Sewindu Menulis untuk The Jakarta Post


Tulisan ke-56
Tulisan ke-56

Delapan tahun yang lalu saya gembira sekali mendapati tulisan pertama saya terbit di The Jakarta Post. Saat itu saya masih mahasiswa S2 akhir tahun pertama di UNSW, Sydney. Itulah kali pertama saya merasakan bahwa topik yang saya teliti tidak saja penting tetapi juga menarik untuk dikisahkan. Ambalat menjadi debut saya dalam penulisan di media massa.

Saya teringat kisah Anand Krishna yang konon melakukan hal yang mirip. Jika ditanya tulisan mana yang paling membanggakan dari ratusan tulisannya maka jawabannya adalah yang ditulisnya pertama kali ketika dia bersekolah di luar negeri. Kalau ingat reaksi saya ketika itu, ada perasaan risih dan malu. Apa perlu sebuah tulisan yang muncul di The Jakarta Post dibanggakan begitu rupa? Waktu itu, rasanya reaksi itu tidak berlebihan. Entahlah bagaimana kawan saya melihatnya.

Dalam perjalanan waktu berikutnya, saya tetap menulis. Dari sekian yang mengapresiasi, tidak sedikit yang memberi komentar melemahkan. Ada yang mengatakan “ilmuwan tidak semestinya menulis di The Jakarta Post. Jurnal ilimiah adalah tempat yang semestinya untuk berbagi ilmu.” Saya renungkan, kalimat ini banyak benarnya. Seorang peneliti belum bisa mengklaim dirinya telah memberikan kontribusi baru pada ilmu pengetahuan jika karyanya tidak diperiksa dan dikritisi oleh rekan sejawat (peer-reviewed) sebelum terbit di sebuah jurnal ilmiah.

Untuk komentar demikian, saya punya pendapat lain. Ketika seorang peneliti sudah menulis di jurnal, konferensi dan menulis buku teks maka sebaiknya tidak dilarang menulis di koran. Menulis di koran hendaklah dilihat sebagai upaya untuk menyebarkan informasi pada khalayak yang lebih luas. Jika seorang peneliti percaya bahwa penelitiannya didanai oleh masyarakat maka dia juga harus mempertanggungjawabkan penelitian itu kepada masyarakat. Dalam kelakar, professor saya pernah bilang bahwa jurnal ilmiah hanya dibaca oleh lima orang, enam orang termasuk penulisnya. Maka tulisan di koran adalah sarana bagi seorang peneliti untuk berkomunikasi dengan masyarakat penyandang dana penelitiannya yang kebetulan tidak membaca jurnal ilmiah.

Apa yang saya dapatkan dengan menulis untuk The Jakarta Post? Kesempatan. Beberapa undangan untuk memberi kuliah, seminar atau penelitian bersama lebih banyak datang karena tulisan saya di koran. Menulis di koran juga membuat seorang peneliti belajar membahasakan hal yang rumit menjadi mudah disimak. Percayalah, ini tidak selalu mudah. Bayangkanlah kalau saya harus menjelaskan sengketa Ambalat atau Selat Malaka kepada Ibu dan Bapak saya yang hanya merasakan kemewahan bangku Sekolah Dasar.

Sewindu berselang, kini saya sudah menulis 56 artikel di The Jakarta Post. Terus terang saya senang. Namun saya juga tahu ada sangat banyak kolega saya yang telah mencapai hal yang jauh lebih hebat. Ketika saya baru sebatas girang karena tulisan yang termuat di The Jakarta Post, kawan lain telah menjadi professor di usia 26 tahun dan menerbitkan puluhan karya di jurnal kelas wahid. Ketika saya masih sibuk berbagi link tulisan saya di Facebook, banyak kawan lain bahkan telah mendapat penghargaan kelas dunia karena kontribusi orisinilnya di bidang penelitian. Maka kisah ini tentu saja tidak layak disombongkan. Kalau masih boleh berharap, cerita ini sejatinya untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa pengetahuan saya, sekecil apapun itu, tidaklah semestinya untuk disimpan sendiri. Bahwa berbagi ilmu seharusnya tidak membuat saya khawatir kehabisan karena ilmu adalah satu dari sedikit hal yang bertambah, justru ketika dibagi dan disebarkan. Dan seorang penggiat ilmu pengetahuan bisa memilih apakah pemikirannya hanya untuk pergumulan kerabat sejawat atau kemaslahatan umat sejagat.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

19 thoughts on “Sewindu Menulis untuk The Jakarta Post”

  1. Betul pa.. Kadang2 suka bertanya, jangan2 orang risih liat saya yg kadang berbagi kebahagiaan ketika mendapatkan “sesuatu”. Karena jelas, apa yg saya dptkan adalah bukan hal yg luar biasa.. hehehe.. tapi lagi2.. ini masalah selera menyikapi apa yg kita dapat.. berbagi menjd begitu penting..

  2. Bagi saya, hebatnya sesorang itu tidak dinilai dari rentetan prestasi yang ia dapatkan secara individual sir, tetapi dari manfaat yang ia tebarkan kepada sesama. Untuk yang kedua ini, saya sangat salut kepada Pak Andi.
    Saya tetap menganggap Pak Andi sebagai motivator yang sangat inspiratif, you are the best sir..

  3. Salut buat Pak Made Arsana….:-) Betul Pak, ilmu yang dibagikan tak kan pernah habis bahkan malah bertambah (paham). Perlu sarana dan bahasa yang tepat untuk disampaikan kepada penerima/audience nya. Saya kira Pak Made cukup kreatif dan jitu dalam men-deliver ilmu & pengalaman Bapak.

  4. Terima kasih sharingnya, pak. Inspiratif sekali. Kebetulan saya dapat link ini ketika sedang googling. Kalau boleh disharing jg proses pengiriman tulisannya? Proses pengirimannya, berapa lama dan kirim ke mana?

  5. I think kalau satu saja tulisan saya layak dimuat di The Jakarta Post saya pasti merasa senang sekali, apalagi Bapak yang sudah 56 tulisan. Jadi selamat sewindu menulis di The Jakarta Post Pak! keep on writing and don’t hesitate 🙂

  6. Wah, hebat sekali sudah bisa menerbitkan tulisan sebanyak 56 (and keep growing). Kalau boleh di-sharing juga, Pak, ilmu penulisan dan cara pengiriman tulisannya supaya para junior seperti saya bisa berkarya seperti Bapak? Terima kasih

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: