Cerita ini bagian dari Berlin 2013
Saya memesan tiket pesawat dari Our World Travel, langganan saya di Wollongong. Meskipun sudah menggunakannya sejak empat tahun lalu, saya belum tahu di mana lokasi kantornya dan tidak pernah bertemu sekalipun dengan orang-orang di sana. Saya hanya berkomunikasi lewat email dan telepon. Semua beres dengan telekomunikasi. Sayapun meminta informasi tiket Sydney – Berlin – Jakarta – Sydney. Saya memang berencana mampir ke Jogja untuk nengok Lita dan mbahnya. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Artinya? Sakti mandraguna. Saya mendapat tawaran tiket seharga AUD 2200, tidak jauh beda dibandingkan penerbangan langsung ke Sydney tanpa mampir Indonesia. Sayapun memutuskan untuk mengambil tawaran itu. Begitu visa dinyatakan disetujui, saya membayar tiket tersebut dengan kartu kredit saya karena belum ada satu pihakpun yang memberikan uangnya ke saya meskipun komitmennya sudah jelas. Di saat seperti inilah kartu kredit itu diperlukan.
Ini adalah perjalanan saya ke Eropa yang ketiga. Ada rasa senang tetapi rasa penasarannya tentu berkurang jauh dibandingkan tahun 2008 silam ketika saya pergi untuk pertama kalinya. Asti, isteri saya, yang mulai sibuk kuliah di Sydney tidak sempat membantu persiapan sehingga semuanya harus dikerjakan sendiri. Seterika baju, menyiapkan barang bawaan dan lain-lain harus dikerjakan sendiri. Perjalanan menjadi menarik ketika melipat baju pengurusan visa dan penyiapan presentasi harus dikerjakan sendiri. Seperti biasa, saya mengisi ‘formulir’ “things to bring” yang terbiasa saya siapkan sejak mulai bepergian ke luar negeri. Mudah saja, karena saya tinggal menyalin dari dokumen terakhir yang saya gunakan ketika pergi ke New York Desember lalu, tinggal menyesuaikan beberapa barang yang perlu dikurangi atau ditambahkan.
Berbekal sebuah kopor kecil dan satu tas punggung saya menuju bandara Kingsford Smith di Sydney dan siap-siap bertolak ke Berlin. Perjalanan panjang yang akan ditempuh tidak kurang dari 30 jam door to door. Lebih baik saya menyiapkan diri dengan baik, fisik maupun mental.
Perjalanan ke Berlin ditempuh dari Sydney lalu transit di Singapura untuk kemudian menuju Bandara Heathrow, London sebelum terbang ke tujuan akhir di Bandara Tegel di Berlin. Saya mengalami pergantian pesawat mulai dari yang sedang, besar hingga kecil. Bertemu juga dengan banyak orang yang berbeda kerena selalu berganti pasangan duduk di dalam pesawat. Mulai dari orang Asia, Eropa, Amerika hingga Australia, saya menemui manusia dengan beragam prilaku dan ketertarikannya. Ada yang dengan sopan dan ramah senang bercakap-cakap, ada juga yang sangat hemat dengan kata-katany. Ada yang gemar membaca buku hingga tak bergeming, yang lainnya tidak henti-henti menonton film dar layar di depannya. Yang pasti, saya tidak melihat penumpang yang menghabiskan waktunya menulis tanpa henti.
Malam telah sangat larut ketika saya mendarat di Bandara Changi di Singapura. Tidak banyak yang bisa dilakukan saat menunggu keberangkatan pesawat berikutnya menuju London. Sayapun duduk di sebuah kursi sambil berkirim kabar pada kawan-kawan di dunia maya lewat Twitter. Saya berceloteh soal perjalanan dan perihal remeh-temeh yang dijumpai di sepanjang jalan. Hastag #BerlinEarth saya gunakan untuk menandai semua berita tentang keberangkatan saya ke Berlin kali ini.
Saat asik berkicau di Twitter, datang sepasang orang yang sudah lanjut, duduk di kursi dekat saya. Tadinya ada satu kursi kosong di kiri dan kanan saya sehingga pasangan ini terancam duduk terpisah. Sayapun berpindah ke kursi sebelah sehingga akhirnya dua kursi kosong berjejer berdampingan. Lelaki dan perempuan lanjut usia itu duduk sambil tersenyum berterima kasih. Saya kembali tenggelam dalam senda gurau dengan kawan-kawan di dunia maya. Benar rupanya, media sosial digital itu bisa mendekatkan yang jauh sekaligus mungkin menjauhkan yang dekat. Saya bahkan tidak tertarik bercakap-cakap dengan lelaki dan perempuan itu. Mungkin juga karena beliau nampak kalem. Sang Bapak asyik mengisi teka teki silang (TTS) sementara sang Ibu membaca buku. Sebuah kebiasaan yang penuh adab, mengisi waktu perjalanan yang luang dengan membaca dan mengasah ketajaman pikir. Saya tidak mau mengganggu mereka yang tenggelam dalam kesenangan.
