Cerita ini bagian dari Berlin 2013
Ketika berjalan-jalan di Berlin tanggal 4 Maret, kami menyaksikan kedatangan Presiden SBY di kota itu. Beliau tinggal di Adlon Hotel Berlin, hotel yang sama dengan tempat menginap Michael Jackson saat dia melakukan tindakan berhaya menunjukkan anaknya kepada wartawan. Masih ingatkah Anda dengan kejadian itu? Jika tidak coba cari di Google. Dari kejauhan kami melihat rombongan presiden yang menarik perhatian masyarakat lokal dan internasional. Sementara di sekitarnya terlihat pasukan pengawal presiden dan diplomat Indonesia yang memastikan kunjungan itu berjalan lancer. Suasana cukup tegang, seperti halnya kunjungan kepala negara lainnya. Keamanan tentu saja menjadi salah satu perhatian dan perlu mendapatkan jaminan.
Selain ketegangan, saya juga mengamati berbagi kejadian lucu yang manusiawi. Beberapa anggota paspampres yang terlihat garang dan tegas ternyata tidak bisa menahan diri untuk berfoto-foto mengabadikan keberadaan mereka di Berlin. Ada yang bahkan memotret dirinya sendiri dengan ponsel. Paspampres ternyata juga manisia. Mereka tetap memiliki sisi narsis seperti halnya para mahasiswa Indonesia di luar negeri.
Tanggal 5 Maret, akhirnya kami semua bertemua secara resmi dengan Presiden SBY. Bertempat di Adlon Hotel Berlin, presiden berkenan bertemu dengan diaspora Indoneia di Eropa dan peserta symposium Earth Resilience yang baru saja berakhir. Sebelum bertemu presiden, kami semua dijamu makan siang dengan menu yang disediakan oleh pihak hotel. Saya bertolak dari Schoneberg tempat menginap menuju Hotel Adlon dengan kereta. Sebelumnya tentu saja saya harus melihat peta jalur kereta dan Google Maps. Peta jalur kereta sesungguhnya tidak bisa dijadikan pedoman untuk mengukur jauh dekatnya jarak karena merupakan hasil penyederhanaan. Intinya, peta ini hanya menggambarkan jalur mana yang harus diambil jika mau menuju suatu tempat. Soal jarak, tetap google maps yang lebih terpercaya.
Sekitar jam 1 siang peserta pertemuan dengan presiden suda berada di ruangan. Masing-masing menempati kursi yang sudah disediakan lengkap dengan map dan nama. Tidak mungkin berganti tempat duduk. Saya menempati kursi di urutan kelima dari depan menandakan saya bukan orang penting, jadi tidak bisa berada di kursi depan. Di kiri saya duduk seorang alumni UGM yang bersekolah di Jerman. Di kanan saya seorang yang sedang S3 di Jerman setelah menyelesaikan S2 di Belanda. Singkatnya, saya dikelilingi orang-orang hebat. Ke mana saja menoleh, nampak anak muda Indonesia yang bersinar. Berutung ada diantara orang-orang itu.
Akhirnya Presiden SBY masuk ruangan dan hadirin berdiri. Semua ini tentu sudah dilatih dari tadi dan mendapat instruksi dari protokoler. Meski terasa agak feodal tetapi rasanya tidak berlebihan memberi penghormatan kepada seorang presiden dengan berdiri ketika beliau memasuki ruangan. Lepas dari fakta bahwa saya tidak setuju dengan setiap kebijakan SBY, saya harus akui bahwa Presiden SBY telah melakukan banyak hal baik yang membuat Indonesia diperhitungkan di pentas dunia. Tidak berlebihan jika sebagai rakyat saya menunjukkan penghormatan. Selain itu, berdiri dan bertepuk tangan menyambut kehadiran presiden tidak membuat saya menjadi hambanya. Penghormatan layak diberikan kepada seorang kepala negara meski di beberapa hal kita berseberangan. Ini adalah cerita lain.
Bertindak sebagai pembawa acara adalah Prof. Agus Rubiyanto yang mempersilakan Pak Dubes Eddy Pratomo menyampaikan sambutan pertama. Pak Eddy menyampaikan sambutan dengan sangat baik layaknya diplomat ulung. Menariknya, sambutan beliau didominasi oleh laporan soal symposium yang berakhir dua hari lalu. Secara rinci Pak Dubes menyampaikan hasil symposium yang diharapkan beliau akan bermanfaat bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan secara umum. Selain itu Pak Dubes juga menegaskan bahwa pertemuan itu dihadiri oleh diaspora Indonesia dari bebagai negara. Tentu saja hanya saya yang berasal dari Australia, merupakan peserta terjauh yang hadir saat itu. Bisa dianggap istimewa, bisa juga anak bawang yang terpaksa diikutkan.
Dalam kesempatan pidatonya, Pak Dubes juga memperkenalkan beberapa orang istimewa yang hadiri di ruangan itu. Salah satunya adalah Professor Irwin Yousept yang menjadi professor di usia 26 tahun. Irwin, begitu saya memanggilnya biar terasa akrab, padahal tidak, kini berusia 31 tahun dan memang masih terlihat sangat muda. Irwin langsung jadi idola banyak orang sejak diumumkan oleh Pak Dubes saat itu. Beberapa orang lain juga dikenalkan oleh Pak Dubes tetapi tentu saja tidak semuanya. Saya pastilah salah satu yang tidak diperkenalkan beliau *senyum*. Mengakhiri sambutannya, Pak Dubes kemudian mempersilakan dua orang hadirin untuk menyampaikan hasil penelitiannya kepada Presiden SBY. Ada dua orang yang terpilih, rupanya itu dikompetisikan di lingkungan diaspora Indonesia di Jerman dan panitia menetapkan dua ‘pemenang’ yang berkesempatan menyampaikan langsung hasil penelitiannya kepada Presiden SBY. Presentasi yang hanya berupa paparan verbal itu menyampaikan beberapa inovasi penting, meskipun penyampaiannya sesungguhnya bisa lebih jelas jika menggunakan media visual. Meski demikian, penelitian yang disampaikan dua orang itu, Mas Iman dan Muhammad Ikhwan memang sangat menarik dan bermanfaat nyata bagi masyarakat.
Harus diakui, Presiden SBY memiliki kemampuan berbicara dengan struktur yang sangat baik. Meskipun beliau bukan orator ulung yang bisa menggelorakan semangat pendengar dengan jargon yang menggebu-gebu, pemikiran SBY mudah diikuti dari tata bahasanya. Beliau menggunakan catatan ketika berpidato tetapi tidak terpaku pada catatan itu. Dengan fasih Presiden SBY menyampaikan kelebihan dan pencapaian Indonesia termasuk tantangan yang dimiliki. Meskipun beliau menegaskan bahwa ekonomi Indonesia terbesar di Asia tenggara dan nomor 15 dunia, beliau tidak lupa menyampaikan berbagai kelemahan yang harus diperbaiki. Dengan fasih beliau menyampaikan berbagai kelemahan yang masih ada di Indonesia termasuk bagaimana langkah strategis untuk menyelesaikannya. Inti dari pembicaraannya adalah bahwa untuk memperjuangkan kepentingan nasional, Indonesia harus aktif dalam pergaulan antarbangsa. Dunia sudah menjadi suatu tempat yang memungkinkan interaksi antarbangsa dengan mudah, kita tidak bisa lagi berpandangan sempit ketika harus membela kepentingan nasional. Itulah sebabnya presiden harus aktif menjadi bagian dari diskursus internasional dan turut memberikan solusi. Dalam pemahaman saya, presiden hendak mengatakan bahwa Indonesia, selain fokus pada dirinya, harus turut serta menjaga perdamaian dunia. Sebagai bangsa besar yang perannya semakin diakui Indonesia harus menyadari diri sebagai bagian dari aktor yang harus turut serta menyelesaikan persoalan dunia.
