Saat berada di Bali, saya menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Tidak saja menemani Asti belajar, saya juga berperan sebagai tukang antar ibu saya kalau sedang melakukan aktivitas terkait bisnis kecilnya. Suatu hari saya datang dari sebuah proyek pembangunan properti di Tabanan dan mampir membeli gorengan dalam perjalanan pulang. Pedagang kali lima itu berjualan di depan sebuah toko bernama Wijaya di Jalan Kapten Tendean, di Tanah Bang (atau Pemenang, saya kurang yakin). Lokasinya tidak terlalu jauh di sebelah utara Rindam IX Udayana di Kediri, Tabanan.
Sambil menunggu lelaki itu membuat terang bulan rasa coklat susu keju, saya bertanya “saking pundi Mas?” Rupanya dia tertarik karena saya menyapanya dengan Bahasa Jawa. Lelaki itu dari Blitar dan konon sudah berjualan di tempat itu selama delapan tahun. Sayapun berkelakar, “kita tukeran Mas. Saya orang Bali yang cari rejeki di Jawa, sampean orang Jawa yang mengadu nasib di Bali.” Sang lelaki membenarkan seraya berucap “ya Mas sami mawon, yang penting halal.”
Merasa nyaman, lelaki itu bercerita banyak sambil tetap terampil menabur gula, mengoleskan mentega dan memutar terang bulan di depannya agar tidak gosong. Lelaki itu rupanya sudah ada di Bali sejak tahun 1997, sudah 15 tahun lebih. Pekerjaan pertamanya, menurut dia, adalah pengumpul rongsokan atau dalam bahasa lain mungkin sama dengan pemulung. Sempat juga bekerja dengan pengusaha keturunan Cina untuk mengumpulkan rongsokan yang dikirim ke Jawa atau diekspor. Tidak puas dengan pekerjaan itu, dia beralih bekerja dengan orang lain untuk menjual gorengan dan terang bulan. Katanya, dari bekerja itu dia belajar banyak soal memasak dan terutama mengatur bisnis kaki lima. Suatu saat diapun memutuskan untuk memulai usahanya sendiri. Tidak mudah tentu saja, dia sempat tidak berhasil dan harus berpindah-pindah tempat.
Perjuangan kian tidak mudah ketika dia sudah berkeluarga dan anaknya mulai sekolah dan kini sudah SMP dan SD. Tentu tidak mudah bagi seorang penjual gorengan untuk hidup di Bali yang tidak murah. Kegigihannya itu rupanya berbuah, kini dia sudah memiliki tempat berjualan tetap dengan cara membayar sewa harian kepada pemilik Toko Wijaya. Ketika saya tanya hasilnya, dengan santun dia menjawab “cukup lah untuk tempat tinggal dan sekolah anak Mas.” Saya bisa menangkap semangat dan optimisme dari tutur katanya. Tangannya yang terampil dan cara bicaranya yang lancar menunjukkan kepercayaan dirinya akan apa yang dilakukannya.
Dengan bisnis itu, keluarganya bisa pulang ke Jawa cukup sering. Ketika saya tanya apakah selalu pulang ketika Lebaran, dia menjawab lebih sering saat Galungan. Dia juga fasih menjelaskan “kalau habis rahinan seperti ini biasanya agak sepi Mas karena orang Bali masih punya banyak makanan hasil sesajen saat rahinan.” Rahinan adalah istilah untuk upacara agama yang rutin dilakukan oleh orang Bali, terutama terkait ‘peringatan hari jadi’ tempat suci, berdasarkan kalender Hindu-Bali.
Menurut lelaki itu, dia bekerja dari jam Sembilan pagi untuk menyiapkan dagangannya yang dimulais sekitar jam empat sore. Dengan santai dia mengatakan, “sepulang dari jualan saya tidak bekerja lagi Mas. Paginyapun kadang bangun jam sembilan lalu ke pasar. Langganan saya sudah paham dan menyiapkan bahan-bahan untuk saya. Tinggal ambil”. Istrinya pun, menurut dia, bekerja membantunya menyiapkan dagangan dan tidak bekerja di tempat lain. Malam itu saya tidak melihat istrinya yang katanya menemani anaknya belajar di rumah. Mendengar itu, cantik sekali sepertinya hidup lalaki pedagag terang bulan ini.
Saya berlalu meninggalkan lalaki itu sambil bercakap-cakap dengan ibu saya. Orang-orang gigih seperti penjual terang bulan itu adalah mereka yang akan memenangkan persaingan. Saya termenung sejenak mengamati fenomena umum bahwa jarang sekali, kalaupun ada, orang Bali terjun ke dalam sektor bisnis jual gorengan dan terang bulan ini. Saya hanya berharap orang Bali tidak bergelut di sana karena memang punya dan memilih aktivitas ekonomi lain, bukan karena malu. Semoga orang Bali tidak menganggap pekerjaan itu rendah dan memilih untuk menonton para pendatang yang giat mengais rejeki di tanahnya. Kisah ini tentu bukan persoalan persaingan pendatang dan tuan rumah tetapi tentang nasib yang memang akan berpihak para para pemberani.
Orang Bali memang choosy dan too fussy. Yah, begitulah perbedaannya, Bli..
Semoga Bli. Slm buat keluarga dan Bali 🙂
pedagang terang bulan, susu murni nasional atau yang lainnya merupakan representatif dari pejuang2 gigih yang tekun dan tidak mengenal putus asa, yang tanpa kita sadari perannya sangat besar dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Jikalau di lihat dari luar…penampilan mereka tentu tidak perlente…namun bagi yang pantang menyerah…penghasilan mereka bisa mengalahkan pegawai negeri…yang keliahatannya ‘mpriyayeni…tapi…seringnya gali lubang tutup lobang.
Salut…dengan kegigihan….mereka, namun sayang saat ini sikap mental sebagaian masyarakt telah berubah, ada yang lebih suka menempuh jalan pintas untuk mencari sesuap nasi dengan mengharap belas kasihan dan menghiba dari pada berpeluh dengan keuletan dan berjuang dengan kemandirian. Inilah realita kehidupan…..sebagian berjuang demi cita-cita….sebagian lagi berjuang untuk bertahan hidup.Inilah…pejuang-pejuang sejati kehidupan !!!
Mungkin perlu dikasih definisi sedikit, buat yang non-‘Jawa’ dan/atau Bali bli. Terang bulan = martabak manis 🙂
Terima kasih Om Ardi 🙂
wah menarik, apa ada beberapa pekerjaan yg dianggap rendah di Bali terkait dgn budaya lokal mereka?
Saya kira sama dengan masyarakat Indonesia umumnya 🙂
Jadi ingat waktu saya bekerja menjadi merchandiser diperbantukan ke beberapa supermarket…
Klo liat tante-tante Indo yang tunjuk sana tunjuk sini… Dikiranya kasir-kasir di Sydney sama kaya’ di Indo, padahal banyak yang PhD dan/atau master students 🙂
tidak bisa dipungkiri sebagian besar pedagng dibali,bukan orng bali asli,, ya itulah bali,,yang dri jawa datang ke bali untk bekrja,,saya yng dari bali sendiri mencri imu ke jawa dan mungkin tdak bekerja dibali,,
tulisannya bagus pak,dari pedagang terang bulanpun bisa menjadi inspirasi,
artikel keren…