Entah kapan kejadiannya, tiba-tiba saya baru sadar kursi di dekat saya kosong dan di sana tergeletak sebuah buku TTS dengan sebuah bolpen. Rupanya lelaki dan perempuan itu telah pergi dan meninggalkan buku TTS di kursi dekat saya. Saya berharap mereka akan kembali, saya tunggu dengan sabar. Hingga waktu keberangkatan saya tiba, mereka tidak kunjung datang. Rupanya mereka benar-benar meninggalkan buku itu karena lupa. Sayapun meraihnya dan berharap akan bertemu dengan pasangan itu. Saya akhirnya sadar, saya tidak terlalu mengingat wajah mereka. Ada beberapa pasang yang saya temui dan curigai, ternyata tidak satupun dari mereka yang meninggalkan buku itu. Saya kehilangan harapan karena sudah dipanggil untuk naik pesawat. Akhirnya saya melapor ke petugas bandara di pintu masuk. Melihat sejenak, mereka sepertinya tidak antusias karena itu sekedar buku TTS. You can just leave it or take it with you karena seseorang. Intinya mereka bahkan tidak menyarankan untuk saya pergi ke “lost and found”, mungkin karena tidak begitu berharga secara materi. Dalam keraguan saya membawa buku TTS itu dan sampai kini tidak perna bertemu dengan pemiliknya. Entahlah apakah inisiatif saya ini benar, yang jelas saya gagal menjalankan misi.
Perjalanan ke London dari Singapure begitu panjang. Saya duduk di dekat seorang cewek Australia yang berangkat menuju Brussel, Belgia untuk bekerja. Usianya masih muda, dia seorang pengajara, lawyer yang bekerja untuk organisasi internasional. Dari tutur bahasanya nampak jelas perempuan muda ini intelektual dan paham sekali apa yang dilakukannya. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal terutama terkait perihal hukum. Meskipun saya bukan orang hukum, saya telah mempelajari hukum laut dan obrolan jadi cukup nyambung.
Yang menarik tentu saja kiprahnya di organisasi internasional. Bagi dia, dunia menjadi lebih mudah dijangkau karena dia berbicara dengan salah satu bahasa terpopuler dunia: Bahasa Inggris. Jika saja perihal bahasa bukan kendala, tentu banyak juga anak-anak muda Indonesia yang bisa melanglang bhuwana seperti cewek yang saya temui ini. Generasi yang tidak tergagap-gagap ketika harus sarapan di hangatnya summer di dekat Sydney Opera House, lalu makan siang di Singapura yang tropis untuk seterusnya sarapan lagi di dinginnya Eropa keesokan harinya. Generasi yang hidup di desa bernama Global Village.
Dari London ke Berlin, saya duduk dengan seorang lelaki dari suatu daerah di Inggris yang rupanya tidak terlalu terkenal atau setidaknya saya tidak mengenalnya. Jika menurut Anda logat Harry Potter atau James Bond itu cukup rumit maka percayalah, logat lelaki ini jauh lebih rumit. Saya harus bertanya beberapa kali setiap kali dia menyampaikan sesuatu karea saya memang tidak mampu mendengarkan secara baik. Saya jadi ingat bagaimana Andrea Hirata menggambarkan logat orang-orang di Shiefield dalam bukunya Edensor. Dia menulis, sebagian orang di sana mengatakan “oraik’ untuk “all right”. Seperti demikianlah terdengar logat lelaki di sebelah saya. Selain persoalan logat yang sulit dimengerti, dia adalah lelaki ramah yang percaya diri. Dia tidak sungkan memberi saya petunjuk tempat-tempat yang harus dikunjungi di Berlin.
Tanggal 1 Maret 2013 sekitar jam 11 waktu setempat, saya tiba di Bandara Tegel. Berlin menggigil dan dingin itu lebih menyiksa karena saya datang dari Australia yang sedang summer. Sayapun tidak mengenakan pakaian dalam hangat alias termal cloth karena saat berangkat dari Sydney, suasananya jauh dari dingin. Maka saya harus berjibaku dengan dingin, hanya dengan selembar jaket yang tiba-tiba terasa kurang tebal meskipun itu sudah membuat saya terlihat sangat tidak modis akibat badang yang nampak mengembang ekstra besar.
