
Seorang kepala negara menjabat sebagai ketua umum sebuah partai itu bukan sesuatu yang luar biasa, bukan pula pelanggaran hukum. Di Australia, misalnya, ketua partai bahkan ‘otomatis’ menjadi perdana menteri. Makanya, jika partai mengalami gonjang ganjing dan terjadi pergantian ketua maka itu berarti terjadi pergantian perdana menteri. Inilah yang terjadi di Australia ketika Julia Gillard menjadi perdana menteri menggantikan Kevin Rudd. Di berbagai negara lain juga terjadi, pembaca bisa menelusuri informasinya.
Meski fenomena kepala negara menjadi ketua partai ini bukan pelanggaran hukum, Presiden SBY yang menjadi ketua umum Partai Demokrat (PD) ini menarik perhatian saya. Saya bukan orang politik, tidak juga belajar ilmu politik. Sekali dua kali, saya mungkin hanya korban politik saja karena ketidakpahaman. Saya tidak akan berteori tinggi-tinggi tetapi mencoba mengingat beberapa kejadian terakhir terkait Indonessia dan Presiden SBY.
Awal bulan Maret 2013 saya bertemu Presiden SBY di Berlin, Jerman. Sungguh saya bertemu presiden dalam keadaan baik yang merangsang rasa bangga. Menyaksikan Presiden Indonesia duduk berdampingan dengan pemimpin dunia lain seperti Angela Merkel dan aktif memperbincangkan persoalan dunia sungguh membuat hati senang. Secara tidak langsung, itu meningkatkan percaya diri bahwa Indonesia bukan negara yang tidak dianggap keberadaannya. Bawa saya benar-benar adalah warga sebuah negara yang tidak saja besar dalam ukuran geografis dan jumlah penduduk tetapi dalam hal kiprah dan peran di percaturan politik dunia. Presiden saya layak mewakili sebuah negara kepulauan terbesar, demokrasi terbesar ketiga dunia dan anggota G20 yang kehadirannya mewarnai pergerakan dunia, bukan hanya jadi pelengkap yang membebani.
Tulisan Andre Omer Siregar di The Jakarta Post beberapa hari setelah Presiden berkunjung ke Jerman dan beberapa negara lain dengan cantik menggambarkan betapa Indonesia kini berada di kelas tinggi dalam hal diplomasi antarbangsa. Singkat kata, Indonesia adalah sebuah negara besar yang penting kedudukannya. Saya senang dan merasa perlu mendengar hal-hal positif ini.
Perasaan ini mendadak hilang tatkala melihat cara Pak SBY menyikapi kekisruhan di PD, terutama ketika beliau bersedia menjadi ketua umum. Salahkah presiden menjadi ketua umum? Tentu saja tidak dan ini tidak melanggar hukum. Meski begitu, saya pribadi merasa ini sebagai sebuah langkah mudur karena ini dilakukan oleh seorang presiden bangsa besar yang level urusannya semestinya adalah memikirkan dan turut menentukan nasib dunia. Naluri awam saya membisikkan bahwa kesediaan Pak SBY menjadi ketua PD itu menurunkan kelas beliau. Yang lebih penting ini menimbulkan kesan bahwa beliau mudah terganggu oleh huru hara di partai dan cenderung mudah terganggu dalam menjalankan tugas negara. Tidak sulit untuk membayangkan bahwa tugas negara akan terganggu karena beliau harus menyelamatkan sebuah partai yang sedang kisruh. Maka jargon ‘loyalitas saya kepada partai habis sudah, berganti kesetiaan kepada bangsa ketika saya dilantik jadi presiden’ menjadi tidak bermakna lagi.
Di sisi lain, saya mencoba memahami bahwa seorang pendiri dan tokoh penting sebuah partai tentu tidak akan membiarkan partainya binasa begitu saja. Masuk akal sesungguhnya jika SBY turun gunung melakukan tindak penyelamatan, terutama ketika beliau tidak melihat ada tokoh lain yang mampu menyelamatkan PD yang gonjang ganjing. Akhirnya ini menimbulkan pemikiran baru terhadap PD, bahwa partai ini begitu rapuhnya dan begitu tergantungnya pada figur. Sebuah partai yang hidup matinya ditentukan oleh orang-seorang, sejatinya bukanlah partai ideal yang bisa diharapkan oleh sebuah bangsa. Dalam perspektif internal partai, SBY yang turun gunung adalah sebuah anugerah yang diperlukan untuk menyelamatkan partai. Namun di sisi lain, ini menjadi pertanda yang jelas bagi orang-orang di luar partai, terutama pemilih, bahwa sistem dan ideology PD ternyata tidak cukup kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya tanpa harus bergantung pada seorang individu. Maka tidak berlebihan kalau ada pihak yang mengatakan bahwa keberadaan SBY yang menjadi ketua umum bisa menjadi senjata makan tuan bagi PD. Entahlah, tentu kita masih akan menyimak drama misteri dari hari ke hari setelah Kongres Luar Biasa (KLB) di Bali.
Apakah ini berpengaruh pada saya? Mungkin juga tidak ada pengaruhnya secara langsung makanya saya bisa saja tidak peduli. Meski demikian, rasanya tidak salah untuk mengungkapkan sebuah perasaan jujur sebagai rakyat. Bahwa langkah Pak SBY yang mengotori tangannya untuk menyelamatkan sebuah partai itu memberi sinyal meresahkan. Bahwa presiden saya mungkin tersita perhatiannya oleh urusan remeh temeh sehingga tidak cukup waktu dan energi untuk mewakili Indonesia dalam memainkan peran penting di percaturan dunia. Karena semua sudah terjadi, saya hanya bisa berdoa dengan tulus agar Indonesia memiliki seorang presiden digdaya, a super president. Presiden yang punya energi cukup untuk berkelebat antara mengirim SMS kepada ketua harian PD, mendatangani daftar calon anggota legislatif dan berargumen meyakinkan dengan Barack Obama tentang nasib Planet Bumi yang terancam karena pemanasan global. Yang tidak kalah penting, seorang presiden yang memikirkan 240an juta rakyat Indonesia, bukan hanya kader dan loyalis partai apalagi sekedar keluarga dan kroni. Semoga saja doa ini dikabulkan Tuhan yang Maha Kuasa.
Doamu kuaminkan, kawan.. 🙂
Paling tidak Pak SBY akan makin sering curhat di media… Hehehe…
Setiap tulisan mas andi selalu asoy, hidup NKRI lah ya 😉
Makasih Mas Riza. Yours are very good too.