Cerita ini bagian dari Berlin 2013
Selama di Jerman saya tinggal bersama Ayu, adik dari seorang kawan lama. Ayu tinggal di sebuah apartemen yang pemiliknya bernama Anna. Mungkin juga saya salah menuliskan namanya tetapi demikianlah yang saya dengar. Anna sudah cukup berumur, mungkin di atas 60 tahun. Meski sudah berumur masih terlihat sehat dan cekatan. Anna orang yang ramah, meskipun Bahasa Inggrisnya kadang terbata. Yang pasti, jauh lebih bagus dari Bahasa Jerman saya yang bisanya hanya Ich liebe dich. Dalam sekejap saya bisa meyakini Anna adalah orang yang menghargai tamu dengan baik. Ketika saya sampaikan permohonan maaf karena tidak bisa berbahasa Jerman, dengan serta merta dia menjawab bahwa diapun tidak bisa berbahasa Indonesia. Begitulah caranya menegaskan bahwa tidak ada bahasa yang lebih terhormat di dunia ini. Semua bahasa sama saja dan orang tidak harus bisa berbahasa asing untuk menunjukkan dia seorang yang baik. Mungkin itu pelajaran yang bisa saya tangkap dari perkataan Anna.
Karena tidak lancar dalam berkomunikasi verbal, saya mengandalkan bahasa tubuh ketika berkomunikasi dengan dia. Saya selalu tersenyum dan menempelkan tangan di dada sendiri ketika berterima kasih sambil sedikit menunduk. Saya yakin ini adalah bahasa tubuh universal yang bisa dipahami bahwa saya benar-benar berterima kasih atas kebaikannya mengizinkan saya tinggal di rumahnya. Ketika suatu ketika saya pamit hendak pergi, dia tidak lupa mengingatkan apakan saya sudah paham jalur kereta. Dengan bahasa yang terbatas, dia mencoba menunjukkan arah. Saya sangat hargai.
Suatu hari tiba-tiba dia kedatangan seorang perempuan. Saya pikir itu anaknya atau familinya, ternyata bukan. Ketika saya bertanya perihal perempuan itu, dia agak kesulitan menjelaskannya. Dia berusaha mengatakan bahwa perempuan itu sudah seperti keluarga tetapi bukan keluarganya. Dia sepertinya berusaha mencari istilah yang tepat untuk perempuan itu. Arkhirnya dia mengatakan, perempuan itu datang setiap minggu ke tempatnya untuk membantunya membersihkan rumah tetapi dia sudah dianggapnya seperti keluarga tetapi bukan keluarga. Saya tersentuh dengan cara komunikasi ini. Sebenarnya Anna bisa saja dengan singkat menjelaskan bahwa perempuan itu adalah clearner langganannya yang membersihkan rumahnya secara rutin. Namun dia tidak katakan itu karena rupanya ada nilai rasa yang tidak pas dengan menyebut perempuan itu seorang juru bersih-bersih. Saya yakin, Anna khawatir saya akan salah duga. Saya belajar dari dia betapa dia berusaa menjaga perasaan perempuan itu meskipun percakapan kami tidak didengar/dimengerti olehnya.
Saat saya bercerita tentang keluarga, dia memperhatikan dengan seksama dan seakan sangat ingin terlibat. Tidak cukup mendengar cerita, dia bahkan meminta saya menunjukkan foto Lita, anak saya, sebagai tanda dia memang menaruh perhatian. Diapun sedikit bercerita tentang anaknya. Dia mengatakan betapa pentingnya hidup di tengah-tengah keluarga karena dia sendiri merasa hal yang berbeda karena kini terpisah dengan anak-anaknya. Demikianlah budaya keluarga di Eropa dan negara maju lainnya secara umum.
Anna adalah orang yang penuh perhatian. Ketika saya akan pergi, dia memberi saya kunci cadangan agar nanti saya bisa pulang tanpa harus merasa mengganggu karena harus dibukakan pintu olehnya atau Ayu. Dia cukup mudah percaya, tentu saja karena Ayu pasti telah meyakinkan dia soal saya. Dia juga secara positif menanggapi hampir setiap hal yang saya bicarakan. Saat akan ke Praha, Anna menyampaikan betapa indahnya Praha dan bahwa apa yang saya lakukan adalah langkah tepat, berkunjung ke Praha. “Praha is very beautiful“, katanya. Singkat kata, saya bisa menikmati akomodasi gratis selama di Berlin tentu saja karena kebaikan hati orang soperti Anna, selain kebaikan Ayu. Mendapat perlakuan baik dari orang asing seperti Anna membuat saya meyakini bahwa Tuhan mengulurkan tangan pada kita yang berjuang melalui siapa saja, termasuk melalui orang-orang yang tidak kita kenal.
One thought on “Berlin 2013: Anna”