Banyak hal yang beliau sampaikan dan bisa dibacac di media massa serta website resmi persiden SBY. Yang menarik bagi saya adalah mesan beliau kepada orang Indonesia yang tinggal di luar negeri atau disebut dengan diaspora. Ada beberapa poin penting yang disampaikan presiden terkait diaspora Indonesia. Pertama, negara tidak bisa melarang orang Indonesia tinggal dan berkiprah di luar negeri, tidak juga dalam poisisi menyuruh atau memerintahkan. Semua itu adalah hak azasi setiap individu. Kedua, presiden melarang menteri-menterinya memanggil diaspora Indonesia untuk pulang ke tanah air demi kepentingan proyek sesaat yang tidak dipertimbangkan keberlanjutannya. Bagi beliau, diaspora itu boleh dipanggil asal mendapat peran yang jelas keberlanjutannya. Ketiga, meski presiden menghargai hak warga negara untuk tinggal dan berkiprah di luar negeri, beliau menghimbau, jika negara memerlukan, maka sebaiknya diaspora Indonesia kembali ke tanah air untuk mengabdi. Untuk itu beliau mencontohkan Habibie yang adalah alumni Jerman.
Ini bukan kali pertama saya mendengarkan Presiden SBY berbicara secara langsung. Memang harus diakui bahwa beliau adalah seorang pembelajar. Cara biacaranya santun dan struktur ucapannya tertata dengan baik. Selain itu terlihat juga bahwa isi pidatonya disiapkan dengan baik meskipun beliau tidak membaca. Artinya presiden tidak mengandalkan improvisasi saat berpidato tetapi telah menyiapkan poin-poin pembiacaraan dengan baik. Meski begitu, sempat juga beliau menyampaikan satu dua kelakar yang membuat suasana jadi santai dan cair. Pertemuan itu kemudian diakhiri dengan foto bersama dan tanpa tanya jawab. Tidak adanya tanya jawab ini semata-mata karena waktu yang tidak memungkinkan akibat kesibukan beliau. Inti kedatangannya ke Jerman, selain bertemu diaspora Indonesia, adalah untuk membuka pameran pariwisata Jerman yang partner resminya tahun ini adalah Indonesia. Selain itu, tentu saja beliau bertemu pemimpinn setempat untuk bertukar informasi dan gagasan.
Selepas pertemuan dengan presiden kami, para peserta Earth Resilience Symposium kembali berkumpul santai sambil bertukar cerita. Yang jelas Mas Johny selaku ketua panitia sangat lega dan bahagia. Symposium berjalan lancar dan hasilnya pun sudah disampaikan langsung oleh Pak Dubes kepada Presiden. Menjelang jam lima sore, saya, Vivi dan Riswanti segera bergegas ke stasiun kereta. Malam itu kami akan bertolak ke Praha, menikmati salah satu kota yang konon kabarnya tercantik di Eropa itu. Saya ingin membuktikannya lalu menceritakannya di kesempatan lain.
I like his points on diaspora Indonesia. For one who’s been in the muddiness of politics for years, he seems to be able to maintain the purity of his soul. May God bless him, and you for writing this post.
Thanks brother..
Btw, kapan mau dikirim/ambil baju Jermannya 🙂
nanti yah, dirimu kan baru pulang, pasti masih capai. sambil nanti aku tunggu dulu Mbak Ni Luh pulang dari Bali, paling lambat inshaallah akhir April, nanti aku kabari. :-), atau kalau dirimu mau main2 kemari sebelum itu, kabari saja, aku siapkan waktu buatmu, sehari semalam, kita diskusi panjang lagi. 🙂
Ok siap 🙂