Saya dapati sinyal Wifi gratis dan segera bertegur sapa dengan teman-teman di dunia maya. Saya perhatikan informasi cuaca, suhu udara tidak beranjak dari kisaran 3 derajat celcius. Tidak heran jika tubuh saya terkejut yang selama tiga bulan terakhir menikmati mewahnya kehangatan Australia pada kisaran 25-40 derajat celcius. Kehangatan yang kadang juga menyiksa menjadi kepanasan.
Seorang lelaki baik hati mendekati saya, Bapak Pepe nama beliau. Rupanya beliau adalah yang ditugaskan menjemput saya hari itu. Baik nian KBRI Berlin menugaskan Bapak Pepe menjemput saya. Setelah berbasa basi sejenak, kami segera meluncur ke KBRI. Tadinya saya ingin diantar ke rumah Ayu, seorang sahabat yang menjanjikan saya tumpangan di apartemennya tetapi berubah karena sepertinya Pak Pepe tidak begitu yakin dengan alamat yang saya berikan. Akhirnya kami meluncur ke KBRI, tempat paling aman kalau kita mengalami keraguan di negeri orang. Selain itu, saya sudah mengenal Mas Johny Setiawan, ketua panitia konferensi Earth Resilience yang sepertinya baik hati dan tentu tidak keberatan menerima saya.
Di sepanjang jalan saya berbicara banyak hal dengan Bapak Pepe. Dia sudah puluhan tahun di Jerman dan sudah punya anak cucu. Logat Sundanya yang masih sangat kental tidak menunjukkan kalau beliau sudah puluhan tahun menghirup udara Berlin. Lelaki yang tampil sederhana itu bahkan telah menyaksikan sebuah sejarah besar dalam peradaban modern bangsa-bangsa: runtuhnya Tembok Berlin. Pak Pepe tentu mengalami sendiri bangsa-bangsa yang tadinya dipisahkan sebuah tembok akhirnya memilih bersatu dan menolak ditindas sebuah tirani yang berwujud dinding batu. Pak Pepe juga menceritakan betapa sepinya Berlin ketika beliau datang di masa lalu, tahun 1970an. Seperti cerita teman-teman yang juga sudah lama di Australia, ingatan mereka tentang masa lalu adalah suasana yang masih sepi dan lapangan kerja yang melimpah. Mereka rasakan begitu mudahnya mencari uang saat itu, jauh lebih mudah dibandingkan sekarang. Ini semakin menegaskan persoalan ekonomi yang memang ternyata melanda Eropa dan dunia.
Sebelum jam satu siang, saya tiba di gedung KBRI Berlin dan diterima dengan baik oleh petugas kantor depan. Karena situasi kantor yang sibuk, saya harus menunggu Mas Johny dan Pak Pepe pun meninggalkan saya di sana. Tidak lupa beliau menyampaikan agar menghubunginya jika ada apa-apa. Sopan santun khas Sunda tidak hilang dari lelaki itu, meskipun sudah menikmati peradaban Eropa yang kadang membuat orang Indonesia menjadi bebeda peringainya. Sebenarnya saya menunggu Pak Pepe mengucapkan “ach so” untuk mengganti “oh begitu” tapi itupun tidak keluar dari mulutnya.
Akhirnya, setelah lama menunggu, saya bisa bertemu dengan Mas Johny, pakar antariksa yang sudah bekerja sangat lama di Max Planck Institute. Kehadiran dan sapaannya membawa suasana hangat dan akrab. Tidak sulit untuk menjadi dekat dengan Mas Johny yang memang ramah itu. Ditamba komunikasi intensif lewat email dan Facebook, saya dengan segera bisa bercanda dengan beliau. Sayapun melaju ke ruangannya di lantai atas untuk membicarakan beberapa hal terkait acara konferensi esok hari. Singkat cerita, saya kemudian menyudahi kunjungan ke KBRI dan meluncur menuju tempat tinggal Ayu, tempat saya menginap selama seminggu ke depan. Atas bantuan Mas Johny, saya segera paham bahwa untuk menuju tempat tinggal ayu di bilangan Schoneberg, saya harus naik bus sekali dan dilanjutkan dengan kereta sekali. Bermodalkan peta, saya menunggu bus di depan KBRI, siap untuk menjelajah Berlin sendirian di hari pertama. Sebuah pengalaman yang menegagkan di tengah terjangan dingin winter yang menyerang tanpa ampun.
