Cerita ini bagian dari Berlin 2013
Seperti halnya konferensi dan symposium lainnya, partisipasi di Earth Resilience ini tidak didanai panitia. Peserta yang diundang berbicara wajib mengusahakan dana sendiri untuk partisipasinya. Banyak kawan yang kadang bertanya mengapa tidak didanai panitia padahal diundang. Harus dibedakan antara symposium atau konferensi dengan seminar. Dalam seminar, biasanya pembicaranya hanya sedikit 2-4 orang dengan topik khusus. Untuk seminar, panitia biasanya membayar segala kebutuhan pemb icara karena punya kepentingan menjual satu topik tertentu. Sementara konferensi atau symposium pada dasarnya adalah sebuah forum yang memberi kesempatan pada para peneliti untuk menyampaikan/menjual/menguji gagasannya di depan para ahli lainnya yang diharapkan akan memberi masukan. Dengan katan lain, dalam konferensi dan symposium, penelitilah yang memiliki kepentingan lebih besar. Wajar jika mereka harus membayar sendiri ongkos partisipasinya.
KBRI Berlin sudah berbaik hati mengirimkan surat kepada KBRI Canberra agar mendukung partisipasi saya di Berlin. Attaché pendidikan di KBRI Canberra adalah pihak yang paling tepat untuk mendukung partisipasi ilmiah seperti ini. Parallel dengan surat dari KBRI Berlin ke KBRI Canberra, saya juga mengirimkan email pribadi kepada attaché pendidikan di Canberra untuk menyampaikan hal ini secara informal. Kebetulan saya mengenal attaché di Canberra, Prof. Aris Junaidi, yang juga adalah senior di UGM. Intinya saya sampaikan ke beliau bahwa saya akan berpartisipasi di Berlin dan berharap KBRI bisa mendukung secara finansial.
Malangnya, saya baru tahu bahwa Prof. Junaidi sudah tidak menjabat sebagai attaché lagi dan sudah kembali ke Jogja. Sementara pengganti beliau belum tiba sehingga terjadi ‘kekosongan kekuasaan’. Sayapun menghubungi Pak Gatot, yang saya tahu merupakan kolega kerja Pak Aris. Dari Pak Gatot saya mendapat jawaban bahwa beliau belum bisa memutuskan sebelum ada attaché yang baru. Pada prinsipnya akan dibantu hanya saja soal jumlah dan detil lain belum bisa diputuskan. Memang kesannya berbelit tetapi saya sadar bahwa memang tidak mudah bagi Pak Gatot memutuskan sendiri. Artinya ada hal yang harus dibenahi dalam birokrasi di KBRI dan Indonesia secara umum, bagaimana segala proses administrasi bisa tetap berjalan meskipun terjadi pergantian pejabat. Saya bukan ahli tata kelola pemerintahan tetapi orang awampun pasti setuju bahwa proses administasi semestinya tidak tergantung pada ada atau tidaknya individu penjabat. Entahlah, biar orang-orang yang menekuni pemerintahan yang memikirkan ini.
Tidak putus asa, sayapun menghubungi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Sydney. Saya mengenal banyak orang-orang baik di KJRI dan segera mengirimkan email ke salah satunya. Beliau menyarankan, agar mencoba menghubungi Bapak Konjen secara langsung, mengingat sayapun memang mengenal beliau secara pribadi. Sayapun laksanakan dan segera menulis surat resmi kepada Konjen Sydney dan mengirimkannya melalui sekretaris beliau. Dalam waktu singkat saya mendapat balasan dan diminta menemui Konjen untuk membicara kan hal ini. Saya merasa mendapat angin segar meskipun belum yakin apakah akan didukung secara finansial atau hanya diberi doa restu.
Saya memasuki ruangan Pak Konjen Sydney di suatu pagi, sekitar jam 11. Di ruangan itu ada saya, Pak Fahmi dan Pak Nico, keduanya diplomat yang sudah saya kenal dan banyak membantu masyarakat selama ini. Pak Konjen pun menyampaikan beberapa hal. Intinya beliau akan memberi dukukungan tetapi tentu harus menyesuaikan dengan segala urusan administrasi dan ketersediaan anggaran. Saya terharu dengan keputusan itu karena saya paham bahwa tidak lazim bagi pihkan Konjen memberi dukungan dana untuk partisipasi di konferensi seperti ini. Jika beliau tetap memberikan tentu ini merupakan paduan dari tanggung jawab administrasi dan kebaikan hati. Sayapun sampaikan rasa terima kasih dan menambahkan bahwa pada dasarnya saya memahami adanya pemangkasan dana untuk perwakilan dan sulitnya menentukan mata anggaran yang tepat untuk partisipasi ini. Dalam situasi yang tidak mudah, Pak Konjen juga tetap bisa membantu, maka saya memberikan penghargaan yang sangat tinggi. Setengah berkelakar, Pak Konjen mengatakan “nggak lah. Sama-sama. Kita juga menghargai parsipasi Anda dan intelektualistas Anda” sambil menunjuk kepala beliau sendiri. Pak Garry Yusuf, konjen RI di Sydney memang santai perilakunya.
