaan. Menghadapi seorang surveyor geodesi seperti saya, tentu tidak sulit baginya untuk membangkitkan kenangan lama yang tidak menyenangkan itu. Meskipun dia mengaku akhirnya bisa lulus pelajaran pemetaan, saya sebenarnya agak sulit percaya kemampuan orientasi dan navigasinya. Entahlah benar atau tidak, konon women memang cannot read maps. Bisa jadi ini juga terjadi pada Wiene (*tunjuk dua jari tanda peace).
Di sudut lain, Lucky tidak banyak bicara menyaksikan tingkah polah para seniornya yang mungkin mulai terlihat aneh. Atau mungkin juga dia diam saja karena takut ada meteor atau asteroid mampir ke restoran itu dan memusnahkan kami semua. Lucky menutup sesi tadi dengan penampilan layaknya presenter handal meskipun menolak saya sebut seperti penyiar Silet. Dia menyajikan penelitian soal benda-benda angkasa yang sesungguhnya rumit tetapi berhasil dibawakannya dengan sangat baik dan mudah dipahami. Sekali waktu Lucky bergaya seperti guru TK yang sedang mengajarkan astronomi kepada anak didiknya. Karena menolak disebut seperti presenter Silet, saya nobatkan dia sebagai guru TK yang ramah dan baik hati. Tapi diam-diam, yang paling cocok jadi penyiar TV sebenarnya Kang Ade Kadarisman. Semua orang setuju itu.
Sri Rezeki yang duduk di depan saya masih tidak henti-hentinya tersenyum, wajahnya sumringah karena baru saja mendapat undangan dari Dr. Desy Irawaty (nama belakang tidak usah dibaca Iwawachy, biasa aja karena beliau orang Jawa) untuk menulis bersamanya dan akan diterbitkan oleh Rodledge (kalau ini boleh lah dibaca dengan logat nggaya). Saya tak henti-henti menggoda Sri karena keberhasilan ini. Diam-diam godaan dan sedikit kelakar itu sebenarnya wujud dari keirian saya, kenapa tidak diajak untuk ikut nulis di Rodledge. Rupanya kualitas tidak bisa menipu dan ditipu.
Di satu pojok lain, Riswanti menyimak setengah melamun. Rupanya dalam pikirannya berkecamuk satu perkara. Beberapa hari lagi Vivi, Sri dan saya akan mengikutinya ke Praha. Mungkin beliau mulai menimbang-nimbang seberapa besar kesulitan yang akan kami timbulkan nanti selama ada di Praha. Mengajak tiga orang yang belum pernah ke Praha tentu bisa menghabiskan energi yang tidak sedikit. Entahlah apakah Pak Sanusi Satar bisa membantu soal energi ini dengan geothermal yang selalu beliau banggakan itu. Lebih dari kekhawatiran itu, rupanya Riswanti masih resah lantaran tiket ke Praha belum di tangan karena pembelian lewat online mengalami kegagalan.
Di luar dugaan saya, Pak Sanusi Satar yang selalu bicara soal geothermal, malam itu hadir berbeda. Beliau lebih rileks dengan mengeluarkan guyon-guyon yang seriously lucu. Ada beberapa lelucon yang hanya bisa disimak oleh anak 17 tahun ke atas sehingga Andiliza yang senyum-senyum di pojok tidak bisa menyimak (#eh). Kicauannya yang renyah lewat Under Eiffel di Radio PPI Dunia yang biasanya hadir, malam itu tidak terdengar sama sekali. Lelucun Pak Sanusi yang memerlukan ‘kedewasaan’ dalam menyimak rupanya membuat beberapa orang memilih untuk diam dan senyum simpul belaka. Senada dengan Pak Sanusi Satar, dr. Tik Tan tidak ketinggalan. Bayangkahlah kalau seorang dokter kawakan harus melucu. Temanya tidak jauh dari operasi plastik dan anatomi tentu saja. Akhirnya kami bisa menyaksikan dua senior itu tampil menujukkan sisi lain yang belum pernah kami saksikan.
Di sela kehebohan itu tiba-tiba Adhitya dari Belanda membawa hidangan. Kami tentu senang dan terharu karena Adhit sedemikian baik pada kami semua. Ternyata kami semua salah duga, makanan itu semuanya hanya untuk istri tercinta, Tiara, yang sedang hamil. Selalu ada alasan untuk mendapat pelayanan dan makanan lebih bagi ibu hamil karena mereka “eat for two”. Adhitya yang selalu tampil tenang dan berwibawa ternyata adalah lelaki romantis dan seorang suami siaga. Sementara Wiene masih senyum-senyum simpul sendiri, masih mengingat pelajaran pemetaan di masa lalu yang nyaris membuatnya tidak bisa lulus kuliah. Di sebelah kanan saya, Mas Ferry tidak banyak komentar. Saya yakin beliau masih sibuk merangkai-rangkai metode mengawinkan aspek teknis dan sosial dalam penelitiannya tentang bangunan. Mas Ferry rupanya mirip dengan saya, seorang insinyur yang terkontaminasi ilmu sosial dan akhirnya menjadi jatuh cinta. Masih ingat ucapan Mas Ferry beberapa saat lalu, beliau kini memberi apresiasi lebih pada aspek sosial dalam melihat satu persoalan. Meskipun saya tidak mengakui, diam-diam saya bilang “gue banget“.
Dalam pada itu, Vivi datang bergabung. Rupanya dia telah menyelesaikan tugas mulianya membuat laporan dan press rilis tentang acara hari itu. Demikianlah dedikasi seorang panitia. Merelakan diri ketinggalan berbagai guyon untuk menyelesaikan laporan dan press rilis. Meski sesungguhnya saya tahu, Vivi segera selesaikan tugasnya karena besoknya dia tidak mau diganggu. Besok adalah saatnya menjelajah Berlin.
Begitulah suasana malam itu. Segala kecemerlangan yang semua orang pamerkan di pentas symposium selama dua hari itu lenyap tak berbekas. Yang ada adalah pribadi-pribadi hangat yang konyol dan penuh kelakar. Yang tersisa adalah kisah-kisah menggelikan tentang masa lalu namun menyimpan harapan untuk masa depan. Yang ada adalah manusia-manusia biasa yang memiliki sisi terang dan redup.
Very nice Pak Andi, Mate!
saya forwardkan ke IND-NL dan Ibu Dubes kita..
Thanks and hope to see you at the CID2
Goodluck with your cariere and future
Sincerely,
Tik Tan
Thanks pak Tik Tan 🙂