Saat di bus, tiba-tiba ada serombongan anak muda naik dari satu halte. Awalnya saya tidak memperhatikan sebelum akhirnya keributan mendera, ternyata mereka semua berbahasa Indonesia khas Jakarta. Ternyata mereka adalah sekumpulan anak muda Indonesia yang sedang bersekolah di Berlin. Saya simak percakapan mereka dengan baik tanpa menujukkan sikap usil. Sebenarnya saya tidak bersengaja menguping tetapi tentu tidak sulit untuk mengerti apa yang mereka bicarakan kaerna menggunakan bahasa Indonesia dalam volume yang mudah di dengar di dalam bus yang tenang dan berisi orang-orang dengan wajah diam ditekuk karena diserang dingin. Di Australia, di Amerika maupun di Eropa, kehangatan pergaulan anak-anak muda Indonesia tidak berbeda. Keakraban ditandai dengan hidup dan bergaul bergerombol membicarakan tema-tema hangat di tanah air.
Bermodalkan peta yang dibekali Mas Johny, saya akhirnya sampai di stasiun Schoneberg, Berlin, stasiun terdekat dengan tempat tinggal Ayu. Hari sudah gelap dan dingin masih setia menyelimuti kota. Saya segera beranjak keluar stasiun dengan menerka-nerka. Karena tidak yakin, sempat bertanya kepada seorang penumpang yang mengankat tangannya dengan pasrah tanda tidak bisa berbahasa Inggris. Saya memaklumi, seraya merasa berasalah karena tidak bisa berbahasa Jerman. Seandainya saja saat kursus di Arka Paramita di Jogja dulu saya lebih serius, mungkin hal ini tidak perlu terjadi. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Saya tidak serius saat mengikuti kursus Bahasa Jerman di Jogja tahun 2003 silam sehingga hasilnya cukup menyiksa sore menjelang malam itu.
Meski tidak bisa Bahasa Jerman, saya toh tidak patah semangat. Saya datangi seorang lelaki yang melintas, lalu menunjukkan peta dan nama jalan yang saya cari. Saya sengaja mengurangi komunikasi verbal agar dia tidak terintimidasi jika tidak bisa berbahasa Inggris. Di luar dugaan, Bahasa Inggrisnya bagus sekali dan diapun mencoba membantu. Sayangnya dia ternyata bukan orang lokal. Begitulah rupanya. Orang yang paham kawasan lokal tidak bisa berbahasa Inggris, sementara orang yang fasih berbahasa Inggris ternyata tidak memiliki pemahaman yang cukup geografis lokal. Meski tidak sempurna, dia memberi saya beberapa opsi dan sayapun beranjak keluar meninggalkan stasiun dengan agak ragu. Dalam 3 menit saya sudah di luar stasiun dan kini mereka-reka kea rah mana melangkah.
Saya melihat dua anak belasan tahun sedang bercanda. Saya harap anak muda bisa berbahasa Inggris lebih baik dan maka saya dekati. Keduanya berusaha keras dengan Bahasa Inggris yang terbata. Saya terharu dan berterima kasih meskipun tidak banyak terbantu. Akhirnya saya putuskan untuk bertualang sendiri dan dalam waktu tidak lama saya akhirnya temukan tempat tinggal Ayu yang ternya tidak jauh dari stasiun. Seandainya saja Google Maps di iPhone saya bekerja dengan baik, tentu adegan itu tidak perlu. Sayangnya, iPhone saya tidak terkoneksi dengan internet maka naluri survival primitif harus diberdayakan. Kata orang Bali, jika tidak ada peta, guakan peta. Jika tidak ada peta, gunakan kata-kata, alias bertanya.
Sore itu, saya tiba di apartemen Ayu dengan selamat. Lega rasanya. Pertama karena tiba dengan selamat, kedua karena bertemu dengan Ayu yang sudah saya kenal sejak dia SD. Ayu adalah adik dari sahabat karib saya yang sekolah di Jerman sejak S1. Ayu adalah profil perempuan Indonesia yang berani dan melangkah jauh meninggalkan balutan tradisi yang kadang meninabobo’kan atau malah mengekang. Akan ada satu buku tebal jika kisah Ayu harus saya ceritakan di sini. Selamat datang diriku di Berlin.
One thought on “Berlin 2013: Sebuah perjalanan panjang”