Saya pulang dengan perasaan lega karena sudah mendapatkan komitmen bantuan dana. Sementara itu saya berharap KBRI Canberra akan melakukan hal yang sama. Semoga harapan ini tidak hanya mimpi. Mengumpulkan dana AUD 2500 memang tidak mudah dan saya tidak mungkin mengeluarkan semua uang itu sendiri. Meski demikian, saya sudah sampaikan juga kepada semua pihak bahwa saya berkomitmen mengeluarkan sebagian dana karena partisipasi ini juga terkait dengan kepentingan karir pribadi saya.
Suatu pagi saya menemui Prof. Clive Schofield, supervisor S3 saya di Univerity of Wollongong. Saya menceritakan rencana saya ke Berlin dan dia tertawa. Saya paham maksud tawa itu bahwa saya mudah sekali tergoda untuk ikut banyak acara sementara tugas menyelesaikan disertasi masih menunggu. Saya hanya tersenyum penuh arti menanggapi tawa itu. “You are just like me” katanya sambil tertawa, menyadari bahwa diapun tidak ubahnya seperti saya, mudah tergoda untuk diundang ke sana ke mari memberi ceramah. Itu seringkali membuat dia jumpalitan mengatur jadwal mengajar dan membimbing mahasiswanya. Itulah arti senyum saya tadi. “Okay, what do you want from me?” katanya seakan mengerti apa yang saya perlukan. Sayapun menceritakan perihal dukungan dana dan dia hanya tersenyum. “Okay, we can do it. How much? Around two thousand for flight?” Tanpa banyak basa-basi dia menyanggupi membayar tiket saya. “I know I owe you much for your help” katanya menambahkan bahwa dia memang berutang banyak pada saya karena saya telah banyak membantunya selama ini. Membuat peta untuk dia dan koleganya tentu saja merupakan sumber hutang yang harus dibayarnya.
Begitu saya ceritakan komitmen dari KBRI dan KJRI, meskipun belum pasti, dia menegaskan berapapun kurangnya, dia akan membayarnya. Meskipun tidak ada bantuan dari KBRI atau KJRI, dia tetap bersedia membayar semuanya. Saya terharu. Tapi dalam hati saya tidak mau mempermalukan bangsa sendiri. Tidak elok rasanya jika dia bisa membantu sementara KBRI atau KJRI tidak membantu sama sekali. Maka semua menjadi jelas dan melegakan ketika saya mendapat kepastian dari KJRI tentang jumlah dana yang disediakan. Semua menjadi semakin jelas dan Berlin menjadi semakin dekat.
ternyata jalan memperoleh dana konferensi bisa datang dari mana saja, bahkan dari seseorang yang tak terduga-duga
Hal seperti ini memang biasa, ya, apalagi kalau sudah kembali ke tanah air, sulit juga untuk mencari dana konferensi kalau tidak pakai perencanaan jauh-jauh hari (misalnya setahun sebelumnya). Tiap tahun DIKTI mengeluarkan travel grant (hibah seminar luar negeri), tetapi kita tetap harus punya modal awal juga untuk menunggu uang bisa diganti sepenuhnya. Anggap saja pergi traveling:)
Terima kasih informasinya 🙂
Inspiring bli.. Sy 6 kali gagal cari dana ke Conference.. dan Mei ini, Insya Allah percobaan yg ke-7 akhirnya jadi nyata.. Bantuan dr orang yg juga tidak di sangka2.. 🙂
Salut akan perjuangannya 🙂
Saya Yasmin, mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Saya akan mengikuti konferensi ke Croatia. Saya sedang mempersiapkan proposal. Apakah ada tips supaya proposal pengajuan dana bisa diterima? dan di Indonesia, dimana sajakah kesempatan paling besar mendapatkan dana? Terima kasih
Saya Yasmin, mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Saya akan mengikuti konferensi di Croatia pada Januari 2014. Saya sedang mempersiapkan proposal. Apakah ada tips supaya proposal pengajuan dana bisa diterima? dan di Indonesia, dimana sajakah kesempatan paling besar mendapatkan dana? Terima kasih
Hello Yasmin,
Silakan baca tulisan ini
https://madeandi.com/2013/04/22/bagaimana-mendapatkan-dana-untuk-konferensi/
Semoga